KONFLIK ISRAEL – PALESTINA

Oleh : Tommy M J Sihotang

Pengantar

Tommy SihotangKonflik antara Israel dan Palestina yang kembali terjadi saat ini. Saya mencoba menyunting dari Wikipediadotorg sebagai sumber utama, serta sebahagian kecil dari mediaindonesiadotcom, kompasdotcom serta ciputradotwordpressdotcom. Disini secara detail akan dipaparkan bagaimana konflik ini bermula. Dengan membaca dan memahami sejarahnya, maka kita akan diberi pemahaman dan pandangan sehingga kita semua tahu apa dan bagaimana sebenarnya konflik itu terjadi. Selamat membaca.

Konflik Israel-Palestina, bagian dari konflik Arab-Israel[1] yang lebih luas, adalah konflik yang berlanjut antara bangsa Israel dan bangsa Palestina.

Konflik Arab-Israel[1]secara kasar terjadi selama satu abad, adalah konflik politik dan peperangan terbuka. Konflik ini terjadi karena didirikannya gerakan Zionis[a] yang bertujuan untuk mendirikan negara Israel. Konflik antara negara-negara Arab dan Israel masih berlangsung sampai sekarang.

Zionisme[a] adalah sebuah gerakan kaum Yahudi yang tersebar di seluruh dunia untuk kembali lagi ke Zion, bukit di mana kota Yerusalem berdiri. Gerakan yang muncul di abad ke-19 ini ingin mendirikan sebuah negara Yahudi di tanah yang kala itu dikuasai Kekaisaran Ottoman (Khalifah Ustmaniah) Turki.

Zionisme merupakan gerakan Yahudi Internasional. Istilah zionis pertama kali dipakai oleh perintis kebudayaan Yahudi, Mathias Acher (1864-1937), dan gerakan ini diorganisasi oleh beberapa tokoh Yahudi antara lain Dr. Theodor Herzl dan Dr. Chaim Weizmann. Dr. Theodor Herzl menyusun doktrin Zionisme sejak 1882 yang kemudian disistematisasikan dalam bukunya “Der Judenstaat” (Negara Yahudi) (1896). Doktrin ini dikonkritkan melalui Kongres Zionis Sedunia pertama di Basel, Swiss, tahun 1897. Setelah berdirinya negara Israel pada tanggal 15 Mei 1948, maka tujuan kaum zionis berubah menjadi pembela negara baru ini.

Rapat Dewan Umum PBB mengeluarkan Resolusi 3379 tanggal 10 Desember 1975, yang menyamakan Zionisme dengan diskriminasi rasial. Akan tetapi pada 16 Desember 1991, resolusi tersebut dicabut kembali.

Konflik Israel-Palestina ini bukanlah sebuah konflik dua sisi yang sederhana, seolah-olah seluruh bangsa Israel (atau bahkan seluruh orang Yahudi[1] yang berkebangsaan Israel) memiliki satu pandangan yang sama, sementara seluruh bangsa Palestina memiliki pandangan yang sebaliknya. Di kedua komunitas terdapat orang-orang dan kelompok-kelompok yang menganjurkan penyingkiran teritorial total dari komunitas yang lainnya, sebagian menganjurkan solusi dua Negara, dan sebagian lagi menganjurkan solusi dua bangsa dengan satu negara sekular yang mencakup wilayah Israel masa kini, Jalur Gaza[2], Tepi Barat[3], dan Yerusalem Timur.

Yahudi[1] ialah sebuah istilah yang sedikit rancu sebab bisa merujuk kepada sebuah agama atau suku bangsa. Jika dilihat berdasarkan agama, istilah ini merujuk kepada umat agama Yahudi, tidak peduli apakah mereka keturunan Yahudi atau tidak.

Berdasarkan etnisitas, kata ini merujuk kepada keturunan Eber (Kejadian 10:21) atau Yakub, anak Ishak, anak Abraham (Ibrahim) dan Sarah. Etnik Yahudi juga termasuk Yahudi yang tidak memegang kepada agama Yahudi tetapi beridentitas Yahudi dari segi tradisi.

Agama Yahudi ialah kombinasi antara agama dan suku bangsa. Agama Yahudi dibahas lebih lanjut dalam artikel agama Yahudi; artikel ini hanya membahas dari segi suku bangsa saja. Kepercayaan semata-mata dalam agama Yahudi tidak menjadikan seseorang menjadi Yahudi. Di samping itu, dengan tidak memegang kepada prinsip-prinsip agama Yahudi tidak menjadikan seorang Yahudi kehilangan status Yahudinya. Tetapi, definisi Yahudi undang-undang kerajaan Israel tidak termasuk Yahudi yang memeluk agama yang lain.

Jalur Gaza[2],adalah sebuah daerah kecil di sebelah barat daya Israel. Pada akhir perang Arab-Israel di tahun 1948, daerah ini diduduki Mesir. Tetapi pada Perang Enam Hari, daerah ini ditaklukkan Israel.Sebagian besar daerah ini dan Tepi Barat dikontrol Otoritas Nasional Palestina.Mulai tanggal 15 Agustus 2005 Israel mengundurkan diri dari Jalur Gaza. Semua pemukiman Yahudi di daerah digusur Tentara Israel.

Tepi Barat[3] juga dikenal dengan Yudea dan Samaria adalah sebuah wilayah daratan di barat sungai Yordan. Tepi Barat dan Jalur Gaza merupakan wilayah Palestina yang dideklarasikan pada 1988. Sejak 1967 sebagian besar wilayah Tepi Barat diduduki Israel.

Sejak Persetujuan Oslo[1], Pemerintah Israel[2] dan Otoritas Nasional Palestina[3] secara resmi telah bertekad untuk akhirnya tiba pada solusi dua negara. Masalah-masalah utama yang tidak terpecahkan di antara kedua pemerintah ini adalah: status dan masa depan Tepi Barat, Jalur Gaza, dan Yerusalem Timur yang mencakup wilayah-wilayah dari Negara Palestina yang diusulkan:

1.      Keamanan Israel.

2.      Keamanan Palestina.

3.      Hakikat masa depan negara Palestina.

4.      Nasib para pengungsi Palestina.

5.      Kebijakan-kebijakan pemukiman pemerintah Israel, dan nasib para penduduk pemukiman itu.

6.      Kedaulatan terhadap tempat-tempat suci di Yerusalem, termasuk Bukit Bait Suci dan kompleks Tembok (Ratapan) Barat.

Perjanjian Oslo[1]

Persetujuan Damai atau secara resmi disebut “Deklarasi Prinsip-Prinsip Fasilitasi Pemerintahan Sendiri secara sementara” disetujui di Oslo, Norwegia pada 20 Agustus 1993 dan secara resmi ditanda-tangani di Washington D.C. pada 13 September 1993 oleh Mahmud Abbas yang mewakili PLO dan Shimon Peres yang mewakili Israel. Hal ini disaksikan oleh Warren Christopher dari Amerika Serikat dan Andrei Kozyrev dari Rusia, di depan Presiden A.S. Bill Clinton dan Perdana Menteri Israel Yitzhak Rabin dengan Ketua PLO Yasser Arafat.

Israel[2]

Wilayah ini dahulunya merupakan bagian dari Palestina, yang sebelumnya merupakan wilayah Kesultanan Utsmaniyah, yang dipercayakan oleh Liga Bangsa-Bangsa (LBB) kepada Britania Raya untuk diadministrasikan pada masa setelah Perang Dunia I sebagai sebuah wilayah mandat. Pada tahun 1947, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), sebagai penerus LBB, memutuskan untuk membagi wilayah Mandat Britania atas Palestina, tetapi hal ini ditentang keras oleh negara-negara Timur Tengah lainnya dan banyak negeri-negeri Muslim. Kaum Yahudi mendapat 55% dari seluruh wilayah tanah meskipun hanya merupakan 30% dari seluruh penduduk di daerah ini. Sedangkan kota Yerusalem yang dianggap suci tidak hanya oleh orang Yahudi tetapi juga orang Muslim dan Kristen akan dijadikan kota internasional.

Israel diproklamasikan pada tanggal 14 Mei 1948 dan sehari kemudian langsung diserbu oleh tentara dari Libanon, Suriah, Yordania, Mesir, Irak dan negara Arab lainnya. Tetapi Israel bisa memenangkan peperangan ini dan malah merebut kurang lebih 70% dari luas total wilayah Mandat Britania Raya atas Palestina. Perang ini menyebabkan banyak kaum pengungsi Palestina yang mengungsi dari daerahnya sendiri. Tetapi di sisi lain tidak kurang pula kaum Yahudi yang diusir dari negara-negara Arab.

Sampai sekarang Indonesia belum mengakui kedaulatan Israel. Tetapi kedaulatan Palestina diakui meskipun daerahnya belum pasti. Mantan presiden RI Abdurrahman Wahid (1999-2001) sempat berencana akan mengakui kedaulatan Israel dan membuka hubungan diplomatik. Berbeda dengan Presiden RI (2004-2009), Susilo Bambang Yudhoyono, yang menyatakan tidak akan membuka hubungan dengan Israel sebelum masalah Palestina dipecahkan dan penjajahan Israel atas Palestina dihapuskan, sebagaimana UUD-1945.

Otoritas Nasional Palestina[3]

Otoritas Nasional Palestina -As-Sulthah al-Wathaniyyah al-Filastiniyyah bahasa Ibrani: הרשות הפלסטינית Harashut Hafalastinit) adalah sebuah organisasi pemerintahan sementara yang memerintah sebagian dari Tepi Barat dan seluruh Jalur Gaza. Organisasi ini dibentuk pada 1994 setelah penandatangan Persetujuan Oslo antara PLO dengan Israel.

Otoritas Nasional Palestina saat ini dipimpin Presiden Mahmud Abbas dari faksi Fatah dan Perdana Menteri Ismail Haniya dari faksi Hamas. Belum ada stabilitas politik karena Hamas menolak menerima keberadaan Israel sementara Fatah siap mendiskusikan solusi dua bangsa untuk Konflik Israel dan Palestina.

Masalah pengungsi muncul sebagai akibat dari perang Arab-Israel 1948[lihat perang Arab-Israel]. Masalah Tepi Barat, Jalur Gaza, dan Yerusalem Timur muncul sebagai akibat dari Perang Enam Hari [lihat Perang Enam Hari] pada 1967.

Selama ini telah terjadi konflik yang penuh kekerasan, dengan berbagai tingkat intensitasnya dan konflik gagasan, tujuan, dan prinsip-prinsip yang berada di balik semuanya. Pada kedua belah pihak, pada berbagai kesempatan, telah muncul kelompok-kelompok yang berbeda pendapat dalam berbagai tingkatannya tentang penganjuran atau penggunaan taktik-taktik kekerasan, anti kekerasan yang aktif, dll. Ada pula orang-orang yang bersimpati dengan tujuan-tujuan dari pihak yang satu atau yang lainnya, walaupun itu tidak berarti mereka merangkul taktik-taktik yang telah digunakan demi tujuan-tujuan itu. Lebih jauh, ada pula orang-orang yang merangkul sekurang-kurangnya sebagian dari tujuan-tujuan dari kedua belah pihak. Dan menyebutkan “kedua belah” pihak itu sendiri adalah suatu penyederhanaan: Al-Fatah dan Hamas saling berbeda pendapat tentang tujuan-tujuan bagi bangsa Palestina. Hal yang sama dapat digunakan tentang berbagai partai politik Israel, meskipun misalnya pembicaraannya dibatasi pada partai-partai Yahudi Israel.

Mengingat pembatasan-pembatasan di atas, setiap gambaran ringkas mengenai sifat konflik ini pasti akan sangat sepihak. Itu berarti, mereka yang menganjurkan perlawanan Palestina dengan kekerasan biasanya membenarkannya sebagai perlawanan yang sah terhadap pendudukan militer oleh bangsa Israel yang tidak sah atas Palestina, yang didukung oleh bantuan militer dan diplomatik oleh A.S. Banyak yang cenderung memandang perlawanan bersenjata Palestina di lingkungan Tepi Barat dan Jalur Gaza sebagai hak yang diberikan oleh persetujuan Jenewa dan Piagam PBB. Sebagian memperluas pandangan ini untuk membenarkan serangan-serangan, yang seringkali dilakukan terhadap warga sipil, di wilayah Israel itu sendiri.

Demikian pula, mereka yang bersimpati dengan aksi militer Israel dan langkah-langkah Israel lainnya dalam menghadapi bangsa Palestina cenderung memandang tindakan-tindakan ini sebagai pembelaan diri yang sah oleh bangsa Israsel dalam melawan kampanye terorisme yang dilakukan oleh kelompok-kelompok Palestina seperti Hamas, Jihad Islami, Al Fatah dan lain-lainnya, dan didukung oleh negara-negara lain di wilayah itu dan oleh kebanyakan bangsa Palestina, sekurang-kurangnya oleh warga Palestina yang bukan merupakan warga negara Israel. Banyak yang cenderung percaya bahwa Israel perlu menguasai sebagian atau seluruh wilayah ini demi keamanannya sendiri. Pandangan-pandangan yang sangat berbeda mengenai keabsahan dari tindakan-tindakan dari masing-masing pihak di dalam konflik ini telah menjadi penghalang utama bagi pemecahannya.

Sebuah usul perdamaian saat ini adalah Peta menuju perdamaian yang diajukan oleh Empat Serangkai Uni Eropa, Rusia, PBB dan Amerika Serikat pada 17 September 2002. Israel juga telah menerima peta itu namun dengan 14 “reservasi”. Pada saat ini Israel sedang menerapkan sebuah rencana pemisahan diri yang kontroversial yang diajukan oleh Perdana Menteri Ariel Sharon[1]. Menurut rencana yang diajukan kepada AS, Israel menyatakan bahwa ia akan menyingkirkan seluruh “kehadiran sipil dan militer… yang permanen” di Jalur Gaza (yaitu 21 pemukiman Yahudi di sana, dan 4 pemumikan di Tepi Barat), namun akan “mengawasi dan mengawal kantong-kantong eksternal di darat, akan mempertahankan kontrol eksklusif di wilayah udara Gaza, dan akan terus melakukan kegiatan militer di wilayah laut dari Jalur Gaza.” Pemerintah Israel berpendapat bahwa “akibatnya, tidak akan ada dasar untuk mengklaim bahwa Jalur Gaza adalah wilayah pendudukan,” sementara yang lainnya berpendapat bahwa, apabila pemisahan diri itu terjadi, akibat satu-satunya ialah bahwa Israel “akan diizinkan untuk menyelesaikan tembok [artinya, Penghalang Tepi Barat Israel] dan mempertahankan situasi di Tepi Barat seperti adanya sekarang ini”

Ariel Sharon (lahir 27 Februari 1928) adalah seorang politikus dan jenderal Israel.

Ia menjabat sebagai Perdana Menteri Israel dari 7 Maret 2001 hingga 14 April 2006. Kekuasaannya sebagai perdana menteri kemudian digantikan oleh Perdana Menteri (sementara) Ehud Olmert karena ia terkena serangan stroke pada Januari 2006. Ia mengalami koma dalam waktu yang lama, sehingga dimungkinkan tidak dapat kembali menjalankan tuga-tugas sebagai pemimpin pemerintahan.

Ia lahir di Kfar Malal (Mandat British Palestina) dan tampil sebagai pemimpin politik serta militer berkebangsaan Israel. Sharon juga pernah menjadi pemimpin Likud, partai terbesar dalam koalisi pemerintah dalam parlemen Israel, Knesset, hingga ia mengundurkan diri dari partai tersebut pada 21 November 2005. Ia kemudian membentuk partai baru bernama Kadima.

Selama tiga puluh tahun Sharon berdinas sebagai anggota Angkatan Bersenjata Israel. Pangkat tertingginya adalah Mayor Jenderal. Ia menjadi terkenal di Israel karena keterlibatannya dalam Perang Enam Hari pada tahun 1967 dan Perang Yom Kippur pada tahun 1973.

Ariel Sharon juga bertanggung jawab pada tragedi pembantaian Qibya pada 13 Oktober 1953 di mana saat itu 96 orang Palestina tewas oleh Unit 101 yang dipimpinnya dan pembantaian Sabra dan Shatila di Libanon pada 1982 yang mengakibatkan antara 3.000 – 3.500 jiwa terbunuh, sehingga ia dijuluki sebagai ‘Tukang Jagal dari Beirut’.

Awal hidup dan karier militer

Ia lahir dengan nama Ariel Scheinermann (Shinerman) dari sebuah keluarga pendukung gerakan Zionis. Pada usia 17 tahun, ia bergabung dengan kelompok mafia Haganah yang aktivitasnya meneror rakyat Palestina. Dalam melancarkan aksi teror, ia secara bergantian berada di bawah komando Perdana Menteri David Ben Gurion, Itzhak Shamir, dan Yitzhak Rabin.

Pada masa perang kemerdekaan Israel tahun 1948, di usianya yang ke-20, ia telah menjadi seorang komandan infantri Israel dalam Brigade Alexandroni. Pada saat ia hendak membakar sebuah ladang, tiba-tiba rentetan peluru pejuang Palestina menembus tubuhnya. Luka itu hampir saja merenggut nyawanya kalau saja ia tak diselamatkan rekannya. Pada tahun itu juga, ia melanjutkan studi di bidang hukum di Universitas Ibrani di Yerusalem. Pada 1953, ia membentuk sekaligus memimpin unit komando khusus ” Unit 101″ yang bertugas melakukan operasi-operasi khusus tingkat tinggi. Ia diangkat menjadi komandan dari korps para-komando dan terlibat dalam perang memperebutkan Sinai pada tahun 1956. Pada tahun 1957, ia meneruskan pendidikan kemiliterannya di Camberley Staff College, Inggris.

Selama tahun 1958-1962, Sharon pernah menjadi komandan Brigade Infantri, memimpin Pusat Pendidikan Infantri dan mengikuti sekolah hukum di Universitas Tel Aviv. Pada Perang Enam Hari (1967) yang melibatkan Israel melawan bangsa Arab, ia menjabat sebagai komandan sebuah divisi tentara dengan Brigadir Jenderal. Kemudian, ia mengundurkan diri dari dinas ketentaraan di tahun 1972. Ketika terjadi Perang Yom Kippur pada tahun 1973, ia dipanggil untuk memimpin divisi tentara yang harus menyeberangi Terusan Suez.

Karir politik

Karir politiknya berawal pada tahun 1973 saat ia terpilih menjadi anggota Knesset. Tetapi, ia mengundurkan diri setahun kemudian untuk menjadi Penasehat Keamanan bagi Perdana Menteri Yitzhak Rabin. Ia kembali ke Knesset pada tahun 1977 dan menerima jabatan sebagai Menteri Pertanian. Kemudian, ia menjabat Menteri Pertahanan (1981-1983) ketika berkecamuk perang Lebanon saat tentara Israel memasuki Lebanon atas perintahnya.

Ariel Sharon kemudian mengundurkan diri ketika sebuah komisi pemerintah menuduhnya terlibat secara tidak langsung dalam penyerangan September 1982 atas kaum pengungsi Palestina di Sabra dan Shatila yang dilakukan oleh milisi Maronit Lebanon. Korban dalam peristiwa tersebut mencapai lebih 3.000 orang terbunuh. Selain, ia bertanggung jawab pada tragedi pembantaian Qibya 13 Oktober 1953 yang menewaskan 96 orang Palestina oleh Unit 101 yang dipimpinnya. Atas dua peristiwa tersebut, sebagian orang menjulukinya sebagai “Penjagal dari Beirut”.

Periode 1984-1990, ia kembali memasuki kabinet dan menjabat sebagai Menteri Industri dan Perdagangan. Setelah itu, selama dua tahun, ia menjadi Menteri Perumahan dan Konstruksi. Periode Juli 1996-Juli 1999, ia menjabat sebagai Menteri Infrastruktur Nasional dan sebagai Menteri Luar Negeri (Oktober 1998-Juli 1999). Pada sidang Knesset bulan Mei 1999, ia terpilih sebagai Ketua Partai Likud menyusul mundurnya Perdana Menteri Benjamin Netanyahu. Karier politiknya mencapai puncak ketika ia terpilih menjadi Perdana Menteri Israel pada Februari 2001.

Di tengah penjagaan yang sangat ketat, Ariel Sharon mengangkat sumpah jabatan sebagai perdana menteri ke-11 di depan Forum Knesset pada 7 Maret 2001. Pengambilan sumpah dilakukan setelah ia berhasil membentuk pemerintah persatuan nasional dengan spektrum politik yang paling luas dalam sepanjang sejarah Israel. Koalisi yang dipimpinnya mencapai dua kesepakatan dasar menyangkut masa depan perdamaian.

Langkah penarikan mundur pasukan dari Jalur Gaza menimbulkan pertentangan serius di tubuh partai, sementara dalam Partai Buruh terjadi pergantian pimpinan. Kursi Ketua Partai Buruh beralih dari Shimon Peres ke Amir Peretz. Ia merespons langkah tersebut dengan mundur dari Partai Likud (21 November 2005) untuk membentuk partai baru yang diberi nama Partai Kadima (bahasa Ibrani: קדימה, Qādīmāh, “maju ke depan”) yang beraliran sentris.

Kesehatan Sharon

Pada tanggal 18 Desember 2005 Sharon mengalami stroke ringan dan segera dibawa ke rumah sakit. Ia dirawat selama dua hari dan dijadwalkan akan menjalani operasi pada jantungnya pada 5 Januari 2006. Namun pada 4 Januari 2006 ia kembali masuk ke rumah sakit dari peternakannya di daerah Negev. Rupanya ia kembali mengalami stroke, dan kali ini tampaknya agak parah. Bersamaan dengan serangan stroke itu, Sharon mengalami pendarahan otak. Sharon menjalani operasi selama tujuh jam untuk menghentikan pendarahan itu dan membuang darah yang mengumpul di otaknya. [1]. Ia dirawat di unit perawatan intensif dan kecil sekali kemungkinannya untuk kembali ke ajang politik, andaikata pun ia berhasil bertahan.

Sementara itu, tugas-tugasnya sebagai perdana menteri dialihkan kepada Wakil Perdana Menteri Ehud Olmert, yang saat ini berfungsi sebagai Penjabat Perdana Menteri.

Anggota-anggota kunci dalam Partai Kadima mengatakan bahwa mereka akan mendukung Olmert. Hal ini mengurangi kekuatiran bahwa gerakan tersebut, yang dibentuk oleh Sharon dua bulan yang lalu, akan retak apabila Sharon tidak ada. Sebuah jajak pendapat yang baru memperlihatkan Kadima akan menang dalam pemilu 28 Maret di bawah pimpinan Olmert.

Para pemimpin Palestina, yang menyelenggarakan pemilunya sendiri pada 25 Januari, mengatakan bahwa mereka berhubungan dengan para pejabat Israel untuk mengikuti kondisi Sharon. “Kami memantau cermat situasinya,” kata perunding Palestina Saeb Erekat.

Kondisi kesehatan Ariel Sharon membuat banyak pihak was-was dan prihatin terhadap masa depan rencana perdamaian di Timur Tengah. Kebijakan Sharon untuk melakukan pengunduran diri dari Jalur Gaza dan Tepi Barat diyakini sejumlah pihak sebagai langkah maju menuju perdamaian dengan bangsa Palestina. Namun kebijakan ini banyak mengalami tantangan dari golongan kanan di Israel.

Pada 11 Februari 2006, kondisinya memburuk dan ia kembali harus menjalani pembedahan darurat setelah sistem pencernaannya rusak parah.

Pada 11 April 2006, Kabinet Israel mengangkat Olmert sebagai Perdana Menteri Sementara yang berlaku mulai tanggal 14 April, kecuali apabila kesehatan Sharon membaik. Pada 14 April Sharon dinyatakan “berhalangan tetap”, karena sudah 100 hari ia dirawat di rumah sakit. Dengan demikian Olmert resmi menggantikannya pada hari itu.

Dengan rencana pemisahan diri sepihak, pemerintah Israel menyatakan bahwa rencananya adalah mengizinkan bangsa Palestina untuk membangun sebuah tanah air dengan campur tangan Israel yang minimal, sementara menarik Israel dari situasi yang diyakininya terlalu mahal dan secara strategis tidak layak dipertahankan dalam jangka panjang. Banyak orang Israel, termasuk sejumlah besar anggota Partai Likud[2] hingga beberapa minggu sebelum 2005 berakhir merupakan partai Sharon kuatir bahwa kurangnya kehadiran militer di Jalur Gaza akan mengakibatkan meningkatnya kegiatan penembakan roket ke kota-kota Israel di sekitar Gaza. Secara khusus muncul keprihatinan terhadap kelompok-kelompok militan Palestina seperti Hamas, Jihad Islami atau Front Rakyat Pembebasan Palestina akan muncul dari kevakuman kekuasaan apabila Israel memisahkan diri dari Gaza.

Likud (bahasa Ibrani: ליכוד; secara harafiah berarti “konsolidasi”) adalah sebuah partai politik sayap kanan di Israel. Didirikan pada tahun 1973 hasil gabungan partai La’am dan Gahal, Likud menganut ideologi konservatif dan nasionalis.

Sejarah

Hingga 1949

1.Deklarasi Balfour 1917

Tanggal 2 November 1917. Inggris mencanangkan Deklarasi Balfour, yang dipandang pihak Yahudi dan Arab sebagai janji untuk mendirikan ”tanah air” bagi kaum Yahudi di Palestina.

Deklarasi Balfour (1917) ialah surat tertanggal 2 November 1917 dari Menteri Luar Negeri Britania Raya/Inggris; Arthur James Balfour, kepada Lord Rothschild (Walter Rothschild, 2nd Baron Rothschild), pemimpin komunitas Yahudi Inggris, untuk dikirimkan kepada Federasi Zionis. Surat itu menyatakan posisi yang disetujui pada rapat Kabinet Inggris pada 31 Oktober 1917, bahwa pemerintah Inggris mendukung rencana-rencana Zionis buat ‘tanah air’ bagi Yahudi di Palestina, dengan syarat bahwa tak ada hal-hal yang boleh dilakukan yang mungkin merugikan hak-hak dari komunitas-komunitas yang ada di sana.

Saat itu, sebagian terbesar wilayah Palestina berada di bawah kekuasaan Khilafah Turki Utsmani, dan batas-batas yang akan menjadi Palestina telah dibuat sebagai bagian dari Persetujuan Sykes-Picot 16 Mei 1916 antara Inggris dan Prancis. Sebagai balasan untuk komitmen dalam deklarasi itu, komunitas Yahudi akan berusaha meyakinkan Amerika Serikat untuk ikut dalam Perang Dunia I. Itu bukanlah alasan satu-satunya, karena sudah lama di Inggris telah ada dukungan bagi gagasan mengenai ‘tanah air’ Yahudi, dan waktunya tergantung pada kemungkinannya.

Kata-kata Deklarasi ini kemudian digabungkan ke dalam perjanjian damai Sèvres dengan Turki Utsmani dan Mandat untuk Palestina. Deklarasi (surat ketikan yang ditandatangani dengan tinta oleh Balfour) ialah sebagai berikut:

Surat asli

Foreign Office

November 2nd, 1917

Dear Lord Rothschild,

I have much pleasure in conveying to you, on behalf of His Majesty’s Government, the following declaration of sympathy with Jewish Zionist aspirations which has been submitted to, and approved by, the Cabinet.

“His Majesty’s Government view with favour the establishment in Palestine of a national home for the Jewish people, and will use their best endeavours to facilitate the achievement of this object, it being clearly understood that nothing shall be done which may prejudice the civil and religious rights of existing non-Jewish communities in Palestine, or the rights and political status enjoyed by Jews in any other country.”

I should be grateful if you would bring this declaration to the knowledge of the Zionist Federation.

Yours sincerely,

Arthur James Balfour

Terjemahan dalam bahasa Indonesia

Departemen Luar Negeri 2 November 1917

Lord Rothschild yang terhormat,

Saya sangat senang dalam menyampaikan kepada Anda, atas nama Pemerintahan Sri Baginda, pernyataan simpati terhadap aspirasi Zionis Yahudi yang telah diajukan kepada dan disetujui oleh Kabinet.

“Pemerintahan Sri Baginda memandang positif pendirian di Palestina tanah air untuk orang Yahudi, dan akan menggunakan usaha keras terbaik mereka untuk memudahkan tercapainya tujuan ini, karena jelas dipahami bahwa tidak ada suatupun yang boleh dilakukan yang dapat merugikan hak-hak penduduk dan keagamaan dari komunitas-komunitas non-Yahudi yang ada di Palestina, ataupun hak-hak dan status politis yang dimiliki orang Yahudi di negara-negara lainnya .”

Saya sangat berterima kasih jika Anda dapat menyampaikan deklarasi ini untuk diketahui oleh Federasi Zionis.

Salam,

Arthur James Balfour

Catatan tentang diskusi-diskusi yang menghasilkan teks akhir Deklarasi Balfour ini menjelaskan beberapa rincian susunan kata-katanya. Frase “tanah air” secara disengaja digunakan sebagai pengganti “negara”, dan Inggris mencurahkan beberapa usaha pada dekade-dekade berikutnya untuk menyangkal bahwa mereka memaksudkan pembentukan suatu negara, termasuk Buku Putih Churchill, 1922. Namun demikian, secara pribadi, banyak pejabat Inggris setuju dengan interpretasi kaum Zionis bahwa hasil akhir yang diharapkan memang adalah sebuah negara.

Sebuah naskah awal menggunakan kata that buat merujuk pada Palestina sebagai tanah air Yahudi, yang diubah menjadi di Palestina untuk menghindari penafsiran bahwa yang dimaksudkan adalah seluruh Palestina. Demikian pula, sebuah naskah awal tak mencakup janji untuk tak merugikan hak-hak komunitas non-Yahudi. Perubahan-perubahan ini terjadi sebagian karena desakan Edwin Samuel Montagu, seorang anti-Zionis Yahudi yang berpengaruh dan Sekretaris Negara untuk India, yang antara lain, prihatin bahwa deklarasi tanpa perubahan-perubahan itu bisa mengakibatkan kian meningkatnya penganiayaan anti-Semit.

Seperti Persetujuan Sykes-Picot sebelumnya, deklarasi ini dipandang banyak orang Arab sebagai pengkhianatan besar terhadap upaya-upaya Britania Raya dalam mendukung kemerdekaan Arab dalam Korespondensi Hussein-McMahon 1915–1916.

Perundingan

Salah satu tokoh utama Yahudi yang merundingkan dukungan terhadap deklarasi ini ialah Dr. Chaim Weizmann, jurubicara terkemuka organisasi Zionisme di Britania Raya. Selama pertemuan pertama antara Chaim Weizmann dan Balfour (1906), pemimpin kelompok Persatuan itu terkesan oleh kepribadian Weizman. Balfour menanyai Weizmann mengapa Palestina — dan hanya Palestina saja — yang diinginkan menjadi basis Zionisme. “Semua tempat yang lain akan menjadi pemberhalaan”, Weizmann memprotes, lalu menambahkan: “Tuan Balfour, andai saya menawarkan Anda Paris sebagai ganti London, akankah Anda mengambilnya?” “Namun Dr. Weizmann”, Balfour menjawab, “kami memiliki London”, Weizmann menjawab, “Itu benar, namun kami memiliki Yerusalem dulu saat London merupakan rawa.”

Weizmann ialah kimiawan yang berhasil mensintesiskan aseton melalui fermentasi. Aseton diperlukan dalam menghasilkan cordite, bahan pembakar yang diperlukan untuk mendorong peluru-peluru. Jerman memonopoli ramuan aseton kunci, kalsium asetat. Tanpa kalsium asetat, Britania tak bisa menciptakan aseton dan tanpa aseton takkan ada cordite. Jadi, tanpa cordite, Inggris saat itu mungkin akan kalah dalam Perang Besar. Saat ditanya bayaran apa yang diinginkan, Weizmann menjawab, “Hanya ada satu hal yang saya inginkan. Tanah air buat orang-orang saya.” Ia menerima pembayaran untuk penemuan ini dan peran dalam sejarah awal Israel.

Jaminan-jaminan yang bertentangan

Dalam wawancaranya pada November 2002 dengan majalah New Statesman, Menteri Luar Negeri Inggris, Jack Straw mempersalahkan penjajahan Inggris masa lalu atas banyak masalah politik modern, termasuk konflik Arab-Israel.

“Deklarasi Balfour dan jaminan-jaminan yang bertentangan yang diberikan pada orang-orang Palestina secara pribadi, sementara pada saat yang sama diberikan pula kepada orang-orang Israel, merupakan sejarah yang menarik buat kami, namun bukan sesuatu yang terhormat,” ia berkata.

Penolakan

Kelompok Yahudi Neturei Karta yang berpusat di AS selama ini dikenal sebagai duri dalam daging bagi gerakan Zionisme Internasional. Walau sama-sama berdarah Yahudi, namun orientasi perjuangan antara Neturei Karta dengan Zionis-Israel amat berbeda. Jika Zionis-Israel mengagungkan dan menyucikan Talmud, maka kelompok Yahudi Ortodoks menuding bahwa Talmud adalah kitab iblis yang telah ‘mencemari kesucian’ Taurat yang diturunkan Tuhan kepada Musa.

Secara berkala, Kelompok Yahudi Neturei Karta melakukan aksi unjuk rasa di seluruh dunia, terutama di Yerusalem, Inggris, dan AS, dan mensosialisasikan bahwa kaum Yahudi telah ditakdirkan Tuhan untuk diaspora dan tidak memiliki negara. “Kami tidak setuju dengan pembentukan negara Israel. Kaum Zionis telah memperkosa Yudaisme dan menungganginya untuk ambisi politik. Yudaisme tidak mengenal Talmud dan negara Israel!” tegas Rabi Yisroil Dovid Weiss, Juru Bicara Neturei Karta AS.

Pada 24 Juli lalu, kelompok ini lagi-lagi menggelar aksi unjuk rasa. Kali ini bertepatan dengan hari kesembilan bulan Av—yang dianggap sebagai hari terkelam dalam perjalanan bangsa Yahudi di mana orang-orang Yahudi meyakini ribuan tahun silam Kuil Sulaiman telah dihancurkan oleh mush-musuh Tuhan. Ribuan kaum Yahudi Ortodoks menggelar aksi di depan Konsulat Israel di New York AS.

Juru Bicara Neturei Karta lagi-lagi dengan lantang menyerukan agar kaum Yahudi AS khususnya dan Yahudi seluruh dunia umumnya tidak lagi mendukung keberadaan negara Zionis-Israel. “Hapuskan Israel dari muka bumi!” demikian teriak mereka. Neturei Karta juga membuat situs yang memuat seluruh aksi-aksi mereka. Silakan lihat di http://www.nkusa.org.

Patut diketahui, ketika Presiden Iran dalam satu acara di Teheran menyampaikan pidato dan dengan lantang mengatakan agar dunia menghapus Israel dari peta bumi, maka kelompok Neturei Karta dengan respon yang sangat cepat mengamininya dan bergandengan tangan dengan seluruh aktivis kemanusiaan dunia untuk bersama-sama berjuang menghilangkan eksistensi negara Israel dari muka bumi sampai hari akhir.

2. Revolusi Arab 1936-1939

Revolusi Arab dipimpin Amin Al-Husseini. Tak kurang dari 5.000 warga Arab terbunuh. Sebagian besar oleh Inggris. Ratusan orang Yahudi juga tewas. Husseini terbang ke Irak, kemudian ke wilayah Jerman, yang ketika itu dalam pemerintahan Nazi.

3. Teks 1922: Mandat Palestina Liga Bangsa-bangsa

4. Mandat Britania atas Palestina

Mandat untuk Palestina, juga dikenal sebagai Mandat atas Palestina atau Mandat Britania atas Palestina, adalah sebuah wilayah di Timur Tengah dari 1920 hingga 1948, yang kini terdiri atas wilayah masa kini dari Yordania, Israel, dan wilayah-wilayah yang diperintah oleh Otoritas Palestina, yang sebelumnya merupakan wilayah Kerajaan Ottoman, yang dipercayakan oleh Liga Bangsa-Bangsa kepada Britania Raya untuk diadministrasikan pada masa setelah Perang Dunia I sebagai sebuah Wilayah Mandat setelah runtuhnya Kesultanan Ottoman yang telah menguasai wilayah ini sejak abad ke-16. Wilayah ini mulanya berbatasan dengan Laut Tengah di sebelah baratnya, Mandat Perancis atas Lebanon, Mandat Perancis atas Suriah, dan the Mandat Britania atas Mesopotamia di sebelah utaranya, Kerajaan Arab Saudi di sebelah timur dan selatan, dan Kerajaan Mesir di barat dayanya.

Populasi Mandat Britania atas Palestina

Pada 1922 Britania melakukan sensus pertama atas wilayah Mandatnya. Seluruh penduduknya berjumlah 752.048, terdiri dari 589.177 Muslim, 83.790 Yahudi, 71.464 Kristen dan 7.617 yang beragama lain. Setelah sensus kedua pada 1931, populasinya telah bertambah menjadi total 1.036.339, terdiri dari 761.922 Muslim, 175.138 Yahudi, 89.134 Kristen dan 10.145 orang yang beragama lain. Setelah itu tidak ada sensus lagi, tetapi statistik tetap dipertahankan dengan menghitung jumlah kelahiran, kematian dan migrasi. Beberapa komponen seperti imigrasi ilegal hanya dapat diperkirakan. Buku Putih 1939, yang membatasi imigrasi orang-orang Yahudi, menyatakan bahwa jumlah penduduk Yahudi “telah bertambah hingga sekitar 450.000 orang” dan “mendekati sepertiga dari seluruh populasi wilayah ini.” Pada 1945 sebuah studi demografi memperlihatkan bahwa jumlah seluruh penduduknya telah meningkat menjadi 1.764.520, terdiri dari 1.061.270 Muslim, 553.600 Yahudi, 135.550 Kristen dan 14.100 orang yang beragama lain.

Tahun

Total

Muslim

Yahudi

Kristen

Lainnya

1922

752.048

589.177  (78%)

83.790 (11%)

71.464 (10%)

7.614 (1%)

1931

1.036.339

761.922 (74%)

175.138 (17%)

89.134 (9%)

10.145 (1%)

1945

1.764.520

1.61.270 (60%)

553.600 (31%)

135.550 (8%)

14.100 (1%)

Populasi menurut distrik

Tabel berikut ini memberikan demografi dari masing-masing dari ke-16 distrik wilayah Mandat.Demografi Palestina menurut distrik pada 1945

Distrik

Muslim

%

Yahudi

%

Kristen

%

Total

Acre

51.130

69

3.030

4

11.800

16

73.600

Beersheba

6.270

90

510

7

210

3

7.000

Beisan

16.660

67

7.590

30

680

3

24.950

Gaza

145.700

97

3.540

2

1.300

1

150.540

Haifa

95.970

38

119.020

47

33.710

13

253.450

Hebron

92.640

99

300

<1

170

<1

93.120

Jaffa

95.980

24

295.160

72

17.790

4

409.290

Jenin

60.000

98

Dapat diabaikan

<1

Dapat diabaikan

<1

61.210

Nablus

92.810

98

Dapat diabaikan

<1

Dapat diabaikan

<1

94.600

Nazareth

30.160

60

7.980

16

11.770

24

49.910

Ramallah

40.520

83

Dapat diabaikan

<1

8.410

17

48.930

Ramle

95.590

71

31.590

24

5.840

4

134.030

Safad

47.310

83

7.170

13

1.630

3

56.970

Tiberias

23.940

58

13.640

33

2.470

6

41.470

Tulkarm

76.460

82

16.180

17

380

1

93.220

Yerusalem

104.460

42

102.520

40

46.130

18

253.270

Total

1.076.780

58

608.230

33

145.060

9

1.845.560

Data dari Survei Palestina.

Pemilikan tanah di Mandat Britania atas Palestina

Orang-orang Arab, yang jumlahnya tidak kurang dari 2/3 dari seluruh penduduk Palestina, memiliki sebagian besar properti pribadi. Survei Palestina melaporkan bahwa orang-orang Arab memiliki 24.670.455 dunum (keseluruhan luas tanah wilayah Mandat adaah sekitar 26.184.702 dunum). Namun, menurut MidEastWeb, orang-orang Arab hanya memiliki sekitar setengah dari seluruh luas tanah.

Orang Yahudi, yang merupakan 1/3 dari seluruh penduduk Palestina, secara pribadi maupun kolektif memiliki 1.393.531 dunum pada 1945 (Khalaf, 1991, pp. 26-27) dan 1.850.000 dunum pada 1947 (Avneri p. 224). Ini berarti sekitar 20% dari seluruh tanah yang dapat diolah dan 7% dari seluruh tanah di Palestina.

Kepemilikan tanah menurut distrik

Tabel berikut ini memperlihatkan pemilikan tanah di Palestina menurut distriknya:Pemilikan tanah di Palestina menurut distrik pada 1945

Distrik

Milik Arab %

Milik Yahudi %

Tanah public & lainnya %

Acre

87

3

10

Beersheba

15

<1

85

Beisan

44

34

22

Gaza

75

4

21

Haifa

42

35

23

Hebron

96

<1

4

Jaffa

47

39

14

Jenin

84

<1

16

Nablus

87

<1

13

Nazareth

52

28

20

Ramallah

99

<1

1

Ramle

77

14

9

Safad

68

18

14

Tiberias

51

38

11

Tulkarm

78

17

5

Yerusalem

84

2

14

Data dari Pemilikan Tanah di Palestina

Undang-undang tanah di Palestina

1.      Hukum Tanah Ottoman 1858

2.      Ordinansi Pengalihan Tanah 1920

3.      Koreksi 1926 atas Ordinansi Pendaftaran Tanah

4.      Ordinansi Penyelesaian Tanah 1928

5.      Peraturan Peralihan Tanah 1940

Komisaris Tinggi Britania untuk PalestinaNama          Masa jabatan

1.      Sir Herbert Louis Samuel         1920–1925

2.      Herbert Onslow Plumer           1925–1928

3.      Sir Harry Charles Luke (penjabat)       1928

4.      Sir John Chancellor     1928–1931

5.      Arthur Grenfell Wauchope      1931–1938

6.      Sir Harold MacMichael            1938–1944

7.      John Vereker, Viscount Gort ke-6       1944–1945

8.      Sir Alan G. Cunningham          1945–1948

5.Rencana Pembagian Wilayah oleh PBB 1947.

6. Deklarasi Pembentukan Negara Israel, 14 Mei 1948.

Secara sepihak Israel mengumumkan diri sebagai negara Yahudi. Inggris hengkang dari Palestina. Mesir, Suriah, Irak, Libanon, Yordania, dan Arab Saudi menabuh genderang perang melawan Israel.

7.Perang Arab Israel

Perang Arab-Israel 1948, atau disebut juga sebagai “Perang Kemerdekaan” atau “Perang Pembebasan” oleh orang Israel, adalah konflik bersenjata pertama dari serangkaian konflik yang terjadi antara Israel dan tetangga-tetangga Arabnya dalam konflik Arab-Israel. Bagi orang-orang Palestina, perang ini menandai awal dari rangkaian kejadian yang disebut sebagai “Bencana” (Bahasa Inggris: “The Catastrophe”, Bahasa Arab: النكبة).

Pada tahun 1947, Perserikatan Bangsa-Bangsa memutuskan untuk membagi wilayah Mandat Britania atas Palestina. Tetapi hal ini ditentang keras oleh negara-negara Timur Tengah lainnya dan juga banyak negeri-negeri Muslim. Kaum Yahudi mendapat 55% dari seluruh wilayah tanah meskipun hanya merupakan 30% dari seluruh penduduk di daerah ini. Sedangkan kota Yerusalem[1] yang dianggap suci, tidak hanya oleh orang Yahudi tetapi juga orang Muslim dan Kristen, akan dijadikan kota internasional.

Yerusalem saja adalah kota di Timur Tengah yang merupakan kota suci bagi agama Islam, Kristen dan Yahudi. Kota ini diklaim sebagai ibukota Israel, meskipun tidak diakui secara internasional, maupun bagian dari Palestina. Secara de facto kota ini dikuasai oleh Israel. Para elit Israel menganggap kota suci ini adalah bagian dari negaranya dan itu adalah bentuk ideologi “Zionisme”. Dari semua negara yang memiliki hubungan diplomatik dengan Israel, hanya Kosta Rika dan El Salvador saja yang menempatkan kedutaan mereka di Yerusalem. Lainnya di Tel Aviv, karena menurut PBB, Yerusalem akan dijadikan Kota Internasiona. Oleh orang-orang Palestina, Yerusalem juga dianggap sebagai ibu kota Palestina. Kota historis Yerusalem adalah sebuah warisan dunia yang dilindungi oleh UNESCO mulai tahun 1981. Kota ini memiliki penduduk sebesar 724.000 jiwa dan luas 123 km2. Sepanjang sejarahnya, Yerusalem telah dihancurkan dua kali, dikepung 23 kali, diserang 52 kali, dan dikuasai/dikuasai ulang 44 kali.

Sejarah Kota Yerusalem

Sejarah Yerusalem dapat dibagi menjadi lima tahap; Zaman Kuno, Zaman Pemerintahan Kekaisaran Romawi, Zaman Islam, Zaman Mandat Britania, dan Zaman Pendudukan Israel.

Zaman Silam

bernama Yebusit. Nabi Daud kemudian diriwayatkan mulai mengembangkan kota ini dan menjadikannya ibu kota kerajaannya. Yerusalem kemudian diriwayatkan diperintah oleh Nabi Sulaiman. Menurut ahli sejarah Yahudi, Nabi Sulaiman telah membangun sebuah kuil yang diberi nama “Baitallah”.

Tidak lama kemudian, tentara Babilonia mulai merebut Yerusalem dari orang Yahudi. Nebukadnezar, raja Babylon kemudian menguasai Yerusalem dan memusnahkan Baitallah. Dia kemudian menghalangi orang Yahudi masuk ke Yerusalem. Setelah beberapa dasawarsa, tentara Parsi menguasai Babylon. Cyrus II, raja Parsi memperbolehkan orang Yahudi kembali ke Yerusalem dan membangun kembali Baitallah mereka. Baitallah Kedua dibangun oleh Herodus Yang Agung namun setelah kematiannya, kota ini jatuh ke tangan Roma.

Pemerintahan Romawi

Semasa pemerintahan Roma, masyarakat Yahudi di Yerusalem memberontak. Akibatnya tentara Roma mematahkan pemberontakan tersebut dan memusnahkan Baitallah Kedua orang Yahudi. Yang tinggal hanyalah sebagian gedung itu yang dikenal sebagai Tembok Barat.

Setelah pemberontakan tersebut, orang Yahudi diperbolehkan tinggal di situ tetapi dalam jumlah yang kecil. Pada kurun kedua, Kaisar Roma memerintahkan supaya Yerusalem dibangun kembali dan membangun sebuah kuil orang Roma di situ sambil menghalang kegiatan keagamaan orang Yahudi. Orang Yahudi kembali memberontak tetapi dapat dipatahkan tentara Roma. Yerusalem dinamakan kembali menjadi Aelia Capitolina.

Orang Yahudi dilarang memasuki Yerusalem. Selama 150 tahun setelahnya, kota ini menjadi tidak penting bagi Kekaisaran Romawi. Namun demikian, Kaisar Bizantium yaitu Constantine menjadikan Yerusalem sebagai pusat keagamaan Kristen dengan membangun Church of the Holy Sepulcher (?) pada tahun 335 M. Orang Yahudi tetap tidak dibenarkan memasuki Yerusalem kecuali semasa pemerintahan singkat Kekaisaran Parsi pada tahun 614M hingga tahun 629M.

Pemerintahan Islam

Walaupun Al Quran tidak menyebut mengenai nama “Yerusalem” atau “Baitulmuqaddis”, tetapi ada hadis yang menyebut mengenainya. Menurut hadis sahih, adalah di Yerusalem Nabi Muhammad s.a.w. naik ke surga semasa peristiwa Isra’ Mi’raj. Kota itu kemudian dikuasai oleh angkatan tentara Islam pada tahun 638M. Umar bin Khattab secara pribadi pergi ke Yerusalem untuk menerima penyerahan Yerusalem kepada kerajaan Islam. Beliau kemudian ditawarkan bersembahyang di dalam Church of the Holy Sepulcher tetapi menolaknya dan sebaliknya meminta supaya dibawa ke Masjidil Aqsa Al Haram Al Sharif. Ia mendapati tempat itu terlalu kotor dan mengarahkan supaya pembersihan dijalankan. Ia kemudian membangun sebuah masjid kayu di tempat yang sekarang merupakan kompleks bangunan Masjid Al Aqsa.

Enam tahun kemudian, Qubbat As-Sakhrah dibangun. Struktur ini terdiri dari sebuah batu yang dikatakan tempat Nabi Muhammad s.a.w. berdiri sebelum naik ke surga semasa peristiwa Isra’ Mi’raj. Perlu diingatkan bahwa kubah yang berlapis emas dan berbentuk oktagon ini tidak sama seperti Masjid Al Aqsa di sebelahnya yang dibangun tidak lama kemudian. Semasa pemerintahan awal Islam, terutama semasa pemerintahan kerajaan Ummaiyyah (650-750) dan kerajaan Abbasiyyah (750-969), kota Yerusalem berkembang. Banyak orang berpendapat bahwa Yerusalem pada ketika itu merupakan tanah yang paling subur di Palestina.

Pemerintahan awal Islam juga mewujudkan sebuah toleransi di antara kaum. Namun semasa pemerintahan Al-Hakim Amr Allah, seorang khalifah kerajaan Fatimiyyah, beliau mengarahkan supaya semua gereja dan rumah ibadah bukan Islam dimusnahkan. Hal ini menyebabkan berlakunya Perang Salib. Pada tahun 1099, tentara Kristen Eropa menguasai Yerusalem. Mereka kemudian membunuh semua penduduk kota yakni Muslim, Yahudi dan bahkan juga Kristen. Hal ini karena ketidaktahuan mereka, orang Kristen yang tinggal di sana wujudnya berbeda dengan orang Kristen Eropa.

Yerusalem kemudian dijadikan ibu kota Kerajaan Kristen Yerusalem (Kingdom of Jerusalem). Kerajaan ini kekal hingga tahun 1291; Yerusalem sendiri dikuasai oleh Salahuddin Al Ayubi pada tahun 1187. Salahuddin juga memperbolehkan semua orang beribadah di Yerusalem tanpa memandang apakah Kristen, Muslim atau Yahudi. Pada tahun 1243, Yerusalem jatuh kembali ke tangan tentara Kristen sebelum jatuh kembali ke tangan orang Islam pada tahun berikutnya.

Pada tahun 1517, Yerusalem dikuasai oleh Kerajaan Turki Utsmaniyyah. Sulaiman Al Qanuni membina kembali tembok Yerusalem yang dapat kita lihat hingga hari ini.

Mandat Britania

Britania berhasil menaklukkan kerajaan Turki Uthmaniyyah saat Perang Dunia I. Dengan kemenangan mereka itu, tentara Britania di Mesir memasuki Yerusalem pada 11 Desember 1917. Pihak Britania kemudian membangun rumah-rumah baru di sini dan menyebabkan Yerusalem berkembang hingga keluar dari temboknya.

Pada 29 November 1947, PBB (UNGA) mengeluarkan suatu petisi untuk memisahkan pemerintahan Mandat Britania di Palestina kepada dua buah wilayah: satu untuk orang Yahudi dan satu untuk orang Arab. Hal ini mengakibatkan terjadinya pemberontakan di Yerusalem yang kemudian menyebabkan Perang Arab-Israel 1948 yang terjadi pemerintahan Mandat Britania berakhir.

Yerusalem dan konflik Arab-Israel

Semasa Perang Arab-Israel 1948, Yerusalem terbagi menjadi dua wilayah. Bagian barat yang meliputi kota baru menjadi sebagian dari Israel, sedangkan bagian timur termasuk kota lama Yerusalem menjadi milik Yordania.

PBB memutuskan supaya Yerusalem berada di bawah pemerintahan internasional. Walau bagaimanapun, pada 23 Januari 1950, Parlemen Israel mensahkan satu resolusi untuk menjadikan Yerusalem sebagai ibu kota Israel. Yerusalem Timur kemudian ditawan oleh tentara Israel dalam Perang Enam Hari pada tahun 1967.

Walaupun Israel membenarkan penganut agama di Yerusalem akses ke tempat suci mereka, terdapat banyak kerisauan mengenai beberapa serangan ke Masjid Al-Aqsa seperti kebakaran pada tahun 1969 yang disebabkan oleh seorang turis Australia. Status Yerusalem Timur tetap menjadi satu isu yang kontroversi.

Status Yerusalem kini

Menurut satu petisi PBB, Baitulmuqaddis sepatutnya menjadi sebuah kota internasional dan bukan sebagian dari negeri orang Arab ataupun negeri orang Yahudi. Setelah Perang Arab-Israel 1948, Yerusalem Barat diduduki oleh Israel sedangkan Yerusalem Timur menjadi milik Yordania.

Pada tahun 1967, semasa Perang Enam Hari, Israel menguasai Yerusalem Timur dan mulai mengambil langkah untuk menyatukan Yerusalem di bawah kekuasaan Israel. Pada tahun 1988 Yordania menarik balik semua tuntutannya atas Tepi Barat (termasuk Yerusalem) guna mendukung Organisasi Pembebasan Palestina (PLO).Kedudukan Yerusalem hingga kini masih dipertanyakan.

Yerusalem dan Islam

Bagi kaum Muslim, Yerusalem merupakan tempat ketiga paling suci dalam Islam. Apabila kembali ke sejarah Yerusalem, kita dapat melihat bahwa kota ini mengalami kesengsaraan sebelum kedatangan Islam. Di saat Islam menguasai kota ini barulah mencapai ketenangan dan keamanan. Banyak pedagang-pedagang Arab berdagang di sini termasuk dari Makkah dan Madinah. Kota ini juga menjadi kiblat pertama umat Islam sebelum akhirnya beralih ke Makkah. Disaat tentara Salib menguasai kota ini, semua penduduk kota, termasuk yang beragama Kristen dibunuh dengan kejam.

Setelah Salahuddin Al-Ayubbi menguasai kota ini kembali, orang Islam, Kristen, dan Yahudi dapat beribadat tanpa adanya gangguan.

Israel diproklamasikan pada tanggal 14 Mei 1948 dan sehari kemudian langsung diserbu oleh tentara dari Lebanon, Suriah, Yordania, Mesir, Irak dan negara Arab lainnya. Tetapi Israel bisa memenangkan peperangan ini dan malah merebut kurang lebih 70% dari luas total wilayah daerah mandat PBB Britania Raya, Palestina. Perang ini menyebabkan banyak kaum Palestina mengungsi dari daerah Israel. Tetapi di sisi lain tidak kurang pula kaum Yahudi yang diusir dari negara-negara Arab lainnya.

8. Persetujuan Gencatan Senjata 1949

Tanggal 3 April 1949. Israel dan Arab bersepakat melakukan gencatan senjata. Israel mendapat kelebihan wilayah 50 persen lebih banyak dari yang diputuskan dalam Rencana Pemisahan PBB.

9.Exodus bangsa Palestina

1949-1967

1.Perang Suez

2. Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) resmi berdiri pada Mei 1964. Tujuannya menghancurkan Israel.

Organisasi Pembebasan Palestina (bahasa Arab: منظمة تحرير فلسطينية Munazzamat al-Tahrir Filastiniyyah; bahasa Inggris: Palestine Liberation Organisation atau disingkat PLO) adalah lembaga politik resmi bangsa Arab Palestina yang telah mendapatkan pengakuan dari dunia internasional. Lembaga ini terdiri atas sejumlah organisasi perlawanan (yang terpenting ialah Al Fatah), organisasi ahli hukum, mahasiswa, buruh dan guru.

Organisasi ini mengusahakan sebuah negara Palestina di antara Laut Tengah dan Yordania.

Sejak didirikan, pada tahun 1969 hingga meninggal pada tahun 2004, Yasser Arafat merupakan ketua organisasi ini.Stelah itu digantikan oleh Mahmud Abbas.

Berdirinya PLO

PLO didirikan pada 1964, setelah didahului oleh langkah awal Alm. Yasser Arafat untuk menyatukan semua organisasi perlawanan Palestina di bawah satu wadah, Al Fatah, pada 1950-an. Di awal pendirian, PLO di bawah dukungan Arafat dengan Al Fatahnya, menyerang Israel secara terus menerus. Israel menjawab dengan secara rutin menyerang basis PLO di Lebanon. Tak jarang korban yang berjatuhan dari kalangan sipil serta perempuan dan anak-anak.

Organ utama

Organ utama lembaga ini ialah Komite Eksekutif, Komite Sentral serta Dewan Palestina. Terpenting dari antaranya ialah Komite Eksekutif, yang bertugas mengambil keputusan-keputusan politik. Dalam mengambil keputusan, organ ini menerima masukan serta nasehat dari Komite Sentral, yang hampir kesemua anggotanya diambil dari organisasi perlawanan dan tokoh-tokoh independen. Dewan Nasional Palestina, sebuah organisasi penting lainnya yang terdiri dari 500 anggota, merupakan juga Parlemen Palestina.

Ketua PLO pertama

Atas kegigihannya menarik perhatian masyarakat internasional, pada tahun 1969 Arafat diangkat sebagai ketua PLO. Setelah menjadi ketua, Arafat mulai meninggalkan kegiatan penyerangan dengan senjata dan berusaha mendirikan sebuah pemerintahan di pengasingan. Beberapa langkah penting yang dilakukannya ialah berhasil membuat PLO memperoleh pengakuan Liga Arab sebagai satu-satunya organisasi bangsa Palestina tahun 1974. Juga pada November 1974, PLO merupakan satu-satunya organisasi nonpemerintah yang memperoleh kesempatan berbicara di depan Sidang Umum PBB. Satu langkah berikut yang dicapai ialah diperolehnya keanggotaan penuh PLO di dalam Liga Arab pada tahun 1976.

Perdamaian Mesir dengan Israel dan dampaknya bagi Palestina

Tahun 1979, atas usaha Anwar Sadat, terjadi perdamaian antara Mesir dengan Israel, yang mengakibatkan dikembalikannya wilayah Mesir yang diduduki Israel. Namun perjanjian ini tidak berhasil membentuk sebuah negara Palestina merdeka. Hal ini menimbulkan kemarahan PLO. Mereka mulai lagi melakukan penyerangan kepada Israel, dengan akibat Israel menyerang Lebanon yang merupakan basis PLO, pada 6 Juni 1982. Serbuan ini menyebabkan basis PLO di Tripoli, Lebanon, hancur dan anggotanya terpaksa dievakuasi ke wilayah negara-negara Arab yang kemudian menetap di Algiers, Aljazair.

Manuver politik PLO

Selanjutnya manuver politik yang dilakukan oleh PLO untuk mencapai tujuan kemerdekaan Palestina ialah dengan menyebarkan perjuangan rakyat Palestina ke seluruh dunia, mengakui Resolusi Dewan Keamanan PBB No 242 dan 338 (yang mengakui eksistensi Israel), serta melakukan gerakan Intifadah sejak tahun 1987. Sebagian faksi militan militer menolak mengakui Resolusi PBB tersebut, namun mereka menegaskan bahwa mereka tetap menjadi anggota PLO dan tidak ingin memecah belah semangat nasionalisme ketika sedang dirintis usaha ke arah berdirinya sebuah negara yang baru terbentuk.

Pada 15 November 1988, sebuah langkah besar dilakukan oleh PLO, yaitu mengumumkan berdirinya negara Palestina dari markas besarnya di Algiers, Aljazair. Bersamaan dengan ini PLO mulai mendirikan kantor kedutaannya di berbagai negara Timur Tengah dan di Indonesia.

Perwakilan di PBB

PLO mendapatkan status peninjau di Sidang Umum PBB pada 1974 (Resolusi Sidang Umum no. 3237). Dengan pengakuan terhadap Negara Palestina, PBB mengubah status peninjau ini sehingga dimiliki oleh Palestina pada 1988 (Resolusi Sidang Umum no. 43/177.) Pada Juli 1998, Sidang Umum menerima sebuah resolusi baru (52/250) yang memberikan kepada Palestina hak-hak dan privilese tambahan, termasuk hak untuk ikut serta dalam perdebatan umum yang diadakan pada permulaan setiap sesi Sidang Umum, hak untuk menjawab, hak untuk ikut mensponsori resolusi dan hak untuk mengajukan keberatan atau pertanyaan yang berkaitan dengan pembicaraan dalam rapat (points of order) khususnya menyangkut masalah-masalah Palestina dan Timur Tengah. Dengan resolusi ini, “tempat duduk untuk Palestina akan diatur tepat setelah negara-negara non-anggota dan sebelum peninjau-peninjau lainnya.” Resolusi ini diterima dengan suara 124 setuju, 4 menolak (Israel, AS, Kepulauan Marshall, Mikronesia) dan 10 abstain.

3.Perang Enam Hari

Perang Enam Hari, juga dikenali sebagai Perang Arab-Israel 1967, merupakan peperangan antara Israel menghadapi gabungan tiga negara Arab, yaitu Mesir, Yordania, dan Suriah, dan ketiganya juga mendapatkan bantuan aktif dari Irak, Kuwait, Arab Saudi, Sudan dan Aljazair. Perang tersebut berlangsung selama 132 jam 30 menit (kurang dari enam hari), hanya di front Suriah saja perang berlangsung enam hari penuh.

Pada bulan Mei tahun 1967, Mesir mengusir United Nations Emergency Force (UNEF) dari Semenanjung Sinai; ketika itu UNEF telah berpatroli disana sejak tahun 1957 (yang disebabkan oleh invasi atas Semenanjung Sinai oleh Israel tahun 1956). Mesir mempersiapkan 1.000 tank dan 100.000 pasukan di perbatasan dan memblokade Selat Tiran (pintu masuk menuju Teluk Aqaba) terhadap kapal Israel dan memanggil negara-negara Arab lainnya untuk bersatu melawan Israel. Pada tanggal 5 Juni 1967, Israel melancarkan serangan terhadap pangkalan angkatan udara Mesir karena takut akan terjadinya invasi oleh Mesir.[4] Yordania lalu menyerang Yerusalem Barat dan Netanya. Pada akhir perang, Israel merebut Yerusalem Timur, Jalur Gaza, Semenanjung Sinai, Tepi Barat, dan Dataran Tinggi Golan. Hasil dari perang ini mempengaruhi geopolitik kawasan Timur Tengah sampai hari ini.

Latar belakang

Akibat Perang Arab-Israel tahun 1948 dan 1956

Perang ini disebabkan oleh ketidakpuasan orang Arab atas kekalahannya dalam Perang Arab-Israel tahun 1948 dan 1956. Pada saat terjadinya Krisis Suez tahun 1956, walaupun Mesir kalah, namun mereka menang dalam hal politik. Tekanan diplomatik dari Amerika Serikat dan Uni Soviet memaksa Israel untuk mundur dari Semenanjung Sinai. Setelah perang tahun 1956, Mesir setuju atas keberadaan pasukan perdamaian PBB di Sinai, UNEF, untuk memastikan kawasan tersebut bebas tentara dan juga menghalangi gerilyawan yang akan menyebrang ke Israel, sehingga perdamaian antara Mesir dan Israel terwujud untuk sesaat.

Perang tahun 1956 menyebabkan kembalinya keseimbangan yang tidak pasti, karena tidak ada penyelesaian atau resolusi tetap mengenai masalah-masalah di wilayah itu. Pada masa itu, tidak ada negara-negara Arab yang mengakui kedaulatan Israel. Suriah yang bersekutu dengan blok Soviet mulai mengirim gerilyawan ke Israel pada awal tahun 1960-an sebagai bagian dari “perang pembebasan rakyat”, dalam rangka untuk mencegah perlawanan domestik terhadap partai Ba’ath.[8] Selain itu, negara-negara Arab juga mendorong gerilyawan Palestina menyerang sasaran-sasaran Israel.

Pengangkut Air Nasional Israel

Pada tahun 1964, Israel telah mulai mengalihkan air dari Sungai Yordan untuk Pengangkut Air Nasional Israelnya. Pada tahun berikutnya, negara-negara Arab mulai membuat “Rencana Pengalihan Air”. Apabila rencana tersebut selesai, maka akan mengalihkan air dari Sungai Banias agar tidak memasuki Israel dan Danau Galilea melainkan mengalir ke dalam suatu bendungan di Mukhaiba untuk Yordania dan Suriah, serta mengalihkan air dari Hasbani ke dalam Sungai Litani di Lebanon. Hal ini akan mengurangi kapasitas air yang masuk ke Pengangkut Air Nasional Israel sebanyak 35%, dan persediaan air Israel sekitar 11%.

Angkatan Bersenjata Israel menyerang pekerjaan pengalihan tersebut di Suriah pada bulan Maret, Mei, dan Agustus tahun 1965, sebuah rangkaian kekerasan yang berlanjut di sepanjang perbatasan, yang berhubungan langsung dengan peristiwa-peristiwa lainnya yang nantinya akan memulai perang.

Israel dan Yordania: Peristiwa Samu

Pada tanggal 12 November 1966, seorang Polisi Perbatasan Israel menginjak ranjau yang menyebabkan terbunuhnya 3 tentara dan melukai 6 orang lainnya. Pihak Israel percaya bahwa ranjau tersebut telah ditanam oleh teroris Es Samu di Tepi Barat. Pada pagi tanggal 13 November 1966, Raja Hussein, yang sudah tiga tahun mengadakan pertemuan rahasia dengan Abba Eban dan Golda Meir untuk membahas keamanan perbatasan dan perdamaian, menerima pesan yang tidak diminta dari Israel yang menyatakan bahwa Israel tidak mempunyai niat untuk menyerang Yordania.[10] Walaupun begitu, pada pukul 5:30 pagi, Hussein menyatakan bahwa “dengan alasan ‘balas dendam terhadap aktivitas teroris dari P.L.O.’, Pasukan Israel menyerang Es Samu, sebuah desa Yordania yang mempunyai 4.000 penduduk, seluruhnya merupakan pengungsi dari Palestina, yang dituduh Israel menyembunyikan teroris dari Suriah”.

Dalam “Operasi Shredder”, operasi tentara Israel terbesar sejak tahun 1956 sampai terjadinya Invasi Lebanon 2006, pasukan sekitar 3.000-4.000 tentara yang didukung tank dan pesawat tempur ini dibagi kedalam pasukan cadangan, yang tetap tinggal di bagian perbatasan Israel, dan dua pasukan penyerang, yang menyebrang ke Tepi Barat yang dikuasai Yordania.

Pasukan yang lebih besar, delapan tank Centurion diikuti dengan 400 pasukan lintas udara yang dimuatkan kedalam 40 truk dan 60 insinyur militer dalam 10 truk menuju kearah Samu, sementara sejumlah pasukan kecil yang terdiri daripada tiga tank dan 100 pasukan payung terjun dan insinyur militer yang menuju ke dua desa yang lebih kecil, Kirbet El-Markas dan Kirbet Jimba, dalam satu misi untuk mengebom rumah-rumah. Di Samu, tentara Israel menghancurkan satu-satunya klinik di desa, satu sekolah perempuan, pejabat pos, perpustakaan, satu kedai kopi dan sekitar 140 buah rumah. Laporan berbeda mengenai peristiwa ini telah dibuat yang merujuk kepada buku Terrence Prittie, Eshkol: The Man and the Nation dimana menyatakan 50 rumah telah diledakan tetapi penghuni-penghuni rumah tersebut telah dipindahkan beberapa jam sebelumnya. Batalion Infantri tentara Yordania ke-48, yang diarahkan oleh Mayor Asad Ghanma, bergerak menuju ke arah tentara Israel di barat laut Samu dan dua kompeni yang bergerak menuju timur laut telah diserang oleh Israel, ketika satu pleton Yordania yang bersenjatakan dua meriam 106 mm memasuki Samu. Dalam pertempuran, tiga orang sipil Yordania dan 15 tentara tewas, 54 tentara lain dan 96 orang sipil cedera. Letnan kolonel batalion pasukan lintas udara Israel, Kolonel Yoav Shaham, tewas dan sepuluh tentara lainnya cedera. Merujuk kepada data pemerintah Israel, lima puluh tentara Jordan tewas namun jumlah sebenarnya telah dirahasiakan demi menjaga moral dan keyakinan pada rezim Raja Hussein.

Dua hari kemudian dalam satu memo kepada Presiden Johnson, asisten khususnya Walt Rostow menulis “tindakan balas dendam bukan inti kasus ini. Serangan 3000 orang dengan tank dan pesawat-pesawat ini terlalu berlebihan terhadap provokasi yang terjadi, dan diarahkan kepada sasaran yang salah” dan kemudian menggambarkan kerusakan terhadap kepentingan Amerika Serikat dan Israel: “Mereka telah memusnahkan sistem kerjasama yang bagus diantara Hussein dan pihak Israel… Mereka telah menghianati Hussein. Kita telah mengeluarkan $500 juta untuk membinanya sebagai salah satu faktor kestabilan pada perbatasan terpanjang Israel dan terhadap Suriah dan Irak. Serangan Israel meningkatkan tekanan terhadap Hussein untuk menyerang balik, tidak hanya dari negara-negara Arab yang radikal dan orang Palestina di Yordania, tetapi juga dari angkatan darat, yang merupakan sumber dukungan utamanya, dan mungkin sekarang memaksa untuk mendapatkan kesempatan membalas kekalahan pada hari Minggu… Israel telah merusak kemajuan menuju adanya akomodasi dengan orang-orang Arab. Mereka mungkin memperlihatkan pada Suriah yang merupakan biang keladi, bahwa Israel tidak berani menyerang Suriah yang dilindungi oleh Uni Soviet, namun boleh menyerang Yordania yang didukung oleh Amerika Serikat tanpa ada hukuman.”

Dalam menghadapi kritik dari orang Yordania, Palestina dan tetangga Arab lainnya karena kegagalannya dalam mempertahankan Samu, Hussein memerintahkan untuk menjalankan mobilisasi nasional pada tanggal 20 November 1966. Pada tanggal 25 November 1966, Dewan Keamanan PBB mengadopsi Resolusi 228 dan menyesali “kehilangan nyawa dan kerusakan besar menyebabkan terjadinya tindakan Israel pada tanggal 13 November 1966”, mengancam “Israel karena jumlah pasukan berskala besar yang melanggar Piagam PBB dan Perjanjian Perdamaian antara Israel dan Yordania” dan menekan “kepada Israel bahwa tindakan balas dengan mengirim tentara tidak dapat ditolerir dan jika mereka mengulangi hal tersebut, Dewan Keamanan PBB akan mempertimbangkan langkah-langkah efektif seperti yang dibayangkan di dalam Piagam untuk memastikan pencegahan terhadap pengulangan tindakan yang sedemikian.”

Dalam satu telegram untuk Departemen Negara Bagian pada tanggal 18 Mei 1967, Duta besar Amerika Serikat di Amman, Findley Burns, telah melaporkan bahwa Hussein telah menjelaskan opininya dalam sebuah perbincangan sehari sebelumnya bahwa“      “Yordania adalah salah satu sasaran dalam jangka pendek dan dalam pandangan Hussein, ia pasti berlaku dalam jangka panjang…. Israel mempunyai kebutuhan militer dan ekonomi yang panjang serta tradisi agama dan aspirasi sejarah yang tertentu dimana pada pandangan Hussein mereka masih belum puas. Satu-satunya cara agar keinginan mereka tercapai adalah dengan mengubah status Tebing Barat, Yordania. Oleh sebab itu pandangan Hussein adalah hal yang bagi Israel merupakan kesempatan untuk mengambil kelebihan dari suatu peluang dan memaksa situasi apapun yang membuat mereka lebih dekat kepada keinginan mereka. Hussein mengkhawatirkan bahwa keadaan pada saat itu yang memberi kesempatan terhadap teroris, penyelundupan dan perpecahan diantara orang Arab yang sangat jelas,” ”dan mengenang peristiwa Samu“       “Hussein menyatakan bahwa jika Israel melancarkan serangan serangan berskala-Samu terhadap Yordania, ia tidak memiliki pilihan lain selain untuk membalas serangan mereka atau ia akan menghadapi pemberontakan di negaranya. Jika Yordania menyerang balas, tanya Hussein, apakah ini akan memberikan Israel suatu kesempatan untuk merebut wilayah Yordania dan mempertahankan wilayah Yordania yang direbut? Atau Israel mungkin akan menyerang dengan jenis serangan tembak-dan-lari hanya untuk menaklukan dan mempertahankan wilayah dalam perang sebelumnya. Hussein menyatakan bahwa ia tidak mungkin mengeluarkan kemungkinan-kemungkinan ini dari perkiraannya dan mendesak kami agar jangan berbuat demikian walaupun kita hanya ingin merasakannya.”

Israel dan Suriah

Selain mendukung serangan-serangan kepada Israel (yang sering memasuki wilayah Yordania, sehingga mengesalkan Raja Hussein), Suriah pun mulai menembaki komunitas rakyat Israel di timur Danau Galilea dari posisinya di Dataran Tinggi Golan, sebagai bagian dari perselisihan atas penguasaan Zona Demiliterisasi, yaitu tanah kecil yang diklaim oleh Israel dan Suriah.

Pada tahun 1966, Mesir dan Suriah menandatangani persekutuan militer, yang mana mereka akan saling membantu bila salah satunya diserang pihak lain. Menurut Indar Jit Rikhye (penasihat militer PBB), Menteri Luar Negeri Mesir Mahmoud Riad mengatakan bahwa Mesir telah dibujuk oleh Uni Soviet untuk menjalin pakta pertahanan tersebut berdasarkan 2 alasan: untuk mengurangi peluang terjadinya serangan penghukuman terhadap Suriah oleh Israel, dan untuk membawa Suriah ke dalam pengaruh Presiden Mesir Gamal Abdel Nasser yang lebih moderat.

Selama kunjungan ke London pada bulan Februari tahun 1967, Menteri Luar Negeri Israel Abba Eban menjelaskan kepada hadirin tentang “harapan dan kegelisahan” Israel, bahwa walaupun Libanon, Yordania dan Republik Persatuan Arab (nama resmi Mesir sampai 1971) sepertinya berkeputusan untuk berkonfrontasi aktif melawan Israel, masih perlu dilihat apakah Suriah dapat mengekang diri sehingga permusuhan dapat dibatasi hanya sampai tingkatan retorik.

Pada tanggal 7 April 1967, suatu peristiwa kecil di perbatasan telah menyebabkan satu pertempuran udara berskala besar di Dataran Tinggi Golan yang mengakibatkan Suriah kehilangan enam MiG-21, yang dikalahkan oleh Dassault Mirage III Angkatan Udara Israel, yang juga terbang melintasi Damaskus. [22] Tank, mortir, dan artileri digunakan oleh berbagai pihak sepanjang 47 mil (76 km) perbatasan, yang dijelaskan sebagai “suatu perselisihan terhadap hak pengerjaan tanah dalam Zona Demiliterisasi, di sebelah tenggara Danau Tiberias.” Pada awal minggu, Suriah telah 2 kali menyerang traktor Israel yang bekerja di kawasan tersebut, dan ketika traktor itu kembali lagi di pagi hari tanggal 7 April 1967, Suriah pun melepaskan tembakan. Israel bereaksi dengan mengirim beberapa traktor lapis baja untuk terus membajak, mengakibatkan berlanjutnya aksi tembak-menembak. Pesawat Israel menjatuhkan bom-bom seberat 250 dan 500 kilogram ke lokasi-lokasi Suriah. Suriah membalas dengan menembak pemukiman-pemukiman Israel di perbatasan dan pesawat jet Israel membalas dengan mengebom desa Sqoufiye yang menghancurkan 40 rumah. Pada pukul 15:19, tembakan Suriah mulai jatuh di Kibbutz Gadot, sebanyak 300 tembakan telah jatuh dalam lingkungan kibbutz dalam waktu 40 menit. UNTSO mencoba untuk menyusun gencatan senjata, namun Suriah menolak untuk bekerja sama jika pengerjaan tanah Israel tidak dihentikan.

Perdana Menteri Israel, Levi Eshkol yang berbicara dalam suatu pertemuan partai politik sayap kiri Mapai di Yerusalem pada tanggal 11 Mei 1967, ia memberikan ancaman bahwa Israel tidak ragu-ragu untuk mengirim serangan udara dalam skala yang sebesar pada tanggal 7 April 1967 sebagai balasan terhadap terorisme di perbatasan yang berkelanjutan. Pada hari yang sama, Gideon Rafael, utusan Israel memberikan surat kepada Dewan Keamanan PBB dan memberikan ancaman bahwa Israel akan “bertindak untuk mempertahankan diri jika keadaan sekitar memungkinkan”. Ditulis dari Tel Aviv pada tanggal 12 Mei 1967, James Feron melaporkan bahwa sebagian dari pemimpin Israel memutuskan untuk mengirim pasukan “yang kuat tetapi dalam kurun waktu yang singkat dan pada kawasan yang terbatas” terhadap Syria. Laporan itu juga mengutip “seorang pengamat yang berwibawa” yang “berkata bahwa Republik Persatuan Arab, sekutu Suriah yang paling dekat di dunia Arab, tidak akan ikut campur kecuali jika serangan Israel meluas”.

Pada awal bulan Mei tahun 1967, kabinet Israel memberikan hak atas serangan terbatas terhadap Suriah, namun permintaan semula oleh Rabin untuk menyerang secara besar-besaran agar dapat menggulingkan rezim Ba’ath ditentang oleh Eshkol.

Peristiwa di perbatasan terus bertambah dan banyak pemimpin Arab, termasuk para pemimpin politik dan militer, meminta untuk mengakhiri tindakan Israel. Mesir, yang pada saat itu mencoba merebut kedudukan yang utama di dalam dunia Arab di bawah Nasser, turut menyertai rencana-rencana untuk memiliterisasi Sinai. Suriah mengutarakan pandangan-pandangan itu, walaupun tidak siap untuk melakukan serangan tiba-tiba. Uni Soviet mendukung keperluan militer negara-negara Arab dengan aktif. Intelijen Soviet memberikan laporan yang diberikan oleh Presiden Uni Soviet Nikolai Podgorny kepada Wakil Presiden Mesir Anwar Sadat menyatakan bahwa tentara Israel sedang berkumpul di sepanjang perbatasan Suriah. Pada tanggal 13 Mei, laporan Soviet yang bohong itu didedahkan. Namun laporan palsu itu terungkap pada tanggal 13 Mei 1967. Pada bulan Mei tahun 1967, Hafez Assad, selanjutnya Menteri Pertahanan Suriah juga menyatakan: “Pasukan kami sekarang seluruhnya siap tidak hanya untuk menahan agresi, namun untuk mengusahakan aksi pembebasan, dan untuk menghancurkan kehadiran Zionis di tempat tinggal Arab. Pasukan Suriah, dengan jarinya mencetuskan persatuan… Saya, sebagai seseorang yang secara militer percaya bahwa waktunya telah tiba untuk memasuki pertempuran pembinasaan.”

Mundurnya Pasukan Keamanan PBB

Pada pukul 10.00 malam 16 Mei, Jendral Indar Jit Rikhye, letnan kolonel United Nations Emergency Force (UNEF), menerima surat dari Jendral Mohammed Fawzy yang berbunyi:“        Sebagai informasi untuk anda, saya telah mengarahkan semua tentara Republik Persatuan Arab agar mempersiapkan diri untuk melakukan tindakan terhadap Israel jika negara itu melakukan tindakan yang agresif terhadap salah satu negara Arab. Oleh karena instruksi ini, tentara kita kini bertumpu di perbatasan timur kita di Sinai. Oleh sebab itu, agar pasukan keamanan PBB yang ditempatkan di pos-pos pengawasan pada sepanjang perbatasan kita, saya meminta agar anda memerintahkan pengunduran semua tentara dengan segera.”

Rikhye berkata bahwa ia akan melaporkan kepada sekretaris jendral untuk mendapat instruksi selanjutnya.

U Thant, Sekretaris Jendral PBB, mencoba untuk berunding dengan Mesir, namun, pada tanggal 18 Mei 1967, Menteri Luar Negeri Mesir memberitahu negara-negara yang memiliki tentara UNEF bahwa misi UNEF di Mesir dan Jalur Gaza telah dibatalkan dan mereka harus pergi segera. Tentara Mesir juga menghalangi tentara UNEF yang hendak memasuki pos mereka. India dan Yugoslavia memutuskan untuk menarik semua tentara mereka dari UNEF, tanpa mengira keputusan U Thant. Ketika semua ini berlangsung, U Thant memberi usulan bahwa UNEF pindah ke perbatasan Israel, namun Israel menolak usulan ini. Wakil Mesir kemudian memberitahu U Thant bahwa Mesir telah memutuskan untuk menghilangkan kehadiran UNEF di Sinai dan Jalur Gaza, dan meminta agar diambil langkah untuk semua pasukan darurat mundur dengan segera. Pada tanggal 19 Mei 1967, letnan kolonel UNEF menerima perintah untuk mundur. Gamal Abdel Nasser, Presiden Mesir, kemudian memulai demiliterisasi Sinai, dan mempersiapkan tank dan tentara di perbatasan antara Mesir dan Israel.

Selat Tiran

Pada tanggal 22 Mei 1967, Mesir mengumumkan bahwa mulai dari tanggal 23 Mei 1967, Selat Tiran akan ditutup untuk “semua kapal yang mengibarkan bendera Israel atau membawa bahan-bahan strategik”. Nasser juga menyatakan, “Tidak akan membiarkan bendera Israel melalui Teluk Aqaba dengan alasan apapun.” Kebanyakan perdagangan Israel menggunakan pelabuhan-pelabuhan di kawasan Laut Tengah, dan menurut John Quigley, walaupun kapal-kapal dengan bendera Israel tidak pernah menggunakan pelabuhan Eilat sejak dua tahun sebelum bulan Juni tahun 1967, minyak yang dibawa oleh kapal-kapal dengan bendera yang bukan bendera Israel merupakan impor yang sangat penting bagi Israel. Terdapat ketidakjelasan tentang tingkat keketatan blokade tersebut, khususnya mengenai apakah hal itu juga berlaku terhadap kapal-kapal yang bukan berbendera Israel.

Melihat hukum internasional, Israel menganggap bahwa Mesir telah menyalahi undang-undang jika negara tersebut menutup Selat Tiran, dan menyatakan bahwa Israel akan menganggap blokade itu sebagai suatu casus belli pada tahun 1957 ketika Israel mundur dari Sinai dan Jalur Gaza. Negara-negara Arab memperdebatkan hak Israel untuk melewati Selat Tiran kerana mereka tidak menandatangani Konvensi PBB tentang peraturan laut terutama karena Pasal 16(4) memberikan hak tersebut kepada Israel. Dalam perselisihan Majelis Umum PBB, banyak negara mengemukakan alasan bahwa jika hukum internasional memberikan hak untuk lewat kepada Israel, Israel tidak berhak menyerang Mesir untuk menuntut haknya karena penutupan itu bukan merupakan “serangan bersenjata” seperti yang tertulis dalam Pasal 51 dalam Piagam PBB. Selain itu menurut profesor hukum internasional John Quigley, berdasarkan doktrin proporsional, Israel berhak menggunakan kekuatan bersenjata hanya seperlunya saja demi mengamankan haknya untuk lewat.

Israel memperhatikan penutupan selat itu dengan serius dan meminta Amerika Serikat dan Britania Raya untuk membuka Selat Tiran seperti yang telah mereka jaminkan pada tahun 1957. Proposal Harold Wilson agar adanya kekuatan laut internasional untuk memecahkan krisis ini disetujui oleh Presiden Johnson, akan tetapi ia tidak menerima banyak dukungan, dan hanya Britania Raya dan Belanda yang menawarkan bantuan berupa kapal-kapal.

Mesir dan Yordania

Ideologi Nasser yang berbentuk pan-Arabisme telah mendapat banyak dukungan di Yordania, sehingga pada tanggal 30 Mei 1967, Yordania menandatangani pakta pertahanan dengan Mesir, oleh sebab itu, ia bergabung dengan persekutuan militer antara Mesir dan Yordania. Presiden Nasser, dimana telah menyebut Raja Hussein sebagai seorang “pesuruh imperialis”, pada awal hari menyatakan:“ Tujuan awal kita semua adalah kehancuran Israel. Orang-orang Arab ingin berperang.”

Pada akhir bulan Mei tahun 1967, tentara Yordania telah dikomando oleh Jendral Mesir, Jendral Abdul Munim Riad. Pada hari yang sama, Nasser menyatakan:“     Tentara Mesir, Yordania, Suriah dan Lebanon sedang dalam keadaan tenang di perbatasan Israel… untuk menghadapi tantangan, dimana dibelakang kami berdiri tentara Irak, Aljazair, Kuwait dan Sudan dan semua negara Arab. Aksi ini akan mengherankan dunia. Hari ini mereka akan mengetahui bahwa Arab telah siap untuk sebah pertempuran, waktu yang menentukan telah tiba. Kita telah mencapai panggung aksi serius dan bukan deklarasi-deklarasi lainnya. Kami telah mencapai panggung aksi serius dan tidak lagi mengeluarkan deklarasi.”

Israel telah meminta Yordania beberapa kali agar tidak menyerang Israel. Namun, Hussein berada di ujung tanduk, dan berada di dalam dilema, ia harus memilih apakah Yordania harus ikut dalam peperangan dan menerima resiko dari balasan Israel, atau agar tetap netral dan mendapat resiko akan terjadinya revolusi di Yordania. Jendral Sharif Zaid Ben Shaker juga memperingati dalam konferensi pers bahwa “Jika Yordania tidak ikut dalam perang ini, perang saudara akan menghancurkan Yordania”.

Israel memiliki pandangannya sendiri berkaitan dengan peranan Yordania dalam perang yang berdasarkan kekuasaan Yordania atas Tepi Barat. Hal ini akan membuat tentara Arab yang hanya berjarak 17 kilometer dari pantai Israel yang merupakan suatu titik perubahan dimana serangan tank akan membelah Israel menjadi dua dalam waktu 2 jam. Walaupun jumlah tentara Yordania memiliki arti bahwa Yordania mungkin tidak akan melaksanakan latihan militer karena berhubungan dengan sejarah bahwa negara ini digunakan oleh negara Arab lainnya sebagai panggung untuk operasi melawan Israel, oleh sebab itu, serangan dari Tepi Barat akan menjadi ancaman bagi Israel. Pada waktu yang sama, negara Arab yang tidak berbatasan dengan Israel, seperti Irak, Sudan, Kuwait dan Aljazair mulai menggerakkan tentara mereka.

Aliran menuju peperangan

Dalam ucapannya kepada orang-orang Arab pada tanggal 26 Mei 1967, Nasser menyatakan:“Jika Israel memulai agresi terhadap Suriah atau Mesir, pertempuran ini akan menjadi hal yang umum… dan tujuan dasar kita adalah untuk menghancurkan Israel.”

Menteri Luar Negeri Israel, Abba Eban menulis dalam biografinya bahwa ia telah diinformasikan oleh U Thant mengenai janji Nasser untuk tidak menyerang Israel, sehingga Abba Eban telah mendapat jaminan yang meyakinkan bahwa“ …Nasser tidak ingin adanya peperangan, ia hanya menginginkan kemenangan tanpa peperangan.”

Ditulis dari Mesir pada tanggal 4 Juni 1967, jurnalis New York Times James Reston memiliki pandangan :“ Kairo tidak ingin adanya peperangan dan ia tidak siap untuk sebuah peperangan. Tetapi ia menerima kemungkinan, walaupun hanya kemungkinan, seolah-olah ia telah kehilangan kekuasaan atas situasi. ”

Sebuah tulisan ditulis pada tahun 2002 oleh jurnalis Mike Shuster yang mengekspresikan pandangannya bahwa hal itu adalah hal yang lazim di Israel sebelum perang tersebut karena Israel “dikepung oleh negara Arab. Mesir dipimpin oleh Gamal Abdel Nasser, nasionalis yang pasukannya merupakan pasukan terkuat di Timur Tengah. Suriah dipimpin oleh Partai Ba’ath yang radikal, yang membahas permasalahan untuk mendorong Israel ke laut.” Hal ini dilihat oleh Israel sebagai aksi provokasi oleh Nasser, termasuk penutupan selat Tiran dan mobilisasi pasukan di Sinai, yang membuat rantai teanan ekonomi dan militer, dan Amerika Serikat menunggu kesempatan baik karena permasalahannya dalam Perang Vietnam, tokoh militer dan politik Israel merasa bahwa dengan “melakukan tindakan militer sebelum diserang” bukan hanya lebih disukai, tetapi transformatif.

Diplomasi dan taksiran Intelijen

Kabinet Israel melakukan sidang pada tanggal 23 Mei 1967 dan membuat keputusan untuk melancarkan serangan lebih dahulu jika Selat Tiran tidak dibuka sampai tanggal 25 Mei 1967. Setelah suatu pendekatan US Undersecretary of State Eugene Rostow untuk melakukan perundingan sebagai penyelesaian masalah tanpa peperangan, dan Israel setuju untuk menunda serangannya.

Taksiran CIA yang baru dilaporkan, membantah perkiraan pesimistik Israel mengenai militer Arab. Johnson, pada kehadiran Sekretaris McNamara dan petugas senior lainnya, mendengar Abba Eban pada tanggal 26 Mei 1967.

Pada tanggal 26 Mei 1967, Menteri Luar Israel Abba Eban mendarat di Washington D.C. untuk memastikan Amerika tentang keputusannya dalam peristiwa ini. Segera setelah Eban tiba, ia mendapat telegram dari pemerintah Israel. Telegram itu menyatakan bahwa Israel telah mempelajari rencana Mesir dan Suriah untuk melancarkan suatu peperangan pemusnahan atas Israel dalam kurun waktu 48 jam yang akan datang. Eban bertemu dengan Sekretaris Negara Amerika Serikat Dean Rusk, Sekretaris Pertahanan Robert McNamara, dan akhirnya dengan Presiden Johnson. Pihak Amerika menyatakan bahwa sumber intelijen mereka tidak dapat mendukung tuduhan tersebut, kedudukan Mesir di Sinai masih dalam posisi bertahan. Eban meninggalkan Gedung Putih dengan bingung. Sejarahwan Michael Oren menerangkan tentang reaksinya:“ Eban sangat bingung dan tidak yakin bahwa Nasser bertekad atau malah berniat menyerang, dan sekarang nampak bahwa pihak Israel membesar-besarkan ancaman Mesir – dan menampilkan kelemahan mereka – untuk menarik janji bahwa Presiden yang dibatasi Kongres, tidak pernah membuatnya. Suatu tindakan tanpa ada tanggung jawab… aneh…’ adalah perkataan-perkataan yang ia kirim dalam telegram , dimana ia juga menulis, ‘kurang bijaksana, kurang tepat dan kurang kepahaman taktik. Tidak ada siapapun yang benar mengenai hal itu.”

Dalam satu ceramah pada tahun 2002, Oren berkata,“

Johnson duduk disekeliling penasehat-penasehatnya dan berkata, “Bagaimana jika sumber intelijen mereka lebih baik daripada sumber intelijen kita?”

Johnson memilih untuk mengirim pesan kepada rekannya di Kremlin, Alexey Kosygin, dimana ia berkata,“Kami mendengar dari Israel, tetapi kami tidak akan mengesahkannya, bahwa wakii anda di Timur Tengah, Mesir, sedang merancang untuk menyerang Israel dalam kurun waktu 48 jam yang akan datang. Jika anda tidak mau memulai krisis global, halangi mereka daripada berbuat demikian.”

Pada pukul 2:30 pagi tanggal 27 Mei 1967, duta besar Uni Soviet di Mesir, Dimitri Pojidaev mengetuk pintu Nasser dan membacakan satu surat pribadi dari Kosygin dimana berkata,“

Kami tidak mau Mesir disalahkan sebagai biang keladi atas suatu peperangan di Timur Tengah. Jika anda melancarkan serangan itu, kami tidak dapat mendukung anda.”

Abdel Hakim Amer berunding dengan rekannya di Kremlin, dan mereka telah mengesahkan pesanan Kosygin. Karena putus harapan, Amer memberitahu letnan kolonel angkatan udara Mesir, Mayor Jendral Mahmud Sidqi, bahwa operasi itu dibatalkan.” Menurut Wakil Presiden Mesir, Hussein al Shafei, segera Nasser mengetahui apa yang Amer rencanakan sehingga ia membatalkan operasi tersebut.

Analisa CIA mengenai Perang Arab-Israel 1967.

Pada tanggal 30 Mei 1967, Nasser membalas permintaan Johnson sebelas hari lebih awal dan setuju untuk mengirim Wakil Presiden Mesir, Zakkariya Muhieddin, ke Washington D.C. pada tanggal 7 Juni 1967 untuk mengeksplorasi suatu penyelesaian diplomatik dalam “pembukaan Gedung Putih yang terlihat”. Sekretaris Negara Amerika Serikat, Dean Rusk sangat kecewa dengan serangan yang dilakukan Israel lebih dulu pada tanggal 5 Juni 1967 karena Amerika Serikat berusaha untuk mendapat penyelesaian diplomatik jika memungkinkan. Sejarahwan Michael Oren telah mencatat bahwa Rusk “marah seperti neraka” dan Johnson kemudian menulis bahwa “Saya tidak dapat menyembunyikan rasa kekesalan saya bahwa Israel telah memutuskan untuk melakukan apa yang telah dibuatnya”.

Di kalangan ahli politik Israel, diputuskan bahwa jika Amerika Serikat tidak bertindak, dan jika PBB tidak dapat bertindak, maka Israel akan bertindak. Pada tanggal 1 Juni 1967, Moshe Dayan dilantik sebagai Menteri Pertahanan Israel, dan pada tanggal 3 Juni 1967, administrasi Johnson memberikan suatu pernyataan yang meragukan bahwa Israel kembali dalam persiapan perang. Serangan Israel terhadap Mesir tanggal 5 Juni 1967 bermula dengan apa yang disebut sebagai Perang Enam Hari. Martin van Creveld menerangkan dorongan menuju peperangan:“ “…konsep bagi ‘perbatasan yang dapat dipertahankan’ bukanlah bagian dari kamus Angkatan Bersenjata Israel sendiri. Siapapun yang melihat kepada falsafah militer pada saat itu akan melakukannya dalam tekanan. Sebagai gantinya, letnan kolonel Israel berdasarkan pemikiran mereka terutama pada saat perang 1948, kemenangan mereka pada tahun 1956 atas Mesir. Apabila krisis tahun 1967 meletus, mereka yakin akan kemampuan mereka untuk memenangkan peperangan dengan ‘tegas, cepat and bergaya’, dimana satu dari anggota mereka, Jendral Haim Bar Lev, meletakkannya, dan menekan pemerintahan mereka untuk memulai peperangan secepat mungkin”.

Tentara yang bertempur

Terdapat sekitar 100.000 dari 160.000 pasukan Mesir di Sinai, termasuk semua dari 7 divisi (4 infantri, 2 lapis baja dan 1 dimaknisasikan), juga 4 infantri indenpenden dan 4 brigadir lapis baja indenpenden. Tidak kurang 3 dari mereka adalah veteran Mesir yang melakukan intervensi di Yaman pada saat Perang Saudara Yaman dan 3 lainnya adalah cadangan. Pasukan ini memiliki 950 tank, 1.100 APC dan lebih dari 1.000 artileri. Pada waktu yang sama beberapa tentara Mesir (15.000 – 20.000) masih bertempur di Yemen. Dua perasaan Nasser yang bertentangan tentang keinginannya digambarkan dalam perintahnya terhadap militer. Pegawai jenderal mengganti rencana operasional 4 kali pada bulan Mei tahun 1967, yang tiap perubahan harus dilakukan kembali distribusi pasukan, dengan korban yangtidak dapat dihindarkan baik tentara maupun peralatan. Pada saat menuju akhir Mei, Nasser akhirnya melarang pegawai jendral untuk melanjutkan rencana Qahir (“kemenangan”), dimana memanggil layar infantri ringan dalam fortifikasi selanjutnya dengan bagian terbesar pasukan menahan balik untuk menahan serangan balik besar-besaran dan melawan pasukan utama Israel ketika diidentifikasi, dan memerintahkan pertahanan lebih lanjut atas Sinai. Ia melanjutkan mengambil aksi untuk meningkatkan jumlah mobilisasi Mesir, Suriah dan Yordania, untuk membuat tekanan terhadap Israel.

Pasukan Yordania berjumlah 55.000, sedangkan pasukan Suriah memiliki 75.000 pasukan.

Pasukan Israel memiliki pasukan, termasuk pasukan cadangan, yang berjumlah 264.000, walaupun begitu jumlah ini tidak dapat ditopang, apalagi pasukan cadangan sangat vital untuk keselamatan rakyat sipil. James Reston menulis di koran New York Times pada tanggal 23 Mei 1967 mencatat, “Dalam kedisiplinan, pelatihan, moral, peralatan dan kemampuan jendral Mesir dan pasukan lainnya, tanpa bantuan langsung dari Uni Soviet, tidak ada apa-apanya dibanding Israel… Meskipun dengan 50.000 pasukan dan dengan jendral terbaiknya dan pasukan udaranya di Yaman, dia tidak akan bisa untuk melakukan jalannya di negara kecil dan primitif itu, dan usahanya untuk menolong pemberontak Kongo adalah sebuah kegagalan.”

Pada sore hari tanggal 1 Juni 1967, Menteri Pertahanan Israel Moshe Dayan memanggil jendral Yitzhak Rabin dan Jendral Brigadir Komando Selatan Yeshayahu Gavish untuk menghadiri rencana melawan Mesir. Rabin telah mencampur rencana dimana komando selatan akan bertempur dalam perjalanannya menuju Jalur Gaza dan lalu menahan teritori dan orang-orangnya sebagai sandra hingga Mesir setuju untuk membuka kembali Selat Tiran, dimana Gavish memiliki rencana luas untuk memusnahkan pasukan Mesir di Sinai. Rabin lebih menyukai rencana Gavish, dimana disetujui oleh Dayan dengan hati-hati bahwa serangan serempak melawan Suriah harus dihindari.

Serangan udara

Operasi Fokus

Operasi Fokus adalah pembukaan dari serangan udara Israel pada awal Perang Enam Hari tahun 1967. Operasi ini dilakukan di Semenanjung Sinai.

Pada pukul 07:45, tanggal 5 Juni 1967, Angkatan Udara Israel dibawah pimpinan mayor jendral Mordechai Hod meluncurkan serangan udara besar-besaran yang menghancurkan angkatan udara Mesir. Akhirnya, sekitar 450 pesawat tempur Yordania, Suriah dan Mesir hancur. Operasi ini juga menghancurkan 18 lapangan udara di Mesir.

Pergerakan Israel yang pertama dan yang paling penting adalah serangan pre-emptif terhadap Angkatan Udara Mesir. Angkatan Udara Mesir merupakan tentara udara termodern dan terbesar di kalangan Angkatan udara Arab, memiliki kurang lebih 450 pesawat tempur, dan semuanya merupakan buatan Uni Soviet dan baru.

Salah satu hal yang dikhawatirkan oleh Israel adalah 30 buah pesawat pengebom sederhana Tu-16 Badger, yang dapat memberikan kerusakan besar kepada pemukiman penduduk dan markas militer Israel. Pada tanggal 5 Juni 1967 pukul 7:45 waktu Israel, sirine pertahanan rakyat sipil dibunyikan diseluruh Israel, Angkatan Udara Israel melancarkan Operasi Fokus (Moked). Semua 200 jet kecuali 12 yang boleh beroperasi telah meninggalkan kawasan udara Israel dalam satu serangan besar terhadap bandara militer Mesir. Infrastruktur pertahanan Mesir memang lemah, dan tidak ada lapangan udara militer yang dilengkapi dengan bunker untuk mempertahankan pesawat terbang angkatan udara Mesir dalam satu serangan. Pesawat udara Israel bergerak menuju Laut Tengah sebelum kembali ke Mesir. Pada saat itu, pihak Mesir mengganggu pertahanan mereka sendiri dengan menutup seluruh pertahanan udara secara efektif, karena mereka takut jika pemberontak Mesir akan menembak jatuh pesawat terbang yang membawa seluruh Letjen Sidqi Mahmoud, yang berada dalam perjalanan dari al Maza ke Bir Tamada di Sinai untuk bertemu dengan letnan kolonel yang bertugas di sana. Dalam peristiwa ini memang tidak banyak bedanya kerana pilot terbang di bawah liputan radar dan sesuai dibawah titik terendah dimana baterai misil S-75 Dvina daratan-ke-udara akan menjatuhkan pesawat terbang tersebut. Israel telah menggunakan strategi serangan campuran, pengeboman dan tembakan yang bertubi-tubi terhadap pesawat, dengan sistem serangan bom menembus bandara yang menyebabkan bandara tidak berguna untuk pesawat-pesawat yang tidak musnah dan oleh sebab itu, menjadikannya sasaran yang tidak dapat diselamatkan karena gelombang-gelombang serangan Israel. Serangan tersebut lebih sukses dibanding yang diharapkan. Serangan itu hampir memusnahkan seluruh Angkatan Udara Mesir di daratan tanpa banyak pengorbanan Israel. Lebih dari 300 pesawat Mesir dimusnahkan, dengan 100 pilot Mesir dibunuh Israel kehilangan 19 pesawat terbang karena kehilangan kendali, yaitu kegagalan mekanik, dan sebagainya. Serangan ini juga menjamin keunggulan udara Israel pada perang ini.

Sebelum peperangan ini terjadi, pilot Israel di lapangan telah berlatih dengan sungguh-sungguh untuk memperlengkap serangan deras pesawat yang kembali setelah melakukan serangan tiba-tiba, menyebabkan 1 pesawat melakukan serangan tiba-tiba empat kali sehari (hal ini bertentangan dengan norma angkatan udara Arab yang hanya dapat melakukan satu atau dua serangan udara setiap hari). Hal ini membuat Angkatan Udara Israel menurunkan banyak gelombang serangan terhadap bandara militer Mesir pada saat perang yang pertama, dan mengalahkan Angkatan Udara Mesir. Hal ini juga menyebabkan orang Arab mempercayai bahwa Angkatan Udara Israel dibantu oleh militer asing.

Menyusul kemenangan gelombang-gelombang serangan permulaan terhadap bandara militer Mesir yang utama, serangan-serangan susulan dibuat pada akhir hari pertama terhadap bandara yang lebih kecil serta bandara Yordania, Suriah, dan juga Irak. Sepanjang perang, pesawat-pesawat Israel meneruskan tembakan yang bertubi-tubi terhadap bandara Mesir untuk mencegah pemulihan bandara tersebut.

Jalur Gaza dan Semenanjung Sinai

Penguasaan Sinai. 7 Juni-8 Juni 1967

Pasukan Mesir terdiri dari 7 divisi, yaitu 4 divisi lapis baja, 2 divisi infantri, dan 1 divisi infantri yang dimaknisasi. Mesir memiliki sekitar 100.000 pasukan dan 900-950 tank di Sinai, dibelakangi oleh 1.100 Pengangkut personel lapis baja dan 1.000 artileri. Penyusunan ini berdasarkan dari doktrin Uni Soviet, di mana mobil lapis baja menyediakan pertahanan dinamik ketika infantri ikut serta dalam pertempuran yang bersifat pertahanan.

Pasukan Israel mengkonstrasikan di perbatasan Mesir dengan mengikutsertakan 6 brigadir lapis baja, 1 brigadir infantri, 1 brigadir infantri yang dimaknisasi, 3 brigadir pasukan payung dan 700 tank yang berjumlah 70.000 orang, diatur dalam 3 divisi lapis baja. Rencana Israel adalah untuk mengejutkan pasukan Mesir (serangan tersebut tentu saja bertepatan dengan serangan Angkatan Udara Israel terhadap bandara Mesir), yang menyerang melalui rute utara dan tengah Sinai, dimana diluar dugaan Mesir karena Mesir mengguna Israel akan menggunakan rute yang sama dengan serangan tahun 1956, dimana Angkatan Bersenjata Israel menyerang melalui rute tangah dan selatan.

Pada divisi Israel yang di utara, terdapat 3 brigadir dan diperintah oleh Mayor Jendral Israel Tal, salah satu letnan kolonel yang paling penting, menyerang dengan lambat melewati Jalur Gaza dan El Arish, yang tidak dilindungi.

Divisi tengah yang diperintah oleh Avraham Yoffe dan divisi selatan yang diperintah oleh Ariel Sharon, memasuki daerah Abu-Ageila-Kusseima yang sangat dilindungi oleh Mesir yang membuat terjadinya Pertempuran Abu-Ageila. Pasukan Mesir yang berada disana terdiri dari 1 divisi militer, 1 batalyon tank perusak dan 1 regimen tank.

Sharon melakukan sebuah serangan, yang telah direncanakan. Ia mengirim 2 dari brigadirnya ke sisi utara Um-Katef, yang pertama yang dapat menembus pertahanan Abu-Ageila ke selatan, dan yang kedua yang dapat memblok jalan menuju El Arish dan untuk melingkari Abu-Ageila dari timur. Pada waktu yang sama, pasukan payung terjun didekat bagian belakang posisi bertahan pasukan mesir dan menghancurkan artileri untuk mencegah penggunaan artileri untuk membalas serangan infantri Israel dengan artileri tersebut. Dengan digabungkannya pasukan, tank, pasukan payung, infantri, artileri, dan insinyur militer yang menyerang Mesir dari depan, belakang dan sisi lainnya. Pertempuran berlangsung 3 setengah hari sampai akhirnya Abu-Ageila jatuh.

Banyak pasukan Mesir yang tetap utuh dan terus mencoba mencegah pasukan Israel mencapai Terusan Suez atau menyerang secara tiba-tiba dalam usaha untuk mencapai kanal. Namun, ketika Menteri Pertahanan Mesir, Abdel Hakim Amer mendengar berita tentang jatuhnya Abu-Ageila, ia panik dan memerintahkan seluruh pasukan di Sinai untuk mundur. Perintah ini berarti kekalahan Mesir.

Karena mundurnya pasukan Mesir, letnan kolonel tertinggi Israel memilih untuk tidak mengejar pasukan Mesir, namun lebih baik menyusul dan menghancurkan mereka di wilayah pegunungan di Sinai Barat. Setelah itu, dalam waktu 2 hari (6 Juni 7 Juni 1967), seluruh 3 divisi Israel (Sharon dan Tal diperkuat oleh brigadir lapis baja) maju menuju barat dan mencapai jalan di daerah pegunungan. Divisi Sharon pertama pergi menuju selatan dan barat menuju celah Mitla. Semua pasukannya bergabung disana dengan bagian dari divisi Yoffe, ketika pasukan lainnya memblok celah Gidi. Pasukan Tal juga berhenti di berbagai tempat.

Aksi blokade Israel hanya sukses di celah Gidi yang dapat direbut sebelum pasukan Mesir muncul, namun di tempat lain, pasukan Mesir dapat melewati dan menyebrang untuk keselamatan terusan. Namun, kemenangan Israel tetaplah mengagumkan. Dalam operasi selama 4 hari, pasukan Israel menaklukan pasukan yang paling besar dan pasukan paling bersenjata di Arab, meninggalkan beberapa tempat di Sinai terbuang dengan ratusan pembakaran atau mobil Mesir yang ditinggalkan dan persenjataan militer.

Pada tanggal 8 Juni 1967, Israel menyelesaikan pendudukan Sinai dengan mengirim pasukan infantri ke Ras-Sudar (ladang minyak di teluk Suez) di pantai barat semenanjung tersebut.

Terdapat beberapa penyebab yang membuat serangan cepat Israel menjadi mungkin untuk dilakukan, pertama, keunggulan Angkatan Udara Israel atas Mesir, kedua, Israel membuat rencana perang yang baik, dan yang ketiga, koordinasi yang kurang diantara pasukan Mesir. Hal tersebut juga menjadi elemen kemenangan di front Israel yang lainnya.

Tepi Barat

Peta jalur serangan Yordania tanggal 5 Juni – 7 Juni 1967

Yordania enggan untuk memasuki perang ini. Beberapa menyatakan bahwa Nasser menggunakan ketidakjelasan pada jam pertama konflik tersebut untuk meyakinkan Hussein bahwa ia menang. Nasser menyatakan sebagai bukti bahwa sebuah radar melihat 1 skuadron pesawat tempur Israel kembali dari bombardmen di Mesir yang dinyatakan oleh Nasser sebagai pesawat Mesir yang menyerang Israel. Salah satu brigadir Yordania yang berpatroli di Tepi Barat dikirim ke daerah Hebron untuk berhubungan dengan Mesir. Hussein memilih untuk menyerang.

Pada perang, militer Yordania, termasuk 11 brigadir yang berjumlah 55.000 pasukan, dilengkapi dengan 300 tank modern. 9 brigadir (45.000 tentara, 270 tank, 200 artileri) didistribusikan ke Tepi Barat, termasuk brigadir elit lapis baja ke-40, dan 2 di Lembah Yordania. Pasukan Arab merupakan pasukan yang berpengalaman, profesional, memiliki persenjataan yang cukup dan sudah cukup terlatih, bahkan pos perang Israel menyatakan bahwa jendral Yordania beraksi dengan profesional, tapi selalu meninggalkan “setengah dari langkah” dibelakang oleh pergerakan Israel. Pada Angkatan Udara Yordania hanya terdapat 24 pesawat tempur Hawker Hunter buatan Britania Raya. Menurut Israel, pesawat Hawker Hunter sejajar dengan Dassault Mirage III buatan Perancis yang merupakan pesawat terbaik Angkatan Udara Israel.

Untuk melawan pasukan Yordania di Tepi Barat, Israel mendistribusikan sekitar 40.000 pasukan dan 200 tank {8 brigadir). Pada pasukan utama Israel terdapat 5 brigadir. 2 brigadir berpatroli di Yerusalem dan disebut Brigadir Yerusalem dan Brigadir Harel yang dimaknisasikan. Brigadir pasukan payung ke-55 Mordechai Gur dipanggil dari front Sinai. Sebuah brigadir lapis baja dialokasikan dari pasukan cadangan dan dibawa ke daerah Latrun. Brigadir lapis baja ke-10 berpatroli di utara Tepi Barat. Komando utara Israel menyediakan sebuah divisi 3 brigadir) yang dipimpin oleh mayor jendral Elad Peled, yang berpatroli di utara Tepi Barat, di Lembah Jezreel.

Rencana Angkatan Bersenjata Israel merupakan rencana untuk tetap bertahan di front Yordania, agar dapat mengutamakan serangan atas Mesir. Namun, pada pagi hari tanggal 5 Juni 1967, pasukan Yordania melakukan daya tolak di daerah Yerusalem, menduduki rumah pemerintahan yang digunakan sebagai benteng untuk pengamat PBB dan menembak bagian barat kota Yerusalem. Pasukan di Qalqiliya menembak ke arah kota Tel Aviv. Angkatan Udara Yordania menyerang bandara Israel. Baik serangan udara maupun artileri menyebabkan kerusalakan kecil. Pasukan Israel berpencar untuk menyerang pasukan Yordania di Tepi Barat. Pada siang hari di hari yang sama, Angkatan Udara Israel beraksi dan menghancurkan Angkatan Udara Yordania. Pada sore hari, brigadir infantri Yerusalem bergerak ke arah selatan Yerusalam, ketika pasukan payung Harel dan Gur melingkari dari utara.

Pada tanggal 6 Juni 1967, pasukan Israel menyerang. Brigadir pasukan payung cadangan menyelesaikan pelingkaran Yerusalem dalam pertarungan yang berdarah, yaitu Pertempuran Bukit Amunisi, pertempuran yang terjadi di pos militer Yordania di Yerusalem Timur. Brigadir infantri menyerang benteng di Latrun dan merebutnya pada akhir hari, dan maju melewati Beit Horon menuju Ramallah. Brigadir Harel melanjutkan serangannya ke daerah pegunungan di barat laut Yerusalem. Pada sore hari, brigadir tersebut tiba di Ramallah. Angkatan Udara Israel mendeteksi dan menghancurkan Brigadir Yordania ke-60 dengan Angkatan Udara Israel mengalihkan rute dari Yerikho untuk memperkuat Yerusalem.

Di utara, 1 batalion dari divisi Peled dikirim untuk memeriksa pertahanan Yordania di Lembah Yordania. Brigadir yang merupakan bagian dari divisi Peled merebut bagian barat dari Tepi Barat, dan yang lainnya merebut Jenin dan yang ketiga (dilengkapi dengan AMX-13) menyerang tank M48 Patton milik Yordania di timur.

Pada tanggal 7 Juni 1967, pertarungan berat terjadi kemudian. Pasukan payung Gur memasuki kota tua Yerusalem melewati gerbang singa dan merebut tembok ratapan dan Al Haram Al Sharif. Brigadir Yerusalem lalu memperkuat mereka, dan melanjutkan serangan ke selatan, merebut Yudea, Gush Etzion dan Hebron. Brigadir Harel melanjutkan serangan ke timur, bergerak menuju Sungai Yordan. Di Tepi Barat, salah satu brigadir Peled mengepung Nablus lalu bergabung dengan salah satu brigadir pasukan utama untuk bertempur melawan pasukan Yordania yang memiliki jumlah persenjataan yang lebih banyak dari Israel.

Kekuasaan udara Israel menjadi faktor kekalahan Yordania. Salah satu brigadir Peled bergabung dengan pasukan utama yang datang dari Ramallah, dan 2 lainnya mengeblok Sungai Yordan bersama dengan Pasukan Utama ke-10 (nantinya mereka menyebrangi Sungai Yordan ke Tepi Timur untuk menyediakan tempat untuk insinyur militer ketika mereka meledakan jembatan, tapi akhirnya dengan cepat mundur karena tekanan Amerika Serikat).

Dataran Tinggi Golan

Pertempuran Dataran Tinggi Golan, 9 Juni – 10 Juni 1967

Laporang orang Mesir yang salah tentang kemenangan atas pasukan Israel, dan ramalan bahwa artileri Mesir akan segera menguasai Tel Aviv membuat Suriah semakin yakin untuk memasuki perang. Kepemimpinan Suriah mengadopsi kemunculan yang lebih berhati-hati daripada mulai menyerang Israel Utara. Ketika Angkatan Udara Israel menyelesaikan misinya di Mesir, dan berbalik untuk menghancurkan Angkatan Udara Suriah yang terkejut, Suriah mengerti bahwa berita yang didengar dari Mesir tentang penghancuran atas militer Israel adalah berita palsu. Selama sore hari pada tanggal 5 Juni 1967, serangan udara Israel menghancurkan dua dari pesawat Angkata Udara Suriah, dan memaksa pesawat lainnya untuk mundur ke basis terdekat, tanpa memainkan peran lebih jauh dalam peperangan. Pasukan Suriah mencoba merebut pabrik air di Tel Dan. Beberapa tank Suriah juga dilaporkan tenggelam di sungai Yordan. Dalam berbagai kasus, komando Suriah berharap adanya serangan bawah tanah dan memulai serangan besar-besaran atas kota Israel di Lembah Hula.

Tanggal 7 Juni 1967 dan 8 Juni 1967 terlewati dengan hal seperti ini. Pada saat itu, debat telah terjadi di Israel bahwa Dataran Tinggi Golan juga harus diserang. Militer menyatakan bahwa serangan itu akan sangat mahal, karena pertempuran itu merupakan pertempuran di daerah pegunungan melawan musuh yang kuat. Pada sisi barat Dataran Tinggi Golan, terdapat lereng bebatuan yang tingginya mencapai 500 meter (1700 kaki) dari Danau Galilea dan Sungai Yordan. Moshe Dayan percaya bahwa operasi itu akan membuat sekitar 30.000 orang mati. Levi Eshkol, di tangan lain, lebih terbuka kepada kemungkinan pada sebuah operasi terhadap Dataran Tinggi Golan, dan juga ketua dari Komando Utara, David Elazar, yang sangat yakin bahwa operasi ini dapat mengikis keengganan Dayan. Akhirnya, dimana situasi di front selatan dan tengah bersih, Moshe Dayan menjadi lebih yakin dengan ide ini, dan ia memimpin operasi ini.

Jumlah pasukan Suriah sekitar 75.000 yang dikelompokan dalam 9 brigadir, didukung oleh jumlah artileri dan persenjataan yang cukup. Pasukan Israel yang digunakan dalam serangan terdiri dari 2 brigadir (satu brigadir lapis baja dipimpin oleh Albert Mandler dan Brigadir Golan) di bagian utara front, dan 2 lainnya (infantri dan 1 dari brigadir Peled yang dipanggil untuk Jenin) di front pusat. Walaupun tentara Suriah dapat bergerak dari utara ke selatan di dataran tinggi tersebut, tentara Israel dapat bergerak dari utara ke selatan di basis tebing Golan. Keunggulan yang didapat oleh Israel adalah intelijen yang baik yang dapat mengumpulkan data oleh mata-mata Mossad, Eli Cohen (yang akhirnya tertangkap dan dieksekusi di Suriah tahun 1965) mendapat informasi tentang posisi pertempuran Suriah.

Angkatan Udara Israel yang telah menyerang artileri Suriah selama 4 hari, mendapat perintah untuk menyerang posisi Suriah dengan seluruh pasukannya. Ketika artileri yang dilindungi dengan baik hampir tidak terdapat kerusakan, pasukan darat tetap berada di Dataran Tinggi Golan (6 dari 9 brigadir) menjadi tidak dapat mengatur pertahanan. Pada sore hari tanggal 9 Juni 1967, 4 brigadir Israel telah menembus Dataran Tinggi Golan, dimana mereka dapat diperkuat dan diganti.

Pada tanggal 10 Juni 1967, grup tengah dan utara bergabung dalam pergerakan di dataran tinggi, namundaerah tersebut direbut dalam keadaan kosong dimana pasukan Suriah telah melarikan diri. Beberapa pasukan gabungan yang dipimpin oleh Elad Peled memanjat Golan dari selatan, hanya untuk mendapati posisi yang kosong. Selama hari itu, pasukan Israel berhenti setelah menerima manuver diantara posisi mereka dimana terdapat garis dari lereng gunung berapi ke barat. Di bagian timur, relief dataran rendah adalah relief padang rumput yang terbuka. Posisi ini menjadi garis gencatan senjata yang diketahui dengan nama “Garis Ungu“.[1]

Garis Ungu[1] adalah sebuah garis gencatan senjata antara Israel dan Suriah setelah terjadinya Perang Enam Hari tahun 1967.

Sejarah

Perang Arab-Israel tahun 1948

Suriah mendapat kemerdekannya dari Perancis tahun 1946. Pada tanggal 14 Mei 1948, Britania Raya mundur dari mandat Britania di Palestina dan PBB membagi daerah mandat tersebut, tetapi hal ini ditentang keras oleh negara-negara Timur Tengah lainnya karena Yahudi mendapatkan 55% dari seluruh wilayah meskipun jumlah penduduk mereka hanya merupakan 30% dari seluruh penduduk di daerah ini. Pada tanggal 14 Mei 1948, Israel mendeklarasikan kemerdekaannya, setelah itu seluruh negara-negara Arab menyerbu Israel. Pasukan Suriah berpartisipasi dalam perang ini, namun akhirnya Israel menang dan ditandatangani perjanjian perdamaian, sehingga sebuah perbatasan sementara antara Suriah dan Israel dilukiskan (berdasarkan perbatasan internasional tahun 1923). Pada musim semi tahun 1951, pasukan Suriah dan pasukan Israel berselisih dalam beberapa insiden. Permusuhan antara Suriah dan Israel dimana hal ini berakar dari tentangan Suriah terhadap proyek saluran air Israel di zona demiliterisasi dihentikan pada tanggal 15 Mei 1951 setelah campur tangan Dewan Keamanan PBB.

Perang Enam Hari

Pada bulan Juni tahun 1967 setelah Suriah, Yordania dan Mesir kalah terhadap Israel dalam Perang Enam Hari, Israel merebut Dataran Tinggi Golan termasuk kota Quneitra. Hasil dari gencatan senjata ini terdapat garis yang disebut garis ungu yang merupakan perbatasan antara Israel dan Suriah.

Perang di udara

Selama perang enam hari, Angkatan Udara Israel mendemonstrasikan kepentingan kekuasaan udara selama terjadinya konflik militer modern, terutama dalam front padang pasir. Dengan serangan Angkatan Udara Israel yang dimulai selama matahari terbit, angkatan udara Israel dapat menaklukan angkatan udara Arab dan mendapat kekuasaan udara di seluruh front, dan menjadi salah satu penyebab kemenangan Israel pada perang ini, dan yang paling menarik adalah dihancurkannya brigadir lapis baja ke-60 Yordania didekat Yerikho dan srangan terhadap brigadir lapis baja Irak yang dikirim untuk menyerang Israel melalui Yordania

Angkatan Udara Arab tidak pernah berhasil untuk membuat serangan yang efektif, contohnya serangan pejuang Yordania dan pengebom Tu-16 Mesir terhadap Israel selama 2 hari pertama tidak berhasil dan memimpin penghancuran pesawat tempur (pengebom Mesir ditembak jatuh ketika pejuang Yordania dihancurkan selama diserang).

Beberapa pilot Arab yang kecewa berkhianat dengan MiG pada Israel terlebih dahulu pada pecahnya konflik. Israel mengkapitalisasikan pada hal ini dengan uji coba penerbangan MiG pada tingkat maksimum, yang memberi pilot Israel keunggulan terhadap musuh mereka. Pengkhianatan Arab yang menarik perhatian termasuk:

Pada 19 Januari 1964, pilot Mesir, Mahmud Abbas Hilmi berkhianat dari Lapangan Udara el-Arish ke Lapangan Udara Hatzor di Israel di Yakovlev Yak-11nya.

Pada tahun 1965, pilot Suriah berkhianat pada MiG-17F kepada Israel.

Pada tahun 1966, Kapten Irak Munir Redfa menerbangkan MiG-21F-13 ke Israel. Setelah pengkhianatan kapten Redfa, 3 MiG-21F-13 dan paling sedikit 6 MiG-17F pilot Aljazair ditangkap oleh Israel setelah mendaratkan pesawat mereka di Lapangan Udara el-Arish Israel karena kesalahan. Salah satu pilot Aljazair yang ditangkap dipertanyakan dan mendapat asylum politik di Barat, sementara sisanya dipulangkan.

Paling sedikit dua pilot Irak berkhianat ke Yordania dengan MiG-21F-13. Yordania memberi mereka asylum politik tetapi mengembalikan pesawatnya ke Irak.

Pada 6 Juni, hari kedua perang, Raja Hussein dan Nasser menyatakan bahwa pesawat Amerika dan Britania ikut serta dalam serangan Israel.

Perang di laut

Perang di laut sangat terbatas. Pergerakan kapal perang Israel dan Mesir digunakan untuk menyerang dari sisi lain, tapi tidak pernah secara langsung ikut serta dalam pertarungan lainnya di laut. Pergerakan yang mendapat sebuah hasil adalah penggunaan 6 manusia katak Israel di pelabuhan Alexandria (mereka tertangkap karena menenggelamkan sebuah kapal), dan kru kapal ringan Israel yang merebut Sharm el-Sheikh di daerah selatan semenanjung Sinai pada tanggal 7 Juni 1967.

Pembersih ranjau Mesir tenggelam di pelabuhan Hurgahda. Kapal yang tenggelam disebut sebagai El Mina, yang diterjemahkan sebagai “pelabuhan”.

Insiden USS Liberty

Insiden USS Liberty adalah sebuah serangan pesawat tempur dan kapal torpedo Israel terhadap kapal intelijen Amerika Serikat USS Liberty sekitar 12.5 mil laut (23 km) lepas pantai Semenanjung Sinai, di utara kota Mesir El Arish, pada 8 Juni, 1967.

Serangan ini terjadi pada masa Perang Enam Hari antara Israel dan Mesir, Yordania dan Suriah. Serangan ini menewaskan 34 tentara AS dan melukai setidaknya 173. Serangan ini merupakan serangan paling mematikan kedua terhadap kapal perang AS sejak Perang Dunia II, kedua setelah serangan rudal Exocet Irak terhadap USS Stark pada 17 Mei 1987, dan menimbulkan korban jiwa terbesar dalam sejarah komunitas intelijen AS.

Pada tanggal 8 Juni 1967, terjadi sebuah serangan pesawat tempur dan kapal torpedo Israel terhadap kapal intelijen Amerika Serikat USS Liberty sekitar 12.5 mil laut (23 km) lepas pantai Semenanjung Sinai, di utara kota Mesir El Arish. Serangan ini menewaskan 34 tentara Amerika Serikat dan melukai setidaknya 173 orang dimana serangan ini adalah serangan yang paling mematikan kedua terhadap kapal perang Amerika Serikat sejak Perang Dunia II, terbesar kedua setelah serangan rudal Exocet Irak terhadap kapal USS Stark pada tanggal 17 Mei 1987, dan menimbulkan korban jiwa terbesar dalam sejarah komunitas intelijen AS. Israel menyatakan bahwa terjadi kesalahan identifikasi dan Israel meminta maaf dengan membayar ganti rugi terhadap keluarga korban. Kebenaran tentang klaim Israel masih diperdebatkan, namun Amerika Serikat menerima bahwa insiden ini adalah sebuah kecelakaan.

Akhir konflik dan keadaan pasca-perang

Wilayah yang direbut Israel

Tanggal 11 Juni, Israel menandatangani perjanjian gencatan senjata dan mendapatkan Jalur Gaza, Semenanjung Sinai, Tepi Barat (termasuk Yerusalem Timur), dan Dataran Tinggi Golan. Secara keseluruhan, wilayah Israel bertambah tiga kali lipat, termasuk sekitar satu juta orang Arab yang masuk ke dalam kontrol Israel di wilayah yang baru didapat (banyak dari penduduk wilayah-wilayah tersebut mengungsi ke luar Israel). Batas Israel bertambah paling sedikit 300 km ke selatan, 60 km ke timur, dan 20 km ke utara.

Korban jiwa

Korban yang jatuh dari pihak Israel, jauh dari perkiraan semula yang berjumlah lebih dari 10.000, termasuk sedikit: 338 prajurit meninggal di medan pertempuran Mesir, 550 meninggal dan 2.400 luka di medan pertempuran Yordania dan 141 di medan pertempuran Suriah. Mesir kehilangan 80% peralatan militer mereka, 10.000 prajurit meninggal dan 1.500 panglima terbunuh, 5.000 prajurit and 500 panglima tertangkap, dan 20.000 korban luka. Yordania mengalami korban 700 meninggal dan sekitar 2.500 terluka. Suriah kehilangan 2.500 jiwa dan 5.000 terluka, separo kendaraan lapis baja dan hampir semua artileri yang ditempatkan di Dataran Tinggi Golan dihancurkan. Data resmi dari korban Irak adalah 10 meninggal dan sekitar 30 terluka.

Perubahan religius

Akhir dari perang juga membawa perubahan religius. Di bawah pemerintahan Yordania, orang-orang Yahudi dan Nasrani dilarang memasuki Kota Suci Yerusalem, yang termasuk Tembok Ratapan, situs paling suci orang Yahudi sejak kehancuran Bait Suci mereka. Orang Yahudi merasakan situs-situs Yahudi tidak dirawat, dan kuburan-kuburan mereka telah dinodai. Setelah dikuasai Israel, pelarangan ini dibalik dan bahkan semakin menjadi-jadi.

Meskipun Masjid Al-Aqsa dipercayakan di bawah pengawasan wakaf Muslim dan orang-orang Yahudi dilarang untuk beribadah di sana, Israel mempersulit para pemuda Islam yang ingin beribadah di Masjid Al-Aqsa dengan alasan keamanan, dan hanya orang tua dan anak-anak saja yang diperbolehkan. Di bawah Masjid Al-Aqsa digali terowongan dengan dalih mencari Haikal Sulaiman (Bait Suci Kedua), sehingga semakin lama pondasi masjid kian rapuh dan kemungkinan besar masjid dapat ambruk.

Situs Al-Aqsa Online menyebutkan (15/2/2008), telah terjadi longsoran yang menimbulkan lubang sedalam dua meter dengan diameter 1,5 meter. Longsoran itu terjadi di dekat Pintu Gerbang Al-Selsela dan sumber air Qatibai, sisi barat masjid. Dalam pernyataannya, lembaga rekonstruksi tempat-tempat suci Islam Al-Aqsa Foundation menyatakan, longsoran itu disebabkan oleh penggalian yang dilakukan rejim Israel di bawah kompleks Masjid Al-Aqsa dan penggalian tersebut sudah mencapai Pintu Gerbang Selsela. Hal serupa juga dilontarkan gerakan Islam di Israel pimpinan Syaikh Raed Salah, yang menyerukan agar negara-negara Muslim segera mengambil langkah untuk menghentikan penggalian yang dilakukan rejim Israel di kompleks Masjid Al-Aqsa. Selain kegiatan penggalian, pada Februari 2007, buldoser-buldoser Israel menghancurkan jembatan kayu menuju Pintu Gerbang Al-Maghariba dan menghancurkan dua ruang di bawah tanah, komplek Masjid Al-Aqsa. Aksi rejim Zionis ini menuai protes dari rakyat Palestina dan negara-negara Muslim. Namun Israel seakan-akan tidak mendengarkan kecaman-kecaman itu.

Perubahan politik

Pengaruh Perang Enam Hari tahun 1967 dari segi politik amat besar. Israel telah menunjukkan bahwa Israel tidak hanya mampu, tetapi juga hendak memulai serangan-serangan strategik yang dapat merubah keseimbangan wilayah. Mesir dan Suriah mempelajari pelajaran taktikal, tetapi mungkin bukan yang strategik, dan kemudian melancarkan serangan pada tahun 1973 dalam satu percobaan untuk merebut kembali wilayah yang direbut oleh Israel.

Menurut Chaim Herzog:“

Pada tanggal 19 Juni 1967, Pemerintah Israel melakukan pemungutan suara untuk mengembalikan Sinai kepada Mesir dan Dataran Tinggi Golan kepada Suriah sebagai balasan untuk perjanjian keamanan. Selain itu, Israel memerlukan Dataran Tinggi Golan agar dijadikan kawasan bebas militer, serta persediaan khas untuk perundingan terhadap persoalan Selat Tiran. Israel juga membuat ketetapan untuk memulai perundingan dengan Raja Hussein dari Yordania mengenai perbatasan timurnya.

tentang keputusan ini, ia tidak diberitahu bahwa Israel memerlukan bantuannya untuk menyampaikan keputusan ini kepada Mesir dan Suriah. Oleh sebab itu, beberapa ahli sejarah menyatakan bahwa Mesir dan Suriah tidak pernah menerima tawaran itu.

Resolusi Khartoum[1] membuat ketetapan bahwa “tidak akan ada perdamaian, pengakuan, atau perundingan dengan Israel”. Namun, seperti yang diperhatikan Avraham Sela[2], resolusi Khartom menandakan secara berkesan suatu peralihan tanggapan pertempuran negara-negara Arab daripada persoalan tentang kesahan Israel kepada persoalan wilayah dan perbatasan dan ini ditegaskan pada tanggal 22 November 1967 ketika Mesir dan Yordania menerima Resolusi Dewan Keamanan PBB 242.

Keputusan kabinet pada tanggal 19 Juni 1967 tidak termasuk Jalur Gaza dan oleh sebab itu, mengakibatkan kemungkinan Israel untuk memperoleh sebagian Tepi Barat secara permanen. Pada tanggal 25 – 27 Juni 1967, Israel menggabungkan Yerusalem Timur bersama kawasan-kawasan Tepi Barat di utara dan selatan kedalam kawasan Israel yang baru.

Satu lagi aspek peperangan adalah mengenai para penduduk yang menghuni di wilayah-wilayah yang direbut Israel, dan dari sekitar 1 juta orang Palestina di Tepi Barat, 300.000 melarikan diri ke Yordania dan menyumbang pergolakan yang semakin bertambah di sana. 600.000 orang yang lain tetap tinggal di Tepi Barat. Di Dataran Tinggi Golan, sebanyak 80.000 orang Suriah melarikan diri. Hanya para penghuni Yerusalem Timur dan Dataran Tinggi Golan yang menerima hak kediaman Israel yang terbatas dan Israel menganeksasi wilayah tersebut pada tahun 1980.

Baik Yordania dan Mesir akhirnya menarik balik tuntutan masing-masing terhadap Tepi Barat dan Jalur Gaza (Semenanjung Sinai dikembalikan kepada Mesir pada tahun 1978, dan persoalan Dataran Tinggi Golan masih dirundingkan dengan Suriah). Selepas penaklukan “wilayah-wilayah” baru ini oleh Israel, sebuah usaha penempatan yang besar dilancarkan oleh Israel untuk mengamankan daerah permanen Israel. Terdapat ratusan ribu penduduk Israel di wilayah-wilayah tersebut pada hari ini, walaupun penempatan-penempatan Israel di Jalur Gaza telah dipindahkan dan dimusnahkan pada bulan Agustus tahun 2005.

Resolusi Khartoum[1] adalah sebuah pertemuan antara 8 pemimpin negara Arab pada tanggal 1 September 1967 karena terjadinya Perang Enam Hari. Resolusi ini berlanjut kepada Perang Yom Kippur[lihat Perang Yom Kipppur]  tahun 1973, dan mengakhiri embargo minyak Arab yang dinyatakan selama Perang Enam Hari, dan akhir dari perang saudara di Yaman. Resolusi ini juga berisi 3 paragraf yang diketahui dengan “3 ketidakan” antara hubungan Arab-Israel pada saat itu yang berisi “tidak akan ada perdamaian, pengakuan, atau perundingan dengan Israel”.

Avraham Sela[2] adalah seorang ahli politik Timur Tengah dan relasi internasional. Ia belajar di Universitas Ibrani Yerusalem dan mendapat gelar BA tahun 1971, gelar MA tahun 1974 dan gelar PhD tahun 1986. Sela adalah seorang profesor di Departemen Relasi Internasional di Universitas Ibrani dan asisten profesor dari pengetahuan politik di Universitas Colgate.

Kontroversi

Peristiwa-peristiwa pada saat Perang Enam Hari yang dramatik telah menimbulkan beberapa tuduhan serta teori-teori yang penuh dengan kontroversi.

Angkatan Bersenjata Israel membunuh tawanan perang Mesir

Dalam sebuah pertemuan untuk Radio Israel pada tanggal 16 Agustus 1995, Aryeh Yitzhaki[1] yang dahulu bertugas di Pusat Pengajian Sejarah Angkatan Bersenjata Israel di Universitas Bar-Ilan menuduh bahwa pasukan Israel melakukan pembunuhan sehingga 1.000 orang Mesir yang tak bersenjata dibunuh oleh Angkatan Bersenjata Israel. Tuduhan itu menerima perhatian yang meluas di Israel serta di seluruh dunia. Namun, Yitzhaki kemudian diketahui bahwa ia merupakan seorang ahli Partai Tsomet (partai politik sayap kanan Israel) yang diketuai oleh Rafael Eitan. Meir Pa’il, seorang politikus dan ahli sejarah yang pernah memperkerjakan Yitzhaki sebagai asistennya, menyatakan bahwa Yitzhaki mempunyai niat terselubung untuk mengalihkan perhatian orang dari penuduhan oleh Jendral Arye Biro tentang keikutsertaan Yitzhaki dalam pembunuhan 49 orang tawanan perang pada saat perang tahun 1956.

Walaupun tuduhan Yitzhaki tidak pernah disahkan, banyak anggota militer yang tampil ke depan semasa perdebatan negara di Israel yang penuh dengan kontroversi untuk mengatakan bahwa mereka telah menyaksikan pembunuhan tawanan tidak bersenjata. Ahli sejarah militer Israel, Uri Milstein, dilaporkan berkata bahwa banyak kejadian yang serupa telah dilakukan dalam peperangan itu: “Itu bukan dasar resmi, tetapi terdapat suasana bahwa perbuatan itu tidak salah. Sebagian letnan kolonel memutuskan untuk membuatnya, dan ada yang enggan berbuat demikian. Tetapi setiap orang tahu akan perkara itu”.

Dokumen Angkatan Bersenjata Israel pada tanggal 11 Juni 1967 menunjukan adanya larangan untuk membunuh tawanan, dan menjelaskan kedudukan resmi Israel. Namun, tidak terdapat dokumen resmi Israel yang membenarkan skala pembunuhan untuk ditaksirkan dengan tepat.

Menurut laporan New York Times pada tanggal 21 September 1995, Mesir telah mengumumkan penemuan dua kuburan yang berisi banyak orang dan tidak dalam di El Arish, Sinai, dimana terdapat jasad 30-60 tawanan Mesir yang ditembak oleh tentara Israel selama perang enam hari. Israel dilaporkan menawarkan ganti rugi kepada keluarga korban.

Menurut arsip resmi Israel, sebanyak 4.338 tentara Mesir telah ditangkap oleh Angkatan Bersenjata Israel. 11 tentara Israel telah ditangkap oleh tentara Mesir. Pertukaran tawanan selesai pada tanggal 23 Januari 1968.

Aryeh Yitzhaki[1] adalah seorang ahli sejarah militer Israel yang betugas di Pusat Pengajian Sejarah Angkatan Bersenjata Israel di Universitas Bar-Ilan, Tel Aviv. Yitzhaki pernah menuduh bahwa pasukan Israel melakukan pembunuhan sehingga 1.000 orang Mesir yang tak bersenjata dibunuh oleh Angkatan Bersenjata Israel yang menimbulkan kontroversi.

Dukungan Amerika Serikat dan Britania Raya

Sebagian orang Arab mempercayai bahwa Amerika Serikat dan Britania Raya memberikan dukungan yang aktif kepada Angkatan Udara Israel. Tuduhan tentang dukungan pertempuran Amerika Serikat dan Britania Raya kepada Israel bermula pada hari kedua peperangan tersebut. Radio Kairo dan akhbar kerajaan Al-Ahram membuat beberapa tuduhan, antaranya:

1.      pesawat-pesawat dari Kapal induk pesawat udara Amerika Serikat dan Britania Raya membuat serangan terhadap angkatan tentera Mesir

2.      pesawat-pesawat Amerika Serikat yang ditempatkan di Libya menyerang Mesir

3.      satelit mata-mata Amerika Serikat memberikan informasi kepada Israel.

Suriah dan Yordania membuat laporan-laporan yang serupa dalam siaran-siaran Radio Damaskus dan Radio Amman. Tuduhan ini juga disebut lagi oleh Presiden Mesir, Gamal Abdel Nasser, dalam ucapannya saat peletakan jabatannya pada tanggal 9 Juni 1967 (peletakan jabatannya ditolak). London dan Washington D.C. membantah tuduhan ini, dan tidak terdapat bukti yang mendukung tuduhan tersebut. Dalam lingkungan pemerintahan Amerika Serikat dan Britania Raya tuduhan ini dengan cepatnya dikenali sebagai “kebohongan besar”. Walaupun begitu, tuduhan bahwa orang-orang Arab sedang bertempur dengan Amerika Serikat serta Britania Raya, dan bukan hanya dengan Israel, berterusan dalam dunia Arab.

Menurut Elie Podeh, ahli sejarah Israel: “Semua buku teks sejarah Mesir selepas tahun 1967 mengulangi tuduhan bahwa Israel melancarkan peperangan itu dengan dukungan dari Britania Raya dan Amerika Serikat. Hal itu juga mengasaskan perkaitan langsung antara perang 1967 dengan percobaan-percobaan imperialis yang dahulu untuk menguasai dunia Arab, dan menggambarkan Israel sebagai satu “kacung” imperialis. Pengulangan kisah dongeng ini, dengan hanya sedikit perubahan, dalam semua buku teks sejarah bermaksud bahwa semua kanak-kanak sekolah Mesir telah diindoktrinasikan dengan cerita sulit itu.” Sebuah telegram Britania ke kubu-kubu Timur Tengah menyimpulkan: “Keengganan Arab untuk menolak semua versi palsu itu berasal sebagian dari keperluan untuk mempercayai bahwa tentara Israel tidak dapat menewaskan mereka dengan begitu saja tanpa bantuan luar.”

Ahli-ahli sejarah seperti Michael Oren[1] memperdebatkan bahwa dengan mengenakan tuduhan salah terhadap Amerika Serikat dan Britania Raya kerana membantu Israel secara langsung.[103] Sebagai tindak balas terhadap tuduhan itu, negara-negara minyak Arab kemudian mengumumkan boikot minyak. Sebanyak 6 negara Arab memutuskan hubungan diplomatik dengan Amerika Serikat dan Lebanon menarik kedutaan besarnya.

Pemimpin-pemimpin Arab sedang mencoba memperoleh bantuan militer yang aktif dari Uni Soviet untuk diri sendiri. Namun, pihak Soviet mengetahui bahwa tuduhan tentang bantuan asing terhadap Israel itu tidak berasas, dan memberitahu diplomat-diplomat Arab di Moskwa tentang fakta ini. Walaupun Uni Soviet tidak mempercayai tuduhan-tuduhan itu, media Soviet meneruskan pemetikan tuduhan-tuduhan tersebut dan dengan itu, menipiskan kepercayaan laporan-laporan itu.

Dalam sebuah pertemuan pada tahun 1993, Robert McNamara, Menteri Pertahanan Amerika Serikat, menyatakan bahwa keputusan untuk menempatkan Armada Keenam Amerika Serikat di Laut Tengah bagian Timur untuk mempertahankan Israel, bahkan jika diperlukan, telah mencetuskan krisis antara Amerika Serikat dan Kesatuan Soviet. Armada tersebut sedang menjalani latihan tentera laut berhampiran dengan Gibraltar ketika itu. McNamara tidak menerangkan bagaimana krisis itu diatasi.

Dalam bukunya, Enam Hari, Jeremy Bowen, wartawan BBC, menuduh bahwa selama krisis itu, kapal-kapal dan pesawat-pesawat Israel membawa simpanan senjata Britania dan Amerika Serikat dari tanah Britania Raya.

Michael B. Oren[1] (lahir tahun 1955) adalah seorang ahli sejarah dan pengarang buku Amerika Serikat yang terkenal karena bukunya tentang sejarah Timur Tengah. Ia juga mengarang buku terkenal Six Days of War: June 1967 and the Making of the Modern Middle East, dimana masuk kedalam daftar bestseller New York Times dan memenangkan award buku nasional Yahudi dan award tahunan buku sejarah Los Angeles Times.

Desakan Uni Soviet

Terdapat teori-teori bahwa seluruh perang pada tahun 1967 merupakan suatu percobaan yang tidak semestinya oleh Uni Soviet dengan tujuan meningkatkan ketegangan antara Jerman Barat dengan negara-negara Arab melalui dukungan Jerman Barat terhadap Israel.

Dalam sebuah artikel tahun 2003, Isabella Ginor memperincikan dokumen-dokumen GRU Soviet yang memuat rencana tersebut. Ia juga memperincikan informasi intelijen yang salah yang diberikan kepada Mesir, yang menyatakan tentang bertambahnya jumlah militer Israel besar-besaran.

Orang-orang penting yang terlibat

1.       Gamal Abdel Nasser, Presiden Mesir

Gamal Abdul Nasser (15 Januari 1918 – 8 September 1970).

Merupakan presiden kedua Mesir, dan mungkin merupakan salah seorang negarawan Arab yang paling terkemuka dalam sejarah.

Gamal Abdul Nasser dilahirkan di Iskandariah (Alexandria) dan aktif dalam gerakan Mesir menentang penjajahan dan kekuasaan asing ketika di Akademi Militer. Gamal Abdul Nasser berpangkat Mayor ketika terlibat dalam Perang Kemerdekaan Israel pada tahun 1948.

Selama beberapa bulan pada akhir perperangan, Gamal Abdel Nasser dan pasukannya terperangkap dalam kawasan yang dikenal sebagai “Poket Faluja”. Ketika perdamaian tercapai, Gamal Abdel Nasir kembali ke Mesir. Pada tahun 1952, Gamal Abdel Nasser memimpin Angkatan Bersenjata Mesir dalam kudeta yang menggulingkan Raja Farouk I.

Pada awal 1954, Gamal Abdul Nasser menangkap dan menahan presiden Mesir ketika itu, jendral Muhammad Naguib, dan pada 25 Februari 1954 Gamal Abdul Nasser menjadi Kepala Negara Mesir. Dua tahun kemudian, Gamal Abdul Nasser menjadi calon tunggal dalam pemilu presiden dan dilantik menjadi presiden Mesir kedua. Pada masa pemerintahannya, Gamal Abdul Nasser membangkitkan Nasionalisme Arab dan Pan Arabisme, menasionalisasi terusan Suez yang mengakibatkan krisis Suez yang membuat Mesir berhadapan dengan Perancis, Inggris dan Israel yang memilii kepentingan terhadap terusan itu. Krisis ini berakhir dengan keputusan dunia Internasional yang menguntungkan Mesir serta terusan Suez resmi berada dalam kedaulatan Mesir. Kemudian mengadakan proyek infrastruktur besar-besaran diantaranya adalah proyek Bendungan Aswan dengan bantuan pemerintah Uni Soviet.

Setelah kalah dalam Perang Enam Hari dengan Israel pada tahun 1967, Gamal Abdul Nasser ingin menarik diri dari dunia politik tetapi rakyat Mesir menolaknya. Gamal Abdul Nasser sekali lagi memimpin Mesir dalam Peperangan 1969-1970 (War of Atrition).

Gamal Abdul Nasser meninggal akibat penyakit jantung dua minggu setelah peperangan usai pada 28 September 1970. Gamal Abdul Nasir digantikan oleh Anwar Sadat sebagai presiden Mesir.

2.       Raja Hussein dari Yordania

Hussein bin Talal (14 November 1935–7 Februari 1999) ialah Raja Yordania dari tahun 1952 hingga 1999 dan merupakan salah satu kepala negara yang terpanjang memerintah dalam kekuasaan eksekutif di dunia. Hussein bin Talal mengantikan Raja Talal (ayahnya) pada 11 Agustus 1952. Raja Hussein I juga merupakan keturunan langsung ke-42 dari Nabi Muhammad SAW. Ia lahir di Amman, Yordania pada 14 November 1935, dari Pangeran Talal bin Abdullah dan Putri Zein al-Sharaf binti Jamil. Raja Hussein memiliki 2 saudara, Pangeran Muhammad dan putra mahkota El Hassan, dan seorang saudari, Putri Basma.

3.       U Thant, Sekjen Perserikatan Bangsa-bangsa

Maha Thray Sithu U Thant (22 Januari, 1909 – 25 November, 1974) adalah seorang diplomat dari Myanmar dan juga SekJen PBB yang ke-3, mulai tahun 1961 sampai dengan 1971. Dia terpilih menduduki posisi ini ketika Dag Hammarskjöld, Sekjen PPB yang ke-2, tewas pada kecelakaan pesawat pada bulan September 1961.

4.       Levi Eshkol, Perdana Menteri Israel

Levi Shkolnik, Bahasa Ibrani: לֵוִי שׁקוֹלנִיק; pada 25 Oktober 1895 – 26 Februari 1969) tampil ketiga sebagai Perdana Menteri Israel. Ia menjabat dari 1963 hingga meninggalnya akibat serangan jantung pada tahun 1969. Dialah yang pertama sebagai seorang Perdana Menteri Israel yang meninggal di kala sedang menjabat.

Ia dilahirkan pada 1895 di sebuah desa kecil dekat Kiev, Ukraina. Ibunya condong terhadap Hasidisme dan ayahnya kepada Mitnagdim. Sebagai akibatnya, pendidikannya tradisional. Pada 1914, ia meninggalkan Palestina, yang saat itu bagian kekholifahan Turki Utsmani. Ia segera menjadi sukarelawan untuk Legiun Yahudi.

Ia pertama kali dipilih Knesset pada 1951 sebagai anggota Partai Mapai. Pada 1963, ia dipilih menjadi perdana menteri, menggantikan David ben Gurion. Sebagai perdana menteri, ia berusaha memperbaiki hubungan luar negeri, membangun kontak diplomasi dengan Jerman Barat pada 1965, dan juga membangun ikatan budaya dengan Uni Soviet yang mengizinkan beberapa orang Yahudi Soviet bermigrasi ke Israel. Ia memainkan peranan penting saat Perang 6 Hari pada Juni 1967; selama krisis, ia membangun Pemerintahan Persatuan Nasional, dan jabatan menteri pertahanan ditangani Moshe Dayan.

5.       Moshe Dayan, Menteri Pertahanan Israel, Jenderal Israel

Moshe Dayan (20 Mei 1915-16 Oktober 1981) ialah pemimpin militer dan politikus Israel (dalam bahasa Ibrani, namanya diterjemahkan sebagai ‘Musa (sang) Hakim’).

Kehidupan awal

Moshe Dayan dilahirkan di kibbutz Deganya Alef (Deganya ‘A’), Palestina, yang masih menjadi bagian dari khilafah Turki Utsmani, dekat Kinneret (Laut Galilea). Orang tuanya ialah Shmuel Dayan (kelahiran Ukraina, saat itu masih menjadi bagian kekaisaran Rusia) dan Devorah, dan ialah anak pertama yang lahir di komunitas yang baru dibangun itu. Pada usia 14 tahun ia menjadi anggota Haganah yang baru dibentuk. Ia amat dipengaruhi pendidikan militer dari opsir Inggris pro-Zionis Charles Orde Wingate ketika ia masih seorang sersan sebelum Perang Dunia II. Ia pergi ke Bulgaria di mana ia lulus akademi militer.

Perang Dunia II

Ia ditangkap Inggris 10 tahun kemudian (ketika Haganah dinyatakan tidak sah), tetapi dibebaskan setelah 2 tahun sebagai bagian kerja sama baru Haganah dengan Inggris selama Perang Dunia II. Ketika ditempatkan pada Divisi Infantri VII Australia yang berperang melawan pasukan Vichy Prancis di Suriah, Dayan kehilangan mata kirinya dan mulai mengenakan tutup mata yang menjadi trademark-nya. Dengan rekomendasi seorang perwira Australia, Dayan mendapatkan Bintang Bakti Terkemuka, salah satu dari bintang kehormatan militer tertinggi Kerajaan Inggris.

Komandan Militer

Selama perang Arab-Israel 1948, Dayan menempati beragam posisi penting, pertama sebagai komandan pertahanan di lembah Yordania. Ia kemudian diangkat menjadi komandan atasu satuan-satuan militer di front tengah. Ia sangat disukai oleh Perdana Menteri David ben Gurion yang pendiri Israel dan menjadi anak kesayangannya, bersama dengan Shimon Peres (kelak perdana menteri).

Di masa Proklamasi Israel 1948 Batalion Komando Israel ke-89 yang dipimpin oleh Moshe Dayan mengumumkan kepada penduduk suatu desa di Palestina bahwa mereka akan aman jika mereka berkumpul di Mesjid Dahmash. Sebagai pembalasan atas sebuah serangan granat tangan yang membunuh beberapa tentara Israel, lebih dari 100 orang Arab yang berlindung di situ justru dibantai.[1] Para penduduk yang ketakutan di Lydda dan Ramble meninggalkan tanahnya. Kebanyakan dari 60.000 orang penduduk kedua tempat mengungsi ke kamp-kamp di Ramallah, dan 350 orang lebih tewas dalam perjalanan karena keadaan kesehatan yang parah.

Setelah perang 1948, pangkat Dayan melesat cepat. Antara 1955 sampai 1958 ia jadi Kepala Staf Angkatan Pertahanan Israel. Pada kapasitas ini ia memimpin tentara Israel selama Krisis Suez[1].

Krisis Suez[1]adalah sebuah serangan militer terhadap Mesir oleh Britania Raya, Perancis dan Israel yang dilakukan pada tanggal 29 Oktober 1956. Serangan ini dilakukan dengan ada beberapa kejadian lainnya, seperti Mesir melakukan nasionalisasi terhadap terusan Suez setelah mundurnya pasukan dan sumbangan Amerika Serikat untuk membangun Bendungan Aswan[2].

Bendungan Aswan[2] adalah bendungan yang terletak di kota Aswan, Mesir. Kota Aswan adalah kota di “katarak” sungai Nil di Mesir. Dua dam membendung sungai pada titik ini: Bendungan Tinggi Aswan yang lebih baru dan Bendungan Aswan yang lama atau Bendungan Rendah Aswan.

Tanpa dibendung, sungai Nil akan banjir setiap tahun semasa musim panas, karena air dari Afrika Timur mengalir masuk di sungai ini. Banjir-banjir ini membawa banyak zat nutrisi dan mineral yang membuat tanah di sekitar sungai Nil menjadi subur dan ideal menjadi tanah pertanian. Sementara penduduk di sekitar sungai ini berkembang, muncul kebutuhan untuk mengontrol air banjir demi melindungi tanah pertanian dan perkebunan katun. Dalam sebuah tahun dengan tingkat air yang tinggi, keseluruhan panen bisa saja habis diseret banjir, sementara dalam sebuah tahun dengan tingkat air rendah, ada kekeringan dan kelaparan. Tujuan proyek air ini adalah demi menanggulangi banjirnya sungai, menciptakan tenaga listrik dan menyediakan air irigasi untuk pertanian.

Politikus

Tahun 1959, setahun setelah berhenti dari Angkatan Pertahanan Israel, Dayan menjadi anggota Partai Buruh (Mapai), blok sayap kiri dalam politik Israel, yang saat itu dipimpin David ben Gurion. Sejak 1964 ia jadi menteri pertahanan. Levi Eshkol Shkolnik, perdana menteri Israel antara 1963-1969 membenci Dayan. Namun ketika ketegangan mulai berkembang di awal 1967, Eshkol memutuskan menyerahkan posisi menteri pertahanan (yang sebelumnya juga ditempatinya, walau Eshkol tak pernah berdinas di ketentaraan) kepada Dayan.

Perang 6 Hari (1967)

Meski Dayan tak ambil bagian dalam kebanyakan perencanaan sebelum Perang Enam Hari pada Juni 1967, penunjukannya menyumbang keberhasilan Israel. Setelah perang itu, Dayan, yang seringkali tidak tahu malu, melakukan banyak upaya humas untuk mengklaim pujian untuk dirinya sendiri atas kemenangan perang itu. Pada tahun-tahun berikutnya, Dayan sangat populer di Israel dan banyak yang berpendapat bahwa ia berpotensi untuk menjadi perdana menteri. Saat itu Dayan menjadi pemimpin kelompok garis keras di lingkungan pemerintahan partai Buruh, yang menolak untuk kembali ke perbatasan Israel sebelum 1967. Ia pernah berkata bahwa ia lebih suka mempertahankan Sharm-al-Sheikh (sebuah kota Mesir di ujung selatan Jazirah Sinai yang mengawasi jalur perkapalan Israel ke Laut Tengah lewat Teluk Aqaba) tanpa perdamaian, ketimbang mendapatkan perdamaian tanpa Sharm-al-Sheikh. Belakangan ia memodifikasi pandangannya ini dan memainkan peranan penting dalam perjanjian perdamaian antara Israel dan Mesir.

Perang Yom Kippur[1]

Setelah Golda Meir menjadi perdana menteri pada 1969, setelah kematian Levi Eshkol, Dayan tetap menjadi menteri pertahanan. Ia masih dalam jabatan itu ketika Perang Yom Kippur pecah pada 6 Oktober 1973. Sebagai pejabat tertinggi yang bertanggung jawab atas rencana militer, dan terutama dalam memeriksa aparat intelijen, tidak diragukan jika Dayan – yang menjadi simbol kemenangan pada Perang Enam Hari – ikut bertanggung jawab atas kegagalan para pemimpin Israel dalam mengantisipasi tanda-tanda perang yang sedang menjelang. Dalam masa beberapa jam sebelum perang pecah, Dayan memilih untuk tak mengadakan mobilisasi penuh atau mendahului menyerang Mesir dan Suriah. Ia berasumsi bahwa Israel akan sanggup menang dengan mudah jika orang-orang Arab menyerang dan tak ingin Israel dilihat sebagai agresor.

Menyusul kekalahan berat pada dua hari pertama, pandangan Dayan mengalami perubahan radikal. Ia hampir mengumumkan “jatuhnya Bait Suci Ketiga” pada suatu konferensi pers, namun untungnya dilarang berbicara oleh Meir. Ia juga memulai berbicara terbuka pada penggunaan senjata pemusnah massal melawan orang-orang Arab.

Segi positif Dayan, ia berhasil menguasai dirinya kembali dan memimpin perlawanan Israel selama sisa perang. Meski Laporan Komite Agranat yang diterbitkan setelah perang tak mencakup lapisan politik yang bertanggung jawab – termasuk Moshe Dayan – gelombang protes publik menyebabkan ia dan Golda Meir mengundurkan diri.

Menjadi menlu dari Partai Likud

Menurut orang-orang yang mengenalnya, perang membuat Dayan sangat tertekan. Untuk sementara waktu ia menghilang dari percaturan politik. Pada 1977, meskipun terpilih kembali ke Knesset sebagai calon Partai Buruh, ia menjadimenteri luar negeri dalam pemerintahan Likud yang baru, di bawah Menachem Begin. Kendati Dayan tidak pernah secara resmi bergabung dengan Likud, langkah ini masih dianggap sebagai pengkhianatan oleh banyak rekannya dari Partai Buruh. Sebagai menteri luar negeri PM Begin, Dayan berperan dalam menyusun Persetujuan Camp David, persetujuan perdamaian dengan Mesir. Dayan mengundurkan diri pada 1980 (disusul Ezer Weizman yang kemudian menyeberang ke Partai Buruh), karena ketidaksetujuannya dengan Begin tentang apakah wilayah Palestina adalah persoalan internal Israel (perjanjian Camp David mencakup ketetapan negosiasi di masa depan dengan Palestina; Begin – yang tidak menyukai ide itu – tak menaruh Dayan untuk mengepalai tim negosiasi).

Kematian

Tahun 1981, Dayan membentuk partai baru Telem yang menganjurkan pemisahan sepihak dari Tepi Barat dan Jalur Gaza. Partai itu mendapat 2 kursi di Knesset (pemilihan pada 30 Juni 1981) tetapi tidak lama kemudian Dayan meninggal karena kanker usus besar lalu dikubur di Nahalal di moshav (permukiman kolektif) di mana ia besar.

Peninggalannya

Dayan tak diragukan lagi seorang yang sangat rumit dan kontroversial; opininya tidak pernah cuma hitam atau putih. Ia memiliki sedikit kawan karib; kecemerlangan mental dan sikap kharismatiknya sering dikombinasikan dengan sinisme dan kurangnya pengendalian diri. Ariel Sharon mencatat tentang Dayan :

Ia bangun dengan 100 ide. Di antaranya 95 sangat berbahaya, tiga sangat buruk; namun dua sisanya cemerlang.

Dayan menggabungkan identitas sekular kibbutznik dan dan pragmatisme (menurut laporan, ketika ia melihat para rabi berduyun-duyun ke Gunung Bait Suci (al-aram aš-Šarīf) setelah Yerusalem direbut tahun 1967, ia bertanya “Ini apa? Vatikan?” lalu ia menyerahkan kunci ke Waqf (wakaf) dengan rasa cinta yang mendalam dan apresiasi terhadap warisan Yahudi dan tanah Israel, yang jelas dalam tulisannya.

Dayan juga pengarang dan arkeolog amatir, yang menimbulkan beberapa kontroversi, karena tindakannya mengumpulkan banyak artefak bersejarah, seringkali dengan bantuan prajuritnya, melanggar sejumlah hukum dan peraturan. Saat ia mati koleksi arkeologisnya dijual kepada negara.

Putrinya Yael Dayan adalah seorang novelis dan ikut terjun ke dunia politik sebagai anggota beberapa partai sayap kiri Israel. Ia pernah menjadi anggota Knesset dan Dewan Kota Tel Aviv.

Assi Dayan, anak laki-lakinya, adalah seorang sutradara film.

6.       Abba Eban, Menteri Luar Negeri Israel

Abba Eban adalah seorang diplomat dan politikus Israel. Ia lahir dengan nama Aubrey Solomon Meir di Cape Town, Afrika Selatan, Eban pindah ke Inggris. Ia bersekolah di St Olave’s Grammar School dan Queens’ College, Cambridge. Setelah lulus, ia melakukan riset terhadap basa Arab dan bahasa Ibrani dari tahun 1938–1939.Pada saat Perang Dunia II pecah, Eban pergi untuk bekerja kepada Chaim Weizmann di London dari bulan Desember tahun 1939. Tidak lama ia bergabung dengan pasukan Britania Raya, dimana dia menjadi mayor.

7.       Lyndon B. Johnson, Presiden Amerika Serikat

Lyndon Baines Johnson (27 Agustus 1908 – 22 Januari 1973) yang dijuluki LBJ adalah Presiden Amerika Serikat ke-36 (1963–1969). Setelah melewati sebuah karier yang panjang di Kongres Amerika Serikat, Johnson menjabat sebagai Wakil Presiden Amerika Serikat yang ke-37. Pada tahun 1963, ia menggantikan John F. Kennedy yang tewas terbunuh.

Ia juga pernah menjabat Ketua Minoritas Partai Demokrat di Senat. Sebagai presiden, ia bertanggung jawab untuk pengesahan beberapa undang-undang yang berbau liberal, termasuk Gerakan Hak Sipil Amerika tahun 1955-1968, Medicare, program “War on Poverty”. Itu semua terdapat dalam program Great Society. Secara berturut, LBJ meningkatkan kehadiran pasukan AS di Perang Vietnam, dari 16,000 di tahun 1963 menjadi 550,000 di awal 1968, ketika lebih dari 1000 tentara AS terbunuh per bulan. LBJ terpilih kembali di tahun 1964, namun pencalonannya di tahun 1968 gagal sebagai hasil gejolak di dalam tubuh partainya, lalu ia mengumumkan bahwa ia tak mau ikut pemilihan. Johnson dikenal luas karena kepribadian yang sok kuasa dan mencengkeram para politikus utama. Warisan jangka panjangnya sulit diukur, karena kemajuan yang dibuat dalam bidang hak-hak sipil dan program “Great Society”, dikacaukan oleh masalah Perang Vietnam.

Karena menggantikan Presiden Kennedy, pada masa jabatan pertama ia tidak didampingi oleh wakil presiden. Lalu setelah terpilih dalam menjalankan masa jabatan kedua, ia didampingi oleh Wakil Presiden Hubert H. Humphrey.

Suami dari Lady Bird Johnson ini meninggal dunia di tanah peternakan LBJ di Stonewall, Texas, pada tanggal 22 Januari 1973.

8.       Robert McNamara, Sekretaris Pertahanan Amerika Serikat

Robert Strange McNamara (lahir 9 Juni 1916) adalah seorang eksekutif bisnis dan mantan Sekretaris Pertahanan Amerika Serikat. Ia menjadi sekretaris pertahanan Amerika Serikat dari tahun 1961 sampai tahun 1968 selama Perang Vietnam. Ia mundur dari posisi itu dan menjadi Presiden Bank Dunia (1968-1981).[1] Robert McNamara lahir di San Francisco, California, dimana ayahnya adalah sales manager yang bekerja untuk perusahaan sepatu.

9.       Leonid Brezhnev, Pemimpin Soviet

Leonid Ilyich Brezhnev (bahasa Rusia: Леонид Ильич Брежнев) (Kamenskoye (sekarang Dniprodzerzhyns’k), Ukraina, 9 Desember 1906 – 10 November 1982) adalah pemimpin Uni Soviet dari tahun 1964 sampai 1982, meski pada awalnya bersama dengan orang lain. Ia adalah Sekjan Partai Komunis Uni Soviet dari tahun 1964 sampai 1982, dan dua kali menjabat sebagai ketua Presidium Dewan Tertinggi Soviet dari tahun 1960 sampai 1964 dan dari tahun 1977 sampai 1982.

4.Pendudukan Jalur Gaza oleh Mesir

5.Pendudukan Tepi Barat dan Jerusalem Timur.

1967-1993

1. Perjanjian Nasional Palestina dibuat pada 1968, Palestina secara resmi menuntut pembekuan Israel.

2.War of Attrition.

3.Perang Yom Kippur

Perang Yom Kippur, dikenal juga dengan nama Perang Ramadhan atau Perang Oktober adalah perang yang terjadi pada tanggal 6 – 26 Oktober 1973 antara pasukan Israel melawan koalisi negara-negara arab yang dipimpin oleh Mesir dan Suriah.

Jalannya perang

Pada tanggal 6 Oktober 1973, pada hari Yom Kippur, hari raya Yahudi yang paling besar, ketika orang-orang Israel sedang khusyuk merayakannya, yang juga bertepatan dengan bulan Ramadhan bagi ummat Islam sehingga dinamakan “Perang Ramadhan 1973”, Suriah dan Mesir menyerbu Israel secara tiba-tiba. Jumlah tentara invasi sungguh besar. Di dataran tinggi Golan, garis pertahanan Israel yang hanya berjumlah 180 tank harus berhadapan dengan 1400 tank Suriah. Sedangkan di terusan Suez, kurang dari 500 prajurit Israel berhadapan dengan 80.000 prajurit Mesir.

Mesir mengambil pelajaran pada Perang Enam Hari pada tahun 1967 tentang lemahnya pertahanan udara sehingga saat itu 3/4 kekuatan udara mesir hancur total sementara Suriah masih dapat memberikan perlawanan. Sadar bahwa armada pesawat tempur Mesir masih banyak menggunakan teknologi lama dibandingkan Israel, Mesir akhirnya menerapkan strategi payung udara dengan menggunakan rudal dan meriam anti serangan udara bergerak yang jarak tembaknya dipadukan. Walhasil strategi ini ampuh karena angkatan udara Israel akhirnya kewalahan bahkan banyak yang menjadi korban karena berusaha menembus “jaring-jaring” pertahanan udara itu.

Pada permulaan perang, Israel terpaksa menarik mundur pasukannya. Tetapi setelah memobilisasi tentara cadangan, mereka bisa memukul tentara invasi sampai jauh di Mesir dan Suriah. Israel berhasil “menjinakkan” payung udara Mesir yang ternyata lambat dalam mengiringi gerak maju pasukkannya, dengan langsung mengisi celah (gap) antara payung udara dengan pasukan yang sudah berada lebih jauh di depan. Akibatnya beberapa divisi Mesir terjebak bahkan kehabisan perbekalan. Sementara di front timur, Israel berhasil menahan serangan lapis baja Syria.

Melihat situasi berbahaya bagi Mesir, Uni Soviet tidak tinggal diam, melihat tindakan Uni Soviet, Amerika Serikat segera mempersiapkan kekuatannya. Dunia kembali diamcam perang besar pasca perang Dunia II. Kemudian, Raja Faisal bin Abdul Aziz dari Arab Saudi mengumumkan pembatasan peroduksi minyak. Krisis energi muncul dan negara negara Industri kewalahan lantaran harga minyak dunia membumbung tinggi. Dua minggu setelah perang dimulai, Dewan Keamanan PBB mengadakan rapat dan mengeluarkan resolusi 339 serta gencatan senjata dan dengan ini mencegah kekalahan total Mesir.

Secara total 2688 tentara Israel tewas dan kurang lebih 7000 orang cedera, 314 tentara Israel dijadikan tawanan perang dan puluhan tentara Israel hilang (17 di antaranya bahkan sampai tahun 2003 belum ditemukan). Tentara Israel kehilangan 102 pesawat tempur dan kurang lebih 800 tank. Di sisi Mesir dan Suriah 35.000 tentara tewas dan lebih dari 15.000 cedera. 8300 tentara ditawan.

Angkatan Udara Mesir kehilangan 235 pesawat tempur dan Suriah 135. Kendati militer Israel berhasil memukul kembali tentara Mesir dan Suriah, perang ini dianggap sebuah kekalahan militer Israel.

Akhir Perang

Israel

Setelah perang berakhir, banyak terjadi protes di Israel sampai-sampai Perdana Menteri Golda Meir dan Menteri Pertahanan Moshe Dayan dari Partai Buruh serta Panglima Angkatan Bersenjata Israel, David Eliazar, harus mengundurkan diri.

Israel mengambil pelajaran secara teknologi dan strategi pasca Perang Yom Kippur tersebut. Secara teratur Israel memodernkan angkatan bersenjatanya baik dengan bantuan Amerika Serikat maupun swadaya. Insiden peledakkan pesawat sipil di bandar udara Lebanon yang dilakukan oleh agen Mossad[a] pada akhir 1970-an sebagai pembalasan peristiwa “Black September“[b], dimana atlet Olympiade Israel dibunuh oleh “gerilyawan PLO” di Munich, Jerman Barat, menyebabkan Perancis mengembargo persenjataan ke Israel. Karena khawatir Amerika Serikat melakukan hal yang sama. Israel berupaya keras melakukan upaya swasembada persenjataan. Diantaranya memproduksi pesawat tempur Mirage III tanpa izin yang dikenal dengan tipe Dagger yang digunakan Argentina dalam Perang Falkland, mengadakan riset pengacau radar dan gelombang radio, memproduksi pesawat tempur rancangan sendiri Kfir dan Lavi, serta memproduksi tank Merkava yang didesain berdasarkan pengalaman Israel mengoperasikan tank Amerika Serikat dan Inggris serta tank lawan yang rusak atau dirampas.

Kesiapan Israel ini terbukti dalam Invasi ke Lebanon Selatan pada tahun 1982 yang berhasil menduduki kawasan Lebanon Selatan serta menghancurkan kekuatan Angkatan Udara Suriah dalam Insiden Lembah Beka’a[c]

Mossad[a]

Ha-Mossad le-Modiin ule-Tafkidim Meyuhadim (Ibrani: המוסד למודיעין ולתפקידים מיוחדים, “Institut Intelijen dan Operasi Khusus”) adalah dinas rahasia Israel dan sering disingkat sebagai Mossad. Operasinya terutama mengawasi bangsa-bangsa dan organisasi Arab di seluruh dunia.

Mossad merupakan dinas intelijen yang dianggap momok bagi dunia Arab. Sepak terjangnya dalam mengacak-acak sejumlah negeri membuatnya diakui sebagai salah satu dinas intelijen terbaik dan tersukses di dunia. Lembaga ini bertanggung jawab untuk intelijen, misi penyamaran, dan kontra teroris. Mossad juga bertanggung jawab atas pemindahan warga Yahudi keluar dari Suriah, Iran, dan Ethiopia. Agen-agennya aktif dalam pembentukan sejumlah negara komunis di Barat dan PBB.

Mossad dibentuk Perdana Menteri Israel David ben Gurion pada 1 April 1951, selain intelijen militer dan kontra intelijen (Shin Bet). Pada pembetukannya, ia berkata bahwa tujuan Mossad ialah, “Untuk negara kita yang sejak berdirinya telah berada di bawah ancaman musuh-musuhnya. Konstitusi intelijen ialah garis terdepan pertahanan…Kita harus belajar dengan baik cara untuk mengetahui apa yang sedang terjadi di sekeliling kita.”

Mossad berkantor pusat di Tel Aviv. Pada 1980-an, personilnya diperkirakan berjumlah 1500-2000 orang. Secara tradisional, direkturnya dirahasiakan, namun pada Maret 1996, pemerintah Israel mengumumkan pada publik MayJen Danny Yatom sebagai direktur menggantikan Shabtai Shavit yang dipecat awal 1996.

Diduga Mossad bertanggung jawab atas sejumlah operasi intelijen di dunia, khususnya yang terjadi di seputar konflik TimTeng. Mereka telah menempatkan umat bangsa Arab sebagai ancaman utama Israel. Mereka memiliki klab malam di Libanon, the Star, yang kerap menjadi ajang pertemuan para agennya.

Sepanjang 1970-an, Mossad membunuh pejuang PLO yang terlibat peristiwa September Hitam yang menewaskan sejumlah atlet Israel pada Olimpiade di Munich, Jerman. Mossad juga yang menghancurkan kantor PLO di Tunis, Tunisia pada April 1988, dan membunuh salah satu pejabat pentingnya Abu Jihad.

Pada Maret 1990 agen Mossad kembali beraksi. Kini korbannya ialah ilmuwan Kanada Gerald Bull yang merancang senjata super untuk Irak. Ia dibunuh di apartemennya di Brussel, Belgia. Pembunuhan ini sukses menghentikan proyek pembuatan senjata itu.

Mossad dianggap salah satu dinas intelijen yang paling sukses di dunia. Namun dinas rahasia ini pernah pula beberapa kali melakukan kesalahan-kesalan besar. Antara lain mereka pernah membunuh orang secara tidak sengaja yaitu, Ahmed Bouchiki di Lillehammer Norwegia pada tahun 1973 yang dikira Ali Hassan Salameh, salah seorang aktivis Palestina yang memimpin Gerakan September Hitam dan menyulik serta membunuh kontingen Olimpis Israel di München pada tahun 1972. Yang paling fatal dan memalukan ialah kegagalannya mencegah pembunuhan PM Israel Yitzhak Rabin. Para agennya kecolongan saat warga Yahudi Ortodoks, Yigal Amir membawa senjata dan menembak Rabin. Hal ini memaksa pemerintahan Israel memecat direktur Mossad Shabtai Shavit dan digantikan MayJen Danny Yatom.

Black September[b]

Asal Muasal Black September

Tahun 1970 orang-orang Palestina dan Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) yang mengungsi di Yordania dianggap telah membuat “negara dalam negara” di Yordania. Raja Husein khawatir para tamunya yang semakin kuat itu dapat mengancam posisinya. Akibatnya Raja Husein takut akan para pejuang Palestina yang sewaktu-waktu dapat menggulingkan pemerintahannya, maka konflik antara PLO dengan Yordania tidak terelakkan dalam bulan Agustus dan September. Dan 16 September 1970 Raja Husein mendeklarasikan hukum bela diri (Darurat Militer) sebagai respon atas serangan para fedayeen yang ingin mengambil alih Kerajaannya. Sehari kemudian tank-tank Yordania dari brigade ke-60 menyerang Markas besar PLO di Amman tentaranya juga menggempur camp di Irbid, Salt, Sweileh dan Zarqa. Selama pertempuran sepuluh bulan tersebut pasukan Suriah turun tangan membantu Palestina dengan mengerahkan satu divisi tank. pejuang Palestina dihajar habis-habisan oleh tentara Yordania dan pada akhirnya pasukan Yordania dapat mengalahkan pasukan PLO hingga mengakibatkan tewasnya 15 ribu pejuang dan penduduk Palestina. Dan Pertempuran berakhir pada Juli 1971 dengan terusirnya PLO- dari Yordania ke Libanon. Peristiwa itulah yang dikenang orang Palestina dengan sebutan “September Hitam” simbol dari teraniayanya mereka di Yordania. Akibat peristiwa ini Organisasi pimpinan Yaser Arafat ini serta ribuan pejuangnya harus hengkang dari Yordania dan pindah ke Libanon.

Organisasi Black September

Pada tahun 1971 setelah hengkang dari Yordania para fedayeen pejuang Palestina dari sel kecil kelompok faksi Al-Fatah mendirikan organisasi Black September sesuai dengan nama tragedi yang baru saja menimpa mereka di Yordania. Kelompok ini mendadak mencuat namanya ketika melahirkan konflik berkepanjangan dengan melakukan serangkaian aksi teror di dunia, diantaranya penculikan disertai pembunuhan terhadap atlet Israel di Olimpiade musim panas tahun 1972 di Munich, Jerman. Yang dikenal dengan insiden Munich

Insiden Munich (Munich Massacre)

Pada tanggal 4 september 1972, kelompok radikal Black September melancarkan aksi teror bersandi operasi Berim Ikrit. Sasarannya perkampungan atlet Israel peserta Olimpiade Munich. Asrama atlet Israel itu bersebelahan dengan asrama atlet Hong Kong dan Uruguay . Asrama itu terletak dekat bandara Furstenfeldburch. Perkampungan Olimpiade , Apartemen Connolystrasse, Blok 31 Munchen. Penculikan atas sebelas atlet Israel ini dilangsungkan saat kesemuanya usai bersuka ria menikmati suatu malam pada 4 September 1972 di tempat peristirahatan mereka. Pukul 04.30 dini hari ketika para olahragawan ini tengah tertidur lelap, Jam 4.00 pagi, 8 anggota Black September memanjat pagar setinggi 1.8 meter di Kusoczinskidamm , hanya 500 meter dari asrama atlet Israel. anggota Black September masuk ke perkampungan atlet Israel dengan bantuan dari atlet Amerika.

Adalah pegulat Israel Yossef Gutfreund yang awalnya mendengar bunyi mencurigakan di apartemennya ketika ia memeriksanya ia mendapati pintu apartemennya berusaha dibuka sebelum akhirnya ia mulai berteriak memerintahkan teman-temannya yang lain untuk menyelamatkan diri mereka seraya mendorong tubuh kekarnya menahan laju pintu dari tekanan para anggota Black September. Dua orang atlet Israel berhasil meloloskan diri, sementara delapan lainnya memilih untuk bersembunyi. Seorang atlet angkat berat, Yossef Romano berusaha merebut senjata sang penyelusup, tragisnya ia lalu tertembak dan tewas seketika layaknya nasib Mosche Weinberg, pelatih gulat yang juga tewas saat hendak menyerang anggota penyelusup lainnya dengan pisau buah. Setelah menawan sembilan atlet Israel pihak Black September menuntut dibebaskannya 234 tawanan Palestina dari penjara Israel dan dua pemimpin kelompok kiri Baader-Meinhoff dari penjara Jerman Barat dan rute aman menuju Mesir, namun untuk pembebasan tahanan Palestina, pemerintah Israel menolak mentah-mentah permintaan itu kecuali untuk rute aman tujuan Kairo yang disanggupi pihak Jerman. Menteri Bavaria yang juga pengurus Perkampungan Olimpiade menawarkan diri sebagai ganti tetapi tawaran ditolak. Kanselir Jerman Barat Willy Brandt menghubungi Perdana Menteri Israel Golda Meir melalui telepon .Israel enggan memenuhi tuntutan tersebut. Jerman sendiri bersedia membebaskan pemimpin Baader-Meinhof, Ulrike Meinhof dan Andreas Baader.

Akhirnya 8 anggota Black September dan 8 tawanan di bawa dengan bus Volkswagen ke Bandara Furstenfeldbruck menuju Jet 727 yang menunggu. pemerintah Jerman hendak menjebak komplotan tersebut di Bandara Furstenfeldbruck. Di bandara inilah komplotan tersebut minta disiapkan sebuah pesawat yang akan menerbangkan mereka ke Kairo, Mesir. Jet gadungan pun disiapkan dengan 5-6 personil polisi yang disamarkan sebagai kru pesawat dan dengan mengerahkan penembak jitu, pihak Jerman mengetahui sekiranya ada delapan orang penyandera yang tidak menggunakan pengaman senjata apapun. Sampai sejauh ini semuanya lancar hingga helikopter lepas landas membawa para penyandera beserta tawanannya. Namun, upaya pembebasan menjadi kacau. Malapetaka bermula ketika dua petugas kepolisian mulai bertindak gegabah dan memicu serangkaian insiden penembakan antara pihak kepolisian Jerman Barat termasuk para penembak jitu dengan para penyandera yang berujung atas kematian tragis bagi kedua belah pihak hingga melibatkan para atlet yang disandera. Drama penyanderaan 21 jam itu berakhir dengan peledakan helikopter hingga mengkibatkan kematian semua sandera. Dan penembakan atas Jamal AlGasshey. Sebelas atlet Israel, tiga anggota Black September dan seorang polisi Jerman Barat tewas. Kesebelas atlet Israel yang tewas itu adalah :

1. Yosses Gutfreud (atlet gulat)

2. Mosche Weinberg (pelatih gulat)

3. Yossef Romano (atlet angkat berat)

4. David Mark Berger

5. Mark Slavin

6. Jacov Springer (wasit angkat besi)

7. Andre Spitzer (pemain anggar)

8. Kehat Shorr

9. Elieszer Halfin

10. Amitzur Shapira

11. Zeev Friedman.

Tragedi berdarah ini meninggalkan luka bagi banyak pihak. Tak seorangpun sandera berhasil diselamatkan. Hanya dua atlet Israel yang berhasil melarikan diri saat penyanderaan, mereka adalah: 1. Tuvia Sokolovsky – atlet angkat berat, dan 2. Gad Zobari.

Aksi Black September Lainnya

Aksi teror lainnya dari Black September selain insiden Munich antara lain: • 28 November 1971, empat anggotanya melakukan penembakan atas perdana menteri Yordania, Wasfi Al-Tal. • Desember 1971, Penyerangan terhadap Zeid Al Rifei Duta Besar Yordania yang bertugas di London. • Februari 1972, penyabotasean atas instalasi listrik Jerman serta lahan gas di Belanda. • Mei 1972, Pembajakan penerbangan Belgia, Sabena 572 yang bertolak dari Viena menuju Lod. • 10 September 1972, kelompok ini membajak sebuah pesawat Boeing 707 Lufthansa rute Ankara-Beirut untuk dibarter dengan anggotanya yang tertangkap dalam insiden Olimpiade. Walau diprotes Israel, pemerintah Jerman Barat tak punya pilihan lain demi keselamatan seisi pesawat. • 22 Januari 1973 Black September melakukan pembalasan atas terbunuhnya para pemimpin mereka dengan melibas pentolan Mossad di Madrid. Baruch Cohen. Selain itu juga juga berupaya meledakkan rumah dubes Israel dan membajak pesawat El Al yang tengah transit Siprus • 1 Maret 1973, serangan pada kantor kedutaan Arab Saudi di Khartoum yang menewaskan dua perwakilan kedubes Amerika dan seorang pejabat berwenang Belgia. • 9 April 1973, tiga anggota Black September berupaya membajak pesawat terbang Arkia milik Israel di bandara Nikosia. Aksi ini digagalkan satpam pesawat. Dua anggota Black September dan seorang polisi Siprus tewas dalam kontak senjata. Selang beberapa jam, rumah dubes Israel di Nikosia diledakkan meski kosong.

Pembalasan Israel

Peristiwa itu mengundang murka Israel. Sebanyak 75 serangan udara dikerahkan untuk membombardir target di Lebanon dan Suriah, setidaknya menewaskan 66 orang dan membuat ratusan lainnya luka-luka. Karena serangan udara armada F-4 Phantom AU Israel terhadap kamp-kamp pelatihan Black September dinilai kurang berhasil, Mabes Angkatan Bersenjata Israel (Zahal) membentuk tim khusus beranggotakan personel terbaik Mossad dan A’man (intelijen militer). Perdana Menteri Israel Golda Meir mengetuai komite rahasia yang dinamakan Committee X untuk menyusun upaya pembalasan dengan membunuh semua dalang peristiwa Munich. Kemudian badan intelijen Israel Mossad mengaktifkan unit pembunuh mereka, Kidon (bayonet), untuk melacak nama-nama siapa saja yang terlibat dalam organisasi ini. Dalam operasi yang bernama Wroth of God (Kemurkaan Tuhan) ini para Kidon telah berhasil membunuh 10 dari 11 orang yang diduga bertanggung jawab atas tragedi itu. Mossad telah mengatur tindakan balasan. Daftar nama orang Palestina terutama di peringkat antara bangsa diedarkan dan mesti dibunuh. mereka mengeluarkan 11 nama pemimpin Black September yang menjadi target bunuh, mereka adalah: 1. Wael Adel Zwaiter – Saudara sepupu Yasser Arafat ditembak mati di lobi apartemen di Roma, Italia pada Oktober 1972. 2. Dr Mahmoud Hanshari – Wakil PLO. Penyelaras pembunuhan di Munchen , Jerman. Beliau ditembak di Paris, Perancis pada November 1972. Beliau luka parah karena ledakan bom yang dipasang pada teleponnya. 3. Hussein Abad al Chier – Penghubung antara PLO dengan KGB di Cyprus. Beliau tewas akibat ledakan bom di hotelnya di Nikosia, Cyprus. 4. Dr Basil Al Khubaisi – pengatur logistik dan senjata untuk Front Nasional Pembebasan Palestina. Tewas ditembak di sebuah jalan di Paris pada April 1973. 5. Kamal Nasser – Jurubicara PLO. Tidak merahasiakan hubungannnya dengan pelaku. Kamal Nasseer, Muhammed Yusuf el Najer dan Kemal Adwan dibunuh di apartemennya di kawasan mewah Ramlat el Bida, Beirut. oleh serbuan pasukan komando Israel pada april 1973. 6. Muhammed Yusuf el Najer – dikenali sebagai Abu Yussuf. Salah seorang pemimpin gerakan al Fatah. 7. Kemal Adwan – Melakukan sabotase di wilayah Israel atas nama al Fatah. 8. Zaid Muchassi tewas akibat ledakan bom di hotelnya di Athena, Yunani pada April 1973. Temannya yang juga seorang agen KGB tertembak di luar hotel.9. Mohammed Boudia – playboy tampan , mempunyai hubungan dengan beberapa pemimpin PLO di Eropa. Tewas karena mobilnya di pasangi bom di Paris pada Juli 1973. 10. Ali Hassan Salameh – sang pangeran merah dipercaya sebagi dalang, perancang pembunuhan di Olimpiade Munich 1972. tewas dalam peledakan bom mobil di Beirut, Lebanon pada 22 Januari 1979. 11. Muhammad Daoud atau Abu Daoud – Pakar peledak. Perancang peristiwa di Munich satu-satunya target bunuh oleh Israel yang selamat dan masih hidup.

Selain membunuh para pemimpin Black September Mossad juga membunuh orang-orang yang mungkin mempunyai hubungan dengan Black September : 1. Januari 1974 Tiga pemuda Arab bersenjata tak dikenali ditembak mati di sebuah gereja dekat Glarus , Swiss. 2. Agustus 1974 seorang wanita bernama ‘Jeannette’ ditembak mati di rumah kapalnya dekat kota Hoorn , Belanda. 3. September 1974 Seorang pemuda Arab bersenjata ditembak mati di sebuah kebun di Tarifa, Spanyol.

Serbuan Mossad dan Pasukan Komando Israel

Selain membunuh orang-orang yang terlibat dengan Black September, Israel juga menggelar operasi rahasia di Libanon dengan sasaran di 4 lokasi berbeda yaitu markas kelompok DFLP dan kompleks pelatihan Al Fatah di Sidon, pabrik senjata dan amunisi PLO di Al Qusay (kawasan Sabra) dan sasaran utama kompleks kediaman para pentolan Black September di kawasan mewah Ramlat El Bida. Dalam operasi yang bersandi Mivtza Aviv Ne’urim alias Operasi awal musim semi ini anggota Mossad dan pasukan komando Israel berhasil membunuh 3 pentolan Black September yaitu Muhammed Yusuf el Najer alias Abu Yusuf beserta istrinya, Kemal Nasser dan Kemal Adwan. Pentolan Black September lainnya, Muhammed Boudia dan Ali Hassan Salameh lolos dari maut karena sedang pergi ke Suriah. Juga menghancurkan markas DFLP, gedung berlantai tujuh itu diledakkan setelah seluruh dokumennya dikuras. Dalam serbuan selama 30 menit tersebut tercatat sedikitnya 200 orang gerilyawan Palestina tewas, selain ratusan ton senjata berhasil dihancurkan. Selain tentu saja ribuan lembar dokumen penting yang segera menjadi santapan pihak intelijen Israel dan Barat.

Insiden Lembah Beka’a

Insiden Lembah Beka’a terjadi pada 9 Juni 1982 yang melibatkan duel antar Angkatan Udara Syria dengan Israel. Peristiwa ini terjadi ketika Israel mengadakan “aksi polisionil” dengan mengadakan Invasi ke Libanon Selatan ( Operation Peace for the Galilee) guna membersihkan kekuatan PLO yang sering mengadakan serangan ke wilayah Israel.

Israel mengadakan serangan ke posisi posisi militer Syria di lembah Beka’a guna menetralisir kekuatan udara Syria yang mengotrol Libanon sekaligus mencegah Syria untuk tidak ikut campur dalam menggelar kekuatan di Libanon selatan serta melancarkan Militer Israel memasuki Libanon. Operasi ini ternyata mengalami sukses besar.

Langkah pertama Israel adalah melumpuhkan sistem radar dan rudal pertahanan Syria di kawasan itu. Jarignan intelijen Israel menginformasikan bahwa Syria telah memperoleh sistem rudal anti serangan udara yang diperoleh dari Uni Soviet yang baru diantaranya adalah SA-6 Gainfull selain sistem udara yang lama diantaranya adalah SA-2 Guideline. Israel mengembangkan pesawat tanpa awak RVP yang digunakan sebagai pesawat intai dan umpan (drone) serta berhasil mengadakan riset elektronika guna mengacaukan gelombang radio komunikasi dan sistem radar. Sistem ini digunakan pada pesawat Boeing 707 yang dimodifikasi sebagai pesawat radar dan pengacau radar.

Langkah selanjutnya, Israel menerbangkan drone untuk mengumpan sistem radar Syria. Dengan didukung peralatan elektronika yang modern, Israel berhasil mengecoh radar Syria sehingga sistem rudal anti pesawat SAM (Surface to Air Missile/Rudal darat ke Udara) Syria menembaki pesawat umpan tersebut. Kemudian Israel melumpuhkan sistem radar tersebut sehingga pihak operator radar dan SAM Syria berusaha memantau dengan bantuan optik (mata). Pada saat itulah unit pesawat A-4 Skyhawk dan F-15 Eagle Angkatan Udara Israel menghancurkan posisi-posisi rudal SAM tersebut.

Angkatan Udara Syria tidak tinggal diam dan langsung mengerahkan pesawat-pesawat tempurnya yang terdiri dari MiG-21 Fishbed, MiG-23 Flogger, dan Su-22 Fitter buatan Uni Soviet yang berjumlah seratus pesawat (sedangkan Israel total hanya mengerahkan kekuatan sekitar 40 pesawat termasuk F-16). Namun keunggulan diudara berada ditangan Israel, selain teknologi pesawat Israel yang lebih maju dibandingkan Syria, ditambah pengalaman pilot serta sistem pengacau radar dan komunikasi yang melumpuhkan sistem komunikasi pesawat Angkatan udara Syria yang masih dituntun dari radar darat. Hasilnya, Israel berhasil merontokkan seratus pesawat tempur Syria tersebut tanpa ada kerugian sedikit di pihak Israel. Syria berusaha mengacaukan radio dan radar yang dimiliki Israel dengan kekuatan yang dimilikinya. Tetapi teknologi radio yang tertinggal membuat pihak operator radio Syria gagal.

Akibat peristiwa itu, Syria mengalami kerugian besar. Selain kehilangan sejumlah besar radar, rudal dan pesawat tempur, Syria kehilangan pilot-pilot angkatan udaranya yang gugur dalam peristiwa itu. Uni Soviet juga berusaha mengembangkan teknologi radar, rudal SAM dan pesawat tempur terbaru untuk mengimbangi kekuatan udara Israel yang notabene buatan Amerika Serikat. Muncullah pesawat tempur MiG-23 rancangan terbaru, MiG 29 Fulchrum dan Su-27 Flanker, selain rudal SAM SA-8 Gacko dan SA-10 yang kemudian digelar di lembah beka’a. Uni Soviet juga mengirimkan bantuan berupa MiG-23 Flogger terbarunya dan MiG-29 kepada Syria, namun sebagian sumber militer mengatakan Soviet mengurangi bantuannya karena utang luar negeri Syria yang semakin membengkak kepada Uni Soviet.

Bagi Israel sendiri, keberhasilan insiden itu memuluskan jalanya ke Libanon Selatan yang didudukinya sampai akhir tahun 2000. Namun demikian, peristiwa kekalahan dalam Perang Yom Kippur masih menghantui Israel sehingga berusaha keras memiliki keunggulan teknologi militer di kawasan Timur Tengah. Peristiwa ini menunjukkan bahwa Angkatan Udara Israel memiliki supremasi atas negara-negara Arab sejak Perang Enam Hari 1967 hingga kini. Namun sumber sumber militer Israel sendiri mengatakan bahwa pihaknya merencanakan operasi udara tersebut selama 13 tahun.

Mesir dan timur tengah

Meskipun Mesir mengalami kerugian yang besar, perang ini memulihkan kehormatan dan rasa percaya diri mereka setelah kalah dalam Perang Enam Hari pada tahun 1967. Ketika tentara Israel mengundurkan diri dari Port Sa’id, penduduk Mesir dengan pawai dan arak-arakan besar-besaran serta pesta memasuki kota ini. Israel lalu mengundurkan diri dari seluruh daerah Sinai setelah Mesir sepakat akan membuat bufferzones. Mesir dan dunia Arab memperoleh kemenangan di mata Internasional meskipun hasil perang masih diperdebatkan.

Pada tahun 1978 di Camp David, Amerika Serikat, disepakati perjanjian yang dikenal dengan Perjanjian Camp David di mana Israel berjanji akan mengundurkan diri sampai ke perbatasan internasional dan di mana seluruh daerah Sinai menjadi daerah demilitarisasi dan diserahkan kepada Mesir. Perjanjian kedua yang akan disepakati hal-hal yang berkaitan dengan hak-hak bangsa Palestina, tetapi ditolak para pemimpin Palestina (PLO). Setahun kemudian sebuah kesepakatan perdamaian ditanda tangani oleh Menachem Begin, Jimmy Carter dan Anwar Sadat yang bersama-sama mendapat penghargaan Nobel untuk perdamaian. Perjanjian ini disponsori oleh Amerika Serikat.

Akibat penandatanganan perjanjian ini, Anwar Sadat mendapat tekanan dari dalam negeri khususnya dari kelompok fundamentalis Islam dan para pelajar Mesir yang menyebabkan Anwar Sadat mengambil tindakan represif yang mendapat kecaman karena terdapat banyak pelanggaran HAM. Akibat tindakan ini pula, Anwar Sadat akhirnya terbunuh dalam parade Militer pada ulang tahun ke-8 perang Yom Kippur.

Posisi Palestina setelah perang Yom Kippur 1973 ini semakin tidak jelas. Terlebih setelah Yordania, negeri yang ditempati sebagian besar bangsa Palestina mengambil sikap netral akibat kekalahannya pada Perang Enam Hari 1967 yang menyebabkan Yordania kehilangan Tepi Barat dan Jerussalem Timur. Sikap Yordania ini, menyebabkan kemarahan dikalangan Palestina terutama dari PLO yang saat itu berkedudukan di sana. Karena PLO bertindak sebagai negara dalam negara di Yordania dan menghindari ketidakstabilan keamanan, Raja Hussein bin Talal akhirnya mengambil sikap represif dengan mengusir PLO dari negaranya. PLO akhirnya pindah ke Libanon dan Tunisia.

Syria sendiri mengalami kerugian yang cukup besar, namun akhirnya Suriah menandatangani perjanjian gencatan senjata dengan Israel namun tidak mengadakan perjanjian perdamaian, terutama sebelum wilayah Dataran Tinggi Golan dikembalikan oleh Israel dalam perang tahun 1967. Dataran tinggi Golan sendiri akhirnya ditetapkan secara sepihak oleh Israel dengan dukungan Amerika Serikat. Namun demikian, sikap Suriah terhadap Palestina yang kurang lebih sama dengan sikap Yordania menyebabkan terjadinya pergolakan-pergolakan terutama dengan kalangan fundamentalis Islam terutama yang berkedudukan di kota Hama. Pergolakan ini berlanjut ketika Hafez Al Assad mengambil tindakan represif semakin keras yang memuncak pada peristiwa pembantaian Hama di akhir dekade 1970-an.

4.Kesepakatan Damai Mesir – Israel di Camp David 1978.

SETIAP kali menyebut Camp David, ingatan pun kembali ke peristiwa 22 tahun silam, September 1978, tatkala Presiden AS Jimmy Carter menggelar KTT segitiga bersama almarhum Presiden Mesir Anwar Sadat dan mendiang PM Israel Menachem Begin. KTT itu mengantar tercapainya kesepakatan damai pertama antara Israel dan negara Arab, Mesir.

Nama Camp David pun selalu dikaitkan dengan keberhasilan gemilang diplomasi AS di Timur Tengah. Karena, berkat KTT Camp David saat itu, jalan menjadi terbentang bagi penandatanganan kesepakatan damai Israel-Mesir pada Maret 1979, yang menandai berakhirnya masa perang besar Arab-Israel di kawasan penuh konflik itu.

Kini, sejarah seperti berulang kembali. Presiden AS Bill Clinton, sejak Selasa (11/7) lalu, di tempat yang sama, menggelar pula KTT segitiga bersama PM Israel Ehud Barak dan Pemimpin Palestina Yasser Arafat, dalam upaya mencapai kesepakatan final yang dilukiskan untuk mengakhiri jantung konflik Arab-Israel.

Situasi Camp David I memang berbeda dengan Camp David II. Misi Presiden Carter pada Camp David I, boleh dikatakan jauh lebih mudah lantaran Presiden Anwar Sadat dan PM Menachem Begin sudah lebih dulu menyembatani hampir 90 persen isu yang menjadi perbedaan pendapat saat itu.

Di samping itu, PM Begin merupakan perdana menteri yang kuat dengan pemerintah yang utuh. Berbeda dengan PM Barak saat ini yang tampil lemah dengan pemerintah yang rapuh dan amburadul. Meski demikian, Presiden Sadat dan PM Begin butuh tinggal selama 13 hari di Camp David untuk menyelesaikan sisa masalah waktu itu.

***

PRESIDEN Carter dalam memoarnya mengungkapkan, KTT Camp David I sebenarnya nyaris gagal total, ketika PM Begin bersikeras mempertahankan pemukiman Yahudi di Gurun Sinai, dan Presiden Sadat sudah siap-siap naik helikopter meninggalkan Camp David menghadapi sikap keras PM Israel tersebut. “Namun saya waktu itu mengancam, akan mempersalahkan Israel secara resmi kalau KTT Camp David gagal. PM Begin akhirnya melunak dan bersedia membongkar pemukiman Yahudi di Sinai,” lanjut Carter.

“Saya saat itu sudah memiliki kemantapan hati, kalau tiga pemimpin itu gagal mencapai kesepakatan, maka tidak ada orang lain yang mampu mewujudkan kesepakatan sampai kapan pun,” ungkapnya lagi.

Sementara Presiden Bill Clinton, saat ini menghadapi situasi yang jauh lebih sulit. Lebih tepat dikatakan, Clinton kini bersiap menjadi seorang martir dengan spekulasi ingin mengulang prestasi pendahulunya, Presiden Jimmy Carter. Sebab, PM Barak dan Yasser Arafat saat ini tengah berada dalam posisi yang sangat berjauhan.

Selain itu, isu-isu yang akan dirundingkan pada Camp David II, terhitung paling rumit di Timur Tengah, terutama menyangkut masa depan status Kota Jerusalem, pengungsi Palestina, pemukiman Yahudi dan perbatasan Israel-Palestina. Karena itu, tak berlebihan jika dikatakan, hanya mukjizat yang bisa menolong Presiden Clinton mengulang sejarah gemilang 22 tahun yang silam.

***

MAKA, sudah saatnya bagi Clinton menggunakan diplomasi tangan besi guna mencairkan kebuntuan perundingan Israel-Palestina selama ini. Cara diplomasi bertahap yang digunakan untuk menggerakkan proses perdamaian Timur Tengah sejak kesepakatan Oslo tahun 1993, telah kehilangan makna dan tidak efektif lagi. Waktu sudah terlalu sempit. Batas akhir masa transisi Israel-Palestina sesuai dengan kesepakatan Oslo, hanya tinggal dua bulan lagi, yaitu 13 September 2000 mendatang.

Belum lagi alasan masa jabatan yang kedua Presiden Clinton, cuma tinggal enam bulan lagi, sampai Januari 2001. Carter waktu itu masih sisa waktu dua tahun. Ditambah, kondisi politik menjelang KTT Camp David I, sangat membantu keberhasilan KTT tersebut.

Setahun sebelum Camp David I, tahun 1977, Presiden Anwar Sadat melakukan kunjungan bersejarah ke Jerusalem dan menyampaikan pidato di depan forum Knesset (parlemen Israel). Kunjungan Presiden Sadat ke Jerusalem itu, dilukiskan sebagai kunjungan yang meruntuhkan tabir psikologis antara Israel dan Arab.

Namun bagaimanapun sulitnya saat ini, PM Ehud Barak dan Pemimpin Palestina Yasser Arafat menegaskan, berangkat ke Camp David dengan hati dan tangan terbuka serta niat yang tulus untuk mengakhiri konflik. Bersediakah dua pemimpin tersebut mengimplementasikan niat baik itu dengan perbuatan nyata, serta sejauh mana peran Presiden Clinton mampu mengulangi peran Presiden Carter 22 tahun silam? Itulah tuntutan KTT Camp David II. (Musthafa Abd Rahman, dari Cairo)/Astagadotcom.

5.Perang Lebanon 1982

Perang Lebanon 1982 adalah sebuah perang antara Israel dan Lebanon[1] yang terjadi pada tanggal 6 Juni 1982 ketika Angkatan Bersenjata Israel[2] menyerang Lebanon Selatan. Pemerintahan Israel melancarkan invasi sebagai respon dari usaha pembunuhan duta besar Israel kepada Inggris, Shlomo Argov oleh Organisasi Abu Nidal.

Lebanon[1]

Republik Lebanon adalah sebuah negara di Timur Tengah, sepanjang Laut Tengah, dan berbatasan dengan Suriah di utara dan timur, dan Israel di selatan. Bendera Lebanon menampilkan sebuah pohon aras berwarna hijau dengan latar belakang putih, diapit oleh dua garis merah horisontal di atas dan bawahnya. Karena keanekaragamannya yang sektarian, Lebanon menganut sebuah sistem politik khusus, yang dikenal sebagai konfesionalisme, yang dimaksudkan untuk membagi-bagi kekuasaan semerata mungkin di antara aliran-aliran agama yang berbeda-beda.[1]

Sebelum Perang Saudara Lebanon (1975-1990), negara ini menikmati ketenangan dan kemakmuran yang relatif, didorong oleh sektor pariwisata, pertanian, dan perbankan dalam ekonominya.[2] Lebanon dianggap sebagai ibukota perbankan di dunia Arab dan umumnya dianggap sebagai “Swiss di Timur Tengah”[3][4] Karena kekuatan finansialnya, Lebanon juga menarik banyak sekali wisatawan,[5] hingga ibukotanya, Beirut, dirujuk oleh banyak orang sebagai “Parisnya Timur Tengah.”[6]

Segera setelah perang, ada banyak upaya untuk menghidupkan kembali ekonominya dan membangun kembali infrastruktur nasionalnya.[7] Pada awal 2006, stabilitas yang cukup besar telah tercapai di hampir seluruh negeri, rekonstruksi Beirut hampir selesai,[8] dan semakin banyak wisatawan asing yang datang ke resort-restor Lebanon.[5] Namun, Perang Lebanon 2006 menimbulkan korban sipil dan militer, kerusakan hebat pada infrastruktur sipil, dan pengungsian besar-besaran dari 12 Juli 2006 hingga gencatan senjata diberlakukan pada 14 Agustus 2006. Pada September 2006, pemerintah Lebanon telah memberlakukan rencana pemulihan awal yang ditujukan untuk membangun kembali properti yang dihancurkan oleh serangan-serangan Israel di Beirut, Tirus, dan desa-desa lainnya di Lebanon selatan.

Etimologi

Faraya, Gunung Lebanon. Diambil oleh Youmna Medlej.

Nama Lebanon (“Lubnān” dalam bahasa Arab standar; “Lebnan” atau “Lebnèn” dalam dialek setempat) berasal dari akar bahasa Semit “LBN”, yang terkait dengan sejumlah makna yang berhubungan erat dalam berbagai bahasa, seperti misalya putih dan susu. Ini dianggap sebagai rujukan kepada Gunung Lebanon yang berpuncak salju. Nama ini muncul dalam tiga dari 12 lempengan Epos Gilgames (2900 SM), teks perpustakaan Ebla (2400 SM), dan Alkitab. Kata Lebanon juga disebutkan 71 dalam Perjanjian Lama.

Geografi Lebanon

Sebuah negara di Timur Tengah, Lebanon berbatasan di barat dengan Laut Tengah (garis pantai sepanjang: 225 kilometer) dan di timur dengan Depresi Suriah-Afrika. Lebanon berbatasan dengan Suriah sepanjang 375 km di utara dan di timur; dengan Israel sepanjang 79 km di selatan. Perbatasan dengan Israel telah disetujui oleh PBB (lihat Garis Biru (Lebanon), meskipun sebongkah tanah kecil disebut Shebaa Farms yang terletak di dataran tinggi Golan diklaim oleh Lebanon namun diduduki oleh Israel, yang mengklaim bahwa tempat itu merupakan tanah Siria. PBB telah mengumumkan secara resmi bahwa wilayah ini bukan merupakan milik Lebanon, namun pejuang Lebanon kadangkala melancarkan serangan terhadap orang Israel yang berada di dalamnya.

Demografi

Populasi Lebanon terdiri dari beragam grup etnik dan agama: Muslim (Syi’ah, Sunni, Druze, dan Alawi), Kristen (Katolik Maronit, Ortodoks Yunani, Katolik Yunani, Armenia, Koptik), dan lainnya. Sensus resmi tidak dilakukan sejak 1932, menandakan sensitivitas politik di Lebanon terhadap keseimbangan keagamaan.

Diperkirakan bahwa 59% dari penduduk Lebanon adalah Muslim (Sunni, Syi’ah, dan Druze) dan 39% Kristen (umumnya Maronit, Gereja Ortodoks Antiokia, Apostolik Armenia, Katolik Yunani Melkit, Gereja Asiria di Timur, Katolik Khaldea dan minoritas Protestan.[14] Ada kelompok minoritas kecil Yahudi yang tinggal di Beirut pusat, Byblos, dan Bhamdoun. Lebanon juga mempunyai sebuah komunitas kecil (kurang dari 1%) Kurdi (juga dikenal sebagai Mhallami atau Mardinli) yang umumnya bermigrasi dari Suriah timur laut dan Turki tenggara, diperkirakan jumlahnya antara 75.000 hingga 100.000 orang, yang termasuk dalam kelompok Sunni. Dalam tahun-tahun belakangan ini mereka memperoleh kewarganegaraan Lebanon sehingga menguntungkan kelompok Muslim dan Sunni khususnya.[15] Selain itu, ada pula ribuan suku Beduin Arab di Bekaa dan di wilayah Wadi Khaled, yang kesemuanya tergolong Sunni, yang juga mendapatkan kewarganegaraan Lebanon. Ada sekitar 15 juta orang keturunan Lebanon, terutama Kristen, menyebar di seluruh dunia.

Jumlah mereka yang tinggal di Lebanon sendiri diperkirakan 3.874.050 pada Juli 2006.[14] Ada sekitar 16 juta orang keturunan Lebanon yang tersebar di seluruh dunia, yang terbanyak adalah di Brasil.[16] Argentina, Australia, Kanada, Kolombia, Perancis, Britania Raya, Meksiko, Venezuela dan AS juga memiliki komunitas Lebanon yang besar.

Sejumlah 394.532 pengungsi Palestina telah terdaftar di Lebanon pada United Nations Relief and Works Agency (unrwa) sejak 1948.[17]

Kebudayaan

Selama beribu-ribu tahun Lebanon telah menjadi persimpangan utama peradaban. Karena itu tidak mengherankan bila negara kecil ini mempunyai budaya yang luar biasa kaya dan hidup. Campuran kelompok etnis dan agama yang sangat luas di Lebanon ikut menyumbangkan tradisi makanan, musik dan sastra, serta festival. Beirut khususnya merupakan panggung seni yang sangat hidup dengan berbagai pertunjukan, pameran, pameran mode, dan konser yang diadakan sepanjang tahun di berbagai galeri, museum, teater dan tempat-tempat terbuka. Masyarakatnya modern, terdidik, sangat mirip dengan banyak masyarakat Eropa lainnya di Mediterania. Meskipun sangat mirip dengan Eropa, bangsa Lebanon sangat bangga akan warisan mereka dan telah menjadikan negeri itu dan khususnya Beirut pusat kebudayaan dunia Arab. Lebanon adalah negara anggota Organisation Internationale de la Francophonie (negara berbahasa Perancis). Karena itulah kebanyakan orang Lebanon berdwibahasa, mampu berbahasa Arab dan Perancis. Namun demikian, bahasa Inggris kini sangat populer khususnya di antara mahasiswa. Di negara ini agama Kristen bergaul akrab dengan Islam, dan Lebanon juga merupakan pintu masuk Arab ke Eropa serta jembatan Eropa ke dunia Arab.

Lebanon juga mempunyai sejumlah universitas yang bergengsi, termasuk Universitas Amerika di Beirut, Universitas Lebanon milik negara, dan Université Saint-Joseph.

Sejumlah festival internasional diadakan di Lebanon, menampilkan para artis kelas dunia dan mengundang turis dari Lebanon dan luar negeri. Di antaranya yang terkenal adalah festival musim panas di Baalbeck, Beiteddine, dan Byblos, di mana barisan masyarakat elit yang beraneka ragam tampil dengan latar belakang sejumlah situs sejarah Lebanon yang paling terkenal dan spektakular.

Politik

Lebanon adalah sebuah republik demokratis parlementer, yang memberlakukan sebuah sistem khusus yang dikenal sebagai konfesionalisme.[18] Sistem ini, yang dimaksudkan untuk menjamin bahwa konflik sektarian akan dapat dihindari, berupaya untuk secara adil mewakili distribusi demografis aliran-aliran keagamaan dalam pemerintahan. Karena itu, jabatan-jabatan tinggi dalam pemerintahan disediakan untuk anggota-anggota kelompok-kelompok keagamaan tertentu. Misalnya, Presiden Lebanon, haruslah seorang Kristen Katolik Maronit, Perdana Menteri seorang Muslim Sunni, Wakil Perdana Menteri seorang Kristen Ortodoks, dan Ketua Parlemen seorang Muslim Syi’ah.[19][20] Pembagian ini merupakan hasil dari persetujuan tidak tertulis tahun 1943 antara Presiden (Maronit) dan Perdana Menteri waktu itu (Sunni) dan baru diformalkan dengan konstitusi pada tahun 1990.

Kecenderungan ini berlanjut dalam distribusi ke-128 kursi parlemen yang dibagi dua antara Muslim dan Kristen. Sebelum 1990, rasionya adalah 6:5, yang menguntungkan orang Kristen. Namun, Persetujuan Taif, yang mengakhiri perang saudara 1975-1990, menyesuaikan rasio itu untuk memberikan representasi yang sama bagi para pemeluk dari kedua agama tersebut.

Jumlah anggota Parlemen Lebanon juga diatur jumlahnya berdasar agama yang dianut yaitu

Kristen / Katolik 64 orang terdiri dari:

Maronit: 34, Ortodoks Yunani: 14, Katolik Yunani: 8, Ortodoks Armenia: 5, Katolik Armenia: 1, Protestan: 1, Lain-lain: ,

Islam dan Druze 64 orang terdiri dari:

Sunni: 27, Syi’ah: 27, Druze: 8, Alawi: 2

Menurut konstitusi, pemilihan langsung harus dilakukan untuk parlemen setiap empat tahun sekali, meskipun dalam sejarah Lebanon belakangan ini, perang saudara selalu meletus sebelum hak ini dilaksanakan.

Parlemen memilih Presiden untuk masa jabatan 6 tahun dan tidak boleh dipilih berturut-turut. Walaupun begitu, peraturan ini pernah dilanggar dua kali dengan masa perpanjangan jabatan selama 3 tahun pada masa pemerintahan Elias Hrawi (1990-1995 diperpanjang hingga 1998) dan Emile Lahoud (1998-2004 diperpanjang hingga 2007).

Sistem yudisial Lebanon mengikuti Kode Napoleon. Tidak ada Juri dalam pengadilan.

Angkatan Bersenjata Israel[2]

Angkatan Pertahanan Israel (bahasa Ibrani: צבא ההגנה לישראל Tsva HaHagana LeYisrael  dengarkan, “[Tentara] Angkatan untuk Pertahanan Israel”), yang seringkali disingkat dengan singkatan bahasa Ibrani צה”ל Tsahal, atau Tzahal, adalah sebutan bagi Israel, yang terdiri atas Angkatan Darat Israel, Angkatan Udara Israel dan Angkatan Laut Israel. Dalam bahasa Inggris, singkatannya lebih dikenal sebagai IDF.

Sejarah Angkatan Pertahanan Israel yang terkait dengan sejarah pembentukan Haganah yang kedua setelah dilakukan. Sebelum 1948

Dari 1930, sebelum kepemimpinan politik diakui dengan penggunaan kekuatan sebagai pilihan dari alat politik telah menjadi wacana publik untuk membentuk budaya politik masyarakat. Pemikiran ini menjadi lebih terlihat setelah adanya pembentukan negara. Pemeran utama di sini tidak saja angkatan darat atau organisasi militer pra-negara.

Mengikuti Rencana pemisahan UN 1947 yang memberikan mandat kepada Britania Raya mengenai pembentukan negara di Palestina, negara menjadi semakin stabil dan jatuh ke dalam keadaan perang sipil antara orang-orang Yahudi dan Arab setelah penduduk Arab menolak rencana apapun yang akan memungkinkan untuk menciptakan sebuah negara Yahudi sesuai dengan Rencana Dalet untuk Haganah mencoba untuk mengamankan wilayah yang rencana dialokasikan ke negara Yahudi dan blok dari pemukiman yang berada di kawasan yang dialokasikan untuk negara Arab.

Kepala Staf Umum

Sebagai Kepala Staf Umum adalah yang tertinggi dari Komandan IDF dan bertanggung jawaban kepada Menteri Pertahanan dan Perdana Menteri. Semua Ramatkal memiliki peringkat Letnan Jenderal.

Angkatan Pertahanan Israel dibentuk pada 14 Mei 1948 dengan terbentuknya negara Israel “untuk melindungi penduduk Israel dan melawan segala bentuk terorisme yang mengancam kehidupan sehari-hari”. IDF menggantikan Haganah (khususnya, cabang operasionalnya, Palmach) sebagai militer permanen dari negara Yahudi ini. Ke dalamnya juga bergabung unsur-unsur sebelumnya dari Brigade Yahudi yang berperang di bawah bendera Britania pada masa Perang Dunia II. Setelah dibentuknya IDF, dua organisasi bawah tanah Yahudi, Etzel dan Lehi bergabung dengan IDF dalam suatu konfederasi longgar, tetapi diizinkan beroperasi secara independen di sejumlah sektor hingga akhir Perang Arab-Israel 1948. Sesudah itu, kedua organisasi ini dibubarkan, dan anggota-anggotanya diintegrasikan ke dalam IDF. IDF modern terbentuk pada periode antara 1949 hingga 1956 melalui pengalaman yang diperoleh dari konflik-konflik regional conflicts dengan tetangga-tetangga Arab mereka.

Dari 1956 hingga 1966, IDF menghadapi lebih sedikit konflik dan menggunakan waktu ini untuk membeli perlengkapan baru dan berubah dari sebuah militer pemula menjadi sebuah kekuatan tempur yang profesional. Pada masa ini pula konon Israel mengembangkan kemampuan nuklir mereka.

Setelah masa damai selama satu dasawarsa, IDF menghadapi serangkaian peperangan dengan tetangga-tetangganya.

Dinas dan jumlah tenaga

Dinas biasa

Laki-laki dan perempuan Yahudi dan Druze yang berusia di atas 18 tahun dikenai wajib dinas militer nasional, meskipun pengecualian dapat diberikan atas alasan-alasan agama, fisik maupun psikologis (lihat Profil 21). Laki-laki dalam komunitas Haredi dapat memilih untuk dikecualikan sementara mereka belajar di Yeshiva, sebuah praktik yang menjadi sumber ketegangan [1], meskipun sebagian program yeshiva seperti Hesder menyediakan kesempatan untuk berdinas.

Laki-laki berdinas di IDF selama tiga tahun, sementara perempuan dua tahun atau kadang-kadang kurang dari dua tahun. Kadang-kadang IDF dapat meminta perempuan yang menjadi relawan untuk posisi-posisi tempur untuk berdinas selama tiga tahun karena tentara-tentara tempur harus menjalani periode latihan yang lama. Perempuan dalam posisi tempur juga dituntut untuk berdinas sebagai perwira cadangan selama beberapa tahun setelah mereka diberhentikan dari dinas biasa, sebelum mereka menikah atau hamil.

Dinas cadangan

Setelah dinas biasa, kaum laki-laki dapat dipanggil untuk menjalani dinas cadangan hingga satu bulan setiap tahunnya, sampai mencapai usia 43-45 tahun (perwira cadangan dapat menjadi relawan setelah usia ini), dan dapat dipanggil untuk tugas aktif dengan segera pada saat-saat krisis. Pada umumnya, dinas cadangan dilaksanakan dalam satuan yang sama selama bertahun-tahun, dan seringkali satuan yang sama seperti pada dinas aktif dan dengan orang-orang yang sama. Banyak tentara yang telah berdinas bersama-sama dalam dinas aktif tetap bertemu dalam tugas cadangan selama bertahun-tahun setelah mereka dibebastugaskan, sehingga tugas cadangan menjadi suatu pengalaman ikatan bersama antara sesama laki-laki yang kuat dalam masyarakat Israel. Sebuah lelucon Israel terkenal menyebut warga sipil sebagai tentara yang sedang cuti selama 11 bulan.

Meskipun tetap siap untuk dipanggil pada masa-masa krisis, kebanyakan laki-laki Israel, dan praktis semua kaum perempuan, tidak benar-benar melakukan dinas cadangan pada suatu tahun tertentu. Satuan-satuan mereka tidak selalu memanggil semua perwira cadangan mereka setiap tahunnya, dan berbagai pengecualian dapat diberikan bila seseorang dipanggil untuk menjalani dinas cadangan biasa. Bagi para perwira cadangan yang dipanggil pada masa krisis praktis tidak ada pengecualian, namun pengalaman memperlihatkan bahwa dalam kasus-kasus demikian (yang paling mutakhir, Operasi Perisai Pertahanan pada 2002) pengecualian jarang diminta atau diberikan; satuan-satuan ini biasanya mencapai tingkat rekrutmen melampaui satuan yang diawaki mereka yang berdinas penuh waktu.

Baru-baru ini diusulkan sebuah rancangan undang-undang untuk memperbaiki dinas cadangan, mengurangi maksimum usia dinas hingga 40 tahun, menjadikannya semata-mata sebagai pasukan darurat, serta banyak lagi perubahan lainnya terhadap struktur yang ada sekarang (meskipun Departemen Pertahanan dapat menunda bagian manapun dari undang-undang itu setiap saat karena alasan-alasan keamanan). Namun, ambang usia bagi banyak perwira cadangan yang posisinya tidak didaftarkan, akan dipatok pada 49 tahun. Undang-undang ini akan mulai diberlakukan pada 13 Maret 2008.

Dinas Penjaga Perbatasan

Beberapa tentara IDF menjalani wajib dinas militer mereka di Mishmar Ha Gvool (Magav) atau Polisi Perbatasan Israel. Begitu pasukan-pasukan itu menyelesaikan latihan tempur IDF mereka, mereka menjalani latihan tambahan kontra-terorisme dan Penjaga Perbatasan. Mereka kemudian ditempatkan pada salah satu dari satuan-satuan Penjaga Perbatasan di sekeliling negara.

Satuan-satuan Penjaga Perbatasan berperang berdampingan dengan satuan-satuan tempur IDF. Mereka juga bertanggung jawab atas keamanan daerah-daerah perkotaan yang padat, seperti misalnya Kota Yerusalem.

Banyak perwira di Penjaga Perbatasan yang berasal dari satuan-satuan tempur IDF. Sementara Penjaga Perbatasan tetap mempertahankan struktur komando mereka, di lapangan mereka hampir tidak dapat dibedakan dari satuan-satuan IDF reguler.

Minoritas di IDF

Orang-orang Arab Druze dan Circassian, seperti orang-orang Yahudi Israel, dikenai wajib militer di IDF. Mulanya, mereka dimasukkan dalam satuan khusus yang dinamai “Satuan Minoritas”, yang masih ada hingga sekarang, dalam bentuk batalyon patroli Harev, namun sejak 1980-an, tentara-tentara Druze telah semakin gencar memprotes praktik ini, yang mereka anggap sebagai suatu bentuk segeregasi dan tidak memberikan akses untuk berdinas di satuan-satuan yang lebih bergengsi. Militer telah semakin banyak menerima tentara Druze ke dalam satuan-satuan tempur biasa dan memberikan mereka akses ke pangkat-pangkat yang lebih tinggi, yang sebelumnya tidak diberikan kepada mereka. Pada tahun-tahun belakangan, beberapa perwira Druze telah mencapai pangkat-pangkat di IDF bahkan hingga Mayor Jenderal, dan banyak yang memperoleh bintang-bintang kehormatan. Namun, beberapa orang Druze masih mengeluhkan diskriminasi dan khususnya tidak dilibatkan dalam Angkatan Udara, meskipun pembatasan resmi dengan alasan keamanan untuk tingkat rendah bagi Druze telah cukup lama dihapuskan. Penerbang Druze pertama lulus pendidikan terbangnya pada 2005, namun namanya dirahasiakan karena ia adalah anggota Angkatan Udara, dan merupakan cucu dari seorang Druze Suriah yang membelot dari pertempuran di Ramat Yohanan pada masa perang kemerdekaan, di mana sekitar 1000 tentara dan perwira Druze membelot dan bergabung dengan Israel.

Latar Belakang

Setelah perang antara Arab dan Israel tahun 1948, Lebanon menjadi rumah untuk lebih dari 110.000 pengungsi Palestina dari rumah mereka di Israel. Pada tahun 1970 dan 1971, PLO ikut serta dalam usaha untuk menjatuhkan kekuasaan monarko Yordania, dimana membuat jumlah besar dari pejuang palestina dan pengungsi pindah ke Lebanon. Pada tahun 1975, terdapat lebih dari 300.000 pengungsi, membuat PLO menjadi pasukan kuat dan bermain peran penting saat perang saudara Lebanon. Kekacauan yang berlanjut antara Israel dan PLO dari tahun 1968, membuat terjadinya Operasi Litani.

Konflik Lebanon Selatan 1978 (dinamai Operasi Litani oleh Israel) adalah invasi Angkatan Pertahanan Israel ke Lebanon tahun 1978. Invasi ini sukses, dengan pasukan Organisasi Pembebasan Palestina terdorong ke utara sungai Litani. Pasukan penjaga perdamaian UNIFIL datang setelah berakhirnya perang ini.

6.Perang Teluk 1990/1991

Perang Teluk Persia I atau Gulf War disebabkan atas Invasi Irak atas Kuwait 2 Agustus 1990 dengan strategi gerak cepat yang langsung menguasai Kuwait. Emir Kuwait Syeikh Jaber Al Ahmed Al Sabah segera meninggalkan negaranya dan Kuwait dijadikan provinsi ke-19 Irak dengan nama Saddamiyat Al-Mitla` pada tanggal 28 Agustus 1990, sekalipun Kuwait membalasnya dengan serangan udara kecil terhadap posisi posisi Irak pada tanggal 3 Agustus 1991 dari pangkalan yang dirahasiakan.

Invasi Irak ke Kuwait disebabkan oleh kemerosotan ekonomi Irak setelah Perang Delapan Tahun dengan Iran dalam perang Iran-Irak. Irak sangat membutuhkan petro dolar sebagai pemasukan ekonominya sementara rendahnya harga petro dolar akibat kelebihan produksi minyak oleh Kuwait serta Uni Emirat Arab yang dianggap Saddam Hussein sebagai perang ekonomi serta perselisihan atas Ladang Minyak Rumeyla sekalipun pada pasca-perang melawan Iran, Kuwait membantu Irak dengan mengirimkan suplai minyak secara gratis. Selain itu, Irak mengangkat masalah perselisihan perbatasan akibat warisan Inggris dalam pembagian kekuasaan setelah jatuhnya pemerintahan Usmaniyah Turki.

Akibat invasi ini, Arab Saudi meminta bantuan Amerika Serikat tanggal 7 Agustus 1990. Sebelumnya Dewan Keamanan PBB menjatuhkan embargo ekonomi pada 6 Agustus 1990.

Amerika Serikat mengirimkan bantuan pasukannya ke Arab Saudi yang disusul negara-negara lain baik negara-negara Arab kecuali Syria, Libya dan Yordania serta Palestina. Kemudian datang pula bantuan militer Eropa khususnya Eropa Barat (Inggris, Perancis dan Jerman Barat), serta beberapa negara di kawasan Asia. Pasukan Amerika Serikat dan Eropa di bawah komando gabungan yang dipimpin Jenderal Norman Schwarzkopf serta Jenderal Collin Powell. Pasukan negara-negara Arab dipimpin oleh Letjen. Khalid bin Sultan.

Misi diplomatik antara James Baker dengan menteri luar negeri Irak Tareq Aziz gagal (9 Januari 1991). Irak menolak permintaan PBB agar Irak menarik pasukannya dari Kuwait 15 Januari 1991. Akhirnya Presiden Amerika Serikat George H. Bush diizinkan menyatakan perang oleh Kongres Amerika Serikat tanggal 12 Januari 1991. Operasi Badai Gurun dimulai tanggal 17 Januari 1991 pukul 03:00 waktu Baghdad yang diawali serangan serangan udara atas Baghdad dan beberapa wilayah Irak lainnya serta operasi di daratan yang mengakibatkan perang darat yang dimulai tanggal 30 Januari 1991.

Irak melakukan serangan balasan dengan memprovokasi Israel dengan menghujani Israel terutama Tel Aviv dan Haifa, Arab Saudi di Dhahran dengan serangan rudal Scud B buatan Sovyet rakitan Irak, serta melakukan perang lingkungan dengan membakar sumur sumur minyak di Kuwait dan menumpahkan minyak ke Teluk Persia. Sempat terjadi tawar-menawar perdamaian antara Uni Sovyet dengan Irak yang dilakukan atas diplomasi Yevgeny Primakov dan Presiden Uni Sovyet Mikhail Gorbachev namun ditolak Presiden Bush pada tanggal 19 Februari 1991. Sementara Sovyet akhirnya tidak melakukan tindakan apa pun di Dewan Keamanan PBB semisal mengambil hak veto. Israel diminta Amerika Serikat untuk tidak mengambil serangan balasan atas Irak untuk menghindari berbaliknya kekuatan militer Negara Negara Arab yang dikhawatirkan akan mengubah jalannya peperangan.

Pada tanggal 27 Februari 1991 pasukan Koalisi berhasil membebaskan Kuwait dan Presiden Bush menyatakan perang selesai.

7. Kesepakatan Damai Oslo antara Palestina dan Israel 1993

Tanggal 13 September 1993. Israel dan PLO bersepakat untuk saling mengakui kedaulatan masing-masing. Pada Agustus 1993, Arafat duduk semeja dengan Perdana Menteri Israel Yitzhak Rabin. Hasilnya adalah Kesepakatan Oslo. Rabin bersedia menarik pasukannya dari Tepi Barat dan Jalur Gaza serta memberi Arafat kesempatan menjalankan sebuah lembaga semiotonom yang bisa “memerintah” di kedua wilayah itu. Arafat “mengakui hak Negara Israel untuk eksis secara aman dan damai”.

28 September 1995. Implementasi Perjanjian Oslo. Otoritas Palestina segera berdiri.

Persetujuan Damai atau secara resmi disebut “Deklarasi Prinsip-Prinsip Fasilitasi Pemerintahan Sendiri secara sementara” disetujui di Oslo, Norwegia pada 20 Agustus 1993 dan secara resmi ditanda-tangani di Washington D.C. pada 13 September 1993 oleh Mahmud Abbas[1] yang mewakili PLO dan Shimon Peres[2] yang mewakili Israel. Hal ini disaksikan oleh Warren Christopher dari Amerika Serikat dan Andrei Kozyrev dari Rusia, di depan Presiden A.S. Bill Clinton[3] dan Perdana Menteri Israel Yitzhak Rabin[4] dengan Ketua PLO Yasser Arafat.[5]

Mahmoud Abbas[1], lahir 26 Maret 1935, umumnya dikenal kunya atau nom de guerre Abu Mazen Presiden terpilih untuk Otoritas Nasional Palestina (PNA: Palestinian National Authority) pada 9 Januari 2005 dan menjabat kembali sejak 15 Januari 2005.

Abbas lahir dan dibesarkan di Safet. Setamat sekolah dasar di kota itu, ia hijrah ke Suriah setelah perang tahun 1948. Ia melanjutkan sekolah menengah dan perguruan tinggi di kota Damaskus. Setelah tamat dari jurusan hukum Universitas Damaskus, ia mendirikan lembaga Palestina pertama pada tahun 1954 di Suriah. Inilah awal mula karier politiknya.

Awal tahun 1960-an, ia menjadi pegawai Departemen Pendidikan di Qatar dan bersahabat dengan Yasser Arafat (1929-2004). Ia kemudian menjadi anggota Majelis Nasional Palestina pada tahun 1968 dan memimpin perundingan tidak resmi dengan Israel pada tahun 1977.

Sejak tahun 1983, ia menjadi anggota komite eksekutif Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) serta memimpin komite nasional dan internasional yang berkonsentrasi pada urusan organisasi non-pemerintah. Ia memulai kembali perundingan rahasia dengan pejabat Israel pada tahun 1989 lewat perantara Belanda. Ia tetap menjalankan aktivitas perundingan di balik pintu dengan Israel ketika dan pasca-Konferensi Madrid tahun 1991. Pasca Konferensi Madrid, ia dipercaya menjabat sebagai koordinator urusan perundingan. Ia meletakkan rencana dan pengarahan pada tim perunding Palestina.

Abbas dengan George W. Bush dan Ariel Sharon di Aqabah

Saat Pemimpin Otoritas Palestina Yasser Arafat membentuk lembaga perdana menteri, ia ditunjuk untuk menjabatnya tetapi mundur empat bulan kemudian (Juni 2003-September 2003. Ia terpilih secara aklamasi sebagai Ketua PLO sepeninggal Yasser Arafat (11 November 2004). Ia terpilih menjadi Presiden Palestina pada pemilu 9 Januari 2005 dengan 62,3 persen suara. Kemenangan Hamas[a] pada Pemilu Legislatif 25 Januari 2006 menghantarkan Ismail Haniya untuk posisi Perdana Menteri Palestina. Hamas yang semenjak awal perjuangannya menolak mengakui negara Israel membuat kesulitan posisinya, sehingga Abbas berniat menyelenggarakan sebuah referendum pada 31 Juli 2006 untuk menentukan perlu tidaknya Palestina mengakui negara Israel.

Hamas

Akronim dari Harakat al-Muqawwamatul Islamiyyah (bahasa Arab:حركة المقاومة الاسلامية , secara harfiah “Gerakan Perlawanan Islam” dan kata Arab untuk ‘ketekunan’), adalah sebuah gerakan dan partai politik Palestina berhaluan Islamis yang dibentuk pada tahun 1987 untuk melakukan perlawanan terhadap pendudukan Israel di Palestina. Pada tahun 2006, partai ini memenangkan pemilu parlemen Palestina. Sejak awal Februari 2007, kelompok ini terlibat konflik dengan kelompok Fatah akibat kekalahan kelompok Fatah di pemilu parlemen 2006.

Selain partai politik, HAMAS juga merupakan lembaga sosial(firqah ijtima’iyyah)

Sejarah

Syekh Ahmad Yassin, seorang guru kelahiran 1 Januari 1929, yang mencatatkan organisasi Mujama al-Islami Hamas ini secara legal di Israel pada 1978. Ia berpijak ke Ikhwanul Muslimin yang didirikan Hasan al-Banna pada 1928 di Mesir. Pemerintah Israel kala itu justru menyokong Hamas, yang hanya berkutat di bidang sosial, moral, dan pendidikan. Tel Aviv juga memanfaatkan Hamas untuk menyaingi kepopuleran Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) yang dipimpin Yasser Arafat.

Berkembang sebagai organisasi karitas, Hamas diam-diam juga berkembang sebagai organisasi bersenjata. Hal ini baru terkuak di akhir 1987. Yassin, alumnus Universitas Al-Azhar, Mesir, meluncurkan Harakat Muqawama al-Islamiya — disingkat Hamas —yang berarti Gerakan Perlawanan Islam.

Tujuan pendirian Hamas dicantumkan di aktanya: “mengibarkan panji-panji Allah di setiap inci bumi Palestina”. Dengan kata lain: melenyapkan bangsa Israel dari Palestina dan menggantinya dengan negara Islam. Hamas baru ini dibidani Yassin dan tujuh orang berpendidikan tinggi: Abdul Aziz al-Rantissi (dokter spesialis anak), Abdul Fatah Dukhan dan Muhammad Shamaa (keduanya guru), Isa Nashar dan Abu Marzuq (insinyur mesin), Syekh Salah Silada (dosen), dan Ibrahim al-Yazuri (farmakolog).

Peluncuran Hamas menemukan momentumnya dengan kebangkitan Intifadah I, yang bergolak di sepanjang Jalur Gaza. Anak-anak Palestina tak gentar melawan tentara Israel dengan batu-batu sekepalan tangan. Sejak itu, sayap-sayap militer Hamas beroperasi secara terbuka. Mereka meluncurkan sejumlah serangan balasan—termasuk bom bunuh diri—ke kubu Israel.

Pada Agustus 1993, Arafat duduk semeja dengan Perdana Menteri Israel Yitzhak Rabin. Hasilnya adalah Deklarasi Oslo. Rabin bersedia menarik pasukannya dari Tepi Barat dan Jalur Gaza serta memberi Arafat kesempatan menjalankan sebuah lembaga semiotonom yang bisa “memerintah” di kedua wilayah itu. Arafat “mengakui hak Negara Israel untuk eksis secara aman dan damai”. Hamas tidak menyetujui perjanjian ini.

Pada Januari 2006, Hamas melangkah ke arena politik formal. Secara mengejutkan, mendulang kemenangan—meraih 76 dari 132 kursi dalam pemilihan anggota parlemen Palestina. Hamas mengalahkan Fatah, partai berkuasa sebelum pemilu saat itu. Kabinet yang didominasi orang Hamas terbentuk.

Tokoh Penting Hamas

1.       Mahmoud al-Zahar

Mahmoud al-Zahar (lahir pada tahun 1945) adalah salah satu pendiri Hamas, dan juga anggota Dewan kepemimpinan Hamas di Jalur Gaza.

2.       Sheikh Ahmed Yassin

Sheikh Ahmed Ismail Yassin dilahirkan di desa Al Jaurah, pinggiran Al-Mijdal, selatan Jalur Gaza (sekarang dekat Ashkelon di Israel). Tanggal lahirnya tak diketahui secara pasti:menurut paspor Palestinanya, ia lahir pada 1 Januari 1929, namun ia telah menyatakan sebenarnya telah lahir pada 1938. Sedangkan sumber Palestina mendaftarkan tahun lahirnya ialah 1937. Saat masih kanak-kanak, ia dan keluarganya telah dipaksa menjadi pengungsi yang diakibatkan oleh perang dengan Israel pada tahun 1948.

Yassin mendirikan Hamas – al-Harakatul Muqawwamatul Islamiyah – dengan rekannya Abdel Aziz al-Rantissi dan Khaled Meshal pada tahun 1987. Sheikh Ahmed adalah seorang tuna netra dan juga seorang paraplegic akibat kecelakaan olahraga pada masa muda-nya sehingga beliau harus menggunakan kursi roda sepanjang sisa hidupnya. [1]. Ia merupakan pejuang Intifadhah, mujahid dakwah yang berjuang menegakkan Islam dan penghulu pejuang Palestina.

Wafatnya

Sheikh Ahmed Yassin dibunuh pada hari Senin, 22 Maret 2004 ketika helikopter Israel menghantamkan 3 roket ke kendaraannya seusai solat Subuh.

3.       Yahya Ayyash

Yahya Ayyash merupakan anggota Hamas. Ia lahir pada 6 Maret 1966 di Rafah dekat Nablus. Ia menyelesaikan pendidikan dasarnya di Rafat dengan memuaskan yang membuatnya memenuhi syarat belajar keahlian teknik di Universitas Bir Zeit. Ayyash menerima gelar sarjana dari teknik elektro pada 1988. Ia aktif dalam barisan Brigade Ezzul Deen Al Qassam di awal 1992, di mana ia mengkhususkan pada pembuatan bahan peledak dari bahan mentah yang tersedia di daerah Palestina. Ia dipercayakan dengan pengenalan teknik bom bunuh diri dalam konflik Israel-Palestina.

Ayyash menjadi salah satu ketua pembuat bom di Hamas. Dalam kapasitas itu, ia menerima gelar “Sang Insinyur.” Pengeboman yang dirancangnya menyebabkan kematian lebih dari 70 orang Israel.

Ia dibunuh oleh Shin Bet Israel pada 5 Januari 1996 menyusul pemburuan besar-besaran. Agen Israel bisa berkompromi dengan salah satu anggota Hamas anak buah Ayyash, yang memberinya telepon berbahan peledak. Saat mereka menegaskan Ayyash sedang menggunakannya, Shin Bet meledakkannya, membunuhnya dengan cepat.

4.       Abdullah Yusuf Azzam

Dr. Abdullah Yusuf Azzam (1941–1989), juga dikenal dengan nama Syekh Azzam, adalah seorang figur utama dalam perkembangan pergerakan Islam. “Ratusan tulisan dan pidatonya mampu menghidupkan ruh baru dalam diri ummat. Seolah-olah beliau dipilih Allah SWT untuk menegakkan kembali kewajiban yang telah dilupakan sebagian besar ummat Islam, yaitu jihad.” Demikian komentar DR. Dahba Zahely, cendekiawan Muslim Malaysia tentang DR Abdullah Azzam. Komentar senada juga datang dari cendekiawan dan ulama dari berbagai negara.

Pendidikan dan Masa Muda

Syekh Azzam lahir pada tahun 1941 di desa As-ba’ah Al-Hartiyeh, provinsi Jenin di sebelah barat Sungai Yordan. Setelah menamatkan pendidikan dasar dan lanjutan di desanya, dia melanjutkan ke Khadorri College di dekat kota Tulkarem dan mengambil jurusan pertanian. Setelah wisuda Syekh Azzam bekerja sebagai seorang guru di desa Adder, Yordania. Kemudian ia di Sharia College pada Universitas Damaskus di mana ia memperoleh gelar B.A. pada tahun 1966. Setelah tahun 1967 pada Perang Enam Hari dan Israel menduduki Tepi Barat, Syekh Azzam pindah ke Yordania dan bergabung dengan Ikhwanul Muslimin Palestina.

Shaikh Azzam pergi ke Mesir untuk melanjutkan studi Islam di Universitas Al-Azhar Kairo dan mendapat gelar master di bidang syariah. Ia kembali ke mengajar pada Universitas Jordan di Amman dan pada tahun 1971, Syekh Azzam kembali ke Universitas Al-Azhar dan memperoleh Ph.D dalam bidang Ushul Fiqh pada tahun 1973.

Salah Seorang Tokoh Penggerak Jihad

Pada tahun 1980 ia pindah ke Peshawar. Di sana ia mendirikan Baitul Anshar, sebuah lembaga yang menghimpun bantuan untuk para mujahid Afghan. Ia juga menerbitkan sebuah media Ummah Islam. Lewat majalah inilah ia menggedor kesadaran ummat tentang jihad. Katanya, jihad di Afghan adalah tuntutan Islam dan menjadi tanggung jawab ummat Islam di seluruh dunia. Seruannya itu tidak sia-sia. Jihad di Afghan berubah menjadi jihad universal yang diikuti oleh seluruh ummat Islam di pelosok dunia. Pemuda-pemuda Islam dari seluruh dunia yang terpanggil oleh fatwa-fatwa Abdullah Azzam, bergabung dengan para mujahidin Afghan.

Jihad di Afghanistan telah menjadikan Abdullah Azzam sebagai tokoh pergerakan jihad zaman ini. Ia menjadi idola para mujahid muda. Peranannya mengubah pemikiran ummat Islam akan pentingnya jihad di Afghanistan telah membuahkan hasil yang sangat mengagumkan. Uni Sovyet sebagai negara Adidaya harus pulang dengan rasa malu, karena tidak berhasil menduduki Afghanistan.

Abdullah Azzam telah berhasil meletakkan pondasi jihad di hati kaum muslimin. Penghargaannya terhadap jihad sangat besar. “Aku rasa seperti baru berusia 9 tahun, 7 setengah tahun jihad di Afghan, 1 setengah tahun jihad di Palestina dan tahun-tahun yang selebihnya tidak bernilai apa-apa,” katanya pada seuatu ketika. Ia juga mengajak keluarganya memahami dan memiliki semangat yang sama dengan dirinya. Isterinya menjadi pengasuh anak-anak yatim dan pekerja sosial di Afghanistan.

Komitmen Abdullah Azzam terhadap Islam sangat tinggi. Jihad sudah menjadi filosifi hidupnya. Sampai akhir hayatnya, ia tetap menolak tawaran mengajar di beberapa universitas. Ia berjanji terus berjihad sampat titik darah penghabisan. Mati sebagai mujahid itulah cita-citanya. Wajar kalau kemudian pada masa hidupnya dialah tokoh rujukan ummat dalam hal jihad. Fatwa-fatwanya tentang jihad selalu dinanti-nantikan kaum muslimin.

Wafatnya

Beberapa kali Abdullah Azzam menerima cobaan pembunuhan. Sampai akhirnya ia dibunuh pada hari Jum’at, 24 November 1989. Tiga buah bom yang sengaja dipasang di gang yang biasa di lewati Abdullah Azzam, meledak ketika ia memarkir kendaraan untuk shalat jum’at di Peshawar, Pakistan. Sheik Abdullah bersama dua orang anak lelakinya, Muhammad dan Ibrahim, meninggal seketika. Kendaraan Abdullah Azzam hancur berantakan. Anaknya, Ibrahim, terlempar 100 meter begitu juga dengan lainnya. Tubuh mereka juga hancur. Namun keanehan terjadi pada Sheikh Abdullah Azzam. Tubuhnya masih utuh bersandar pada sebuah tembok. Hanya sedikit darah yang mengalir dari bibirnya. Dalam peristiwa itu juga terbunuh anak lelaki al-marhum Sheikh Tamim Adnani (seorang perwira di Afghan).

5.       Abdel Aziz al-Rantissi

Dr. Abdel Aziz al-Rantissi (Oktober 1947 – 17 April 2004) ialah ko-pendiri militer Islam Palestina dan organisasi politik Hamas. Ia merupakan pemimpin politik Hamas dan JuBir di Jalur Gaza menyusul pembunuhan yang dilakukan Israel terhadap pemimpin spiritual Syekh Ahmad Yassin, walau pemisahan antara sayap politik dan militer Hamas dikatakan sejumlah orang informal. Seperti kebanyakan anggota Hamas, Rantissi menentang kompromi dengan Israel meneriakkan pembebasan seluruh daerah Palestina (termasuk keseluruhan Israel) melalui jihad melawan Israel.

Kehidupan Awal dan Asal Mula Hamas

Rantissi dilahirkan di Yubna, desa yang termasuk Yavne modern yang tak ditempati pada 1948, dekat Jaffa. Menyusul Perang Arab-Israel 1948, keluarganya mengungsi ke Jalur Gaza. Ia mempelajari ilmu kesehatan anak di Mesir selama 9 tahun dan merupakan dokter berijazah, walaupun tak pernah berpraktek. Pada 1976 ia kembali ke Gaza, anggota yang meyakinkan dari Ikhwanul Muslimin, di luar yang Hamas tumbuh.

Pada 1987, 4 penduduk kamp pengungsian Jabalya tewas dalam kecelakaan LaLin. Menurut Rantissi, ia bergabung dengan Syekh Ahmad Yassin, ‘Abdel Fattah Dukhan, Mohammed Shama’, Dr. Ibrahim al-Yazour, Issa al-Najjar, dan Salah Shehadeh dan orang-orang yang diinstruksikan keluar mesjid meneriakkan Allahu Akbar (“Allah Maha Besar”). Inilah saat dimulainya Intifadah pertama, menurut Rantissi, di bawah yang kpemimpinan organisasinya yang lantas terkenal sebagai Hamas terbentuk kemudian di tahun itu. Akhirnya saingan PLO mengikat kekuatan dengan mereka, dan kepemimpinan bersatu terbentuk.

Pengusiran dan Kembali

Pada Desember 1992, Rantissi dipaksa keluar ke Lebanon bagian selatan, sebagai bagian pengusiran 416 Hamas dan mata-mata Jihad Islam Palestina, dan muncul sebagai JuBir umum dari pengusiran. Selama masa kembalinya pada 1993, ia ditangkap, namun kemudian dibebaskan. Ia juga ditahan beberapa kali lebih dari periode panjang oleh Otoritas Palestina, karena kritiknya pada Pemerintah Palestina dan Arafat, kebanyakan di pertengahan 1999. Sedemikian taktik tak menyurutkan seruannya. Saat Rantissi kembali kepada posisi umum sebagai “tangan kanan” Yassin, ia menyisakan 1 dari pelawan utama untuk tiap gencatan senjata dan penghentian serangan terhadap Israel. Selama pembicaraan di antara kepemimpinan Hamas di Gaza dan luar negeri dan pada kontak tetapnya dengan Otoritas Palestina, Rantissi, bersama dengan Ibrahim Macadma, mengawasi sifat kepemimpinan Hamas.

Setelah kembalinya Syekh Yassin ke Jalur Gaza pada Oktober 1997, setelah pertukaran tahanan menyusul gagalnya percobaan pembunuhan Israel terhadap aktivis Hamas di Yordania, ia bekerja rapat dengan seorang syekh yang sudah tua untuk memperbaiki perintah hirarkis dan memperkuat keseragaman kader termasuk reorganisasi Hamas. Menyusul pengeluaran Salah Shehadeh dan Ibrahim Macadma, ia menjadi kepala politik dan juga menyambut pemimpin spiritual Hamas, menyisakan pembicara pokoqnya. Dalam banyak peran itu, Rantissi memimpin, menginstruksikan dan menetapkan kebijakan – termasuk aktivitas serangan, menurut interogasi mata-mata Hamas. Beberapa pernyataan umumnya diberitakan untuk menjalankan instruksi buat mujahid untuk menyerang.

Dalam masa ketegangan, Rantissi tak habis-habisnya menghadirkan suara lantang. He mengambil kesempatan pertemuan anggota Kongres AS Smith dan PM Israel saat itu Benjamin Netanyahu, 28 Januari 1998, untuk mengumumkan melalui Reuters “hanya ada 1 pilihan di depan orang-orang Palestina yang untuk kembali kepada perjuangan pemberontakan dan senjata melawan okupasi [Israel].” Dalam jam-jam penarikan diri Israel dari Bethlehem, 19 Agustus 2002, Rantissi dikutip dalam Manchester Guardian saat mengatakan mengenai Hamas’ “senapan akan menyisakan perlawanan langsung musuh Zionis”.

Kepemimpinan Hamas Dihabiskan dalam Persembunyian

Masa jabatan 4 minggu Rantisi sebagai pemimpin Hamas dihabiskan dalam persembunyian, sekali pemakaman umum Ahmed Yassin, dihadiri orang banyak dalam jumlah besar, berakhir. Pada 17 April, ia keluar dari persembunyian untuk mengunjungi keluarganya di Kota Gaza, datang sebelum fajar dan tinggal sampai siang. Segera setelah ia meninggalkan rumah ia terbunuh.

Garis Waktu Terpilih

Pada 6 Juni 2003, Rantissi memutuskan diskusi dengan Perdana Menteri Palestina Mahmud Abbas, yang telah menyerukan penghentian “perlawanan bersenjata”.

Pada 10 Juni 2003, Rantissi selamat dari serangan helikopter Israel terhadap mobil yang mana ia sedang berjalan-jalan. Ia terluka dalam serangan itu, yang membunuh beberapa orang di dekatnya.

Pada 26 Januari 2004, Rantissi menawarkan “10 tahun gencatan senjata sebagai penukar penarikan diri dan pendirian negara”. Ada beberapa rumor berkata di dalam Hamas tentang hal itu namun saat itu Rantissi mengumumkan bahwa “pergerakan telah mengambil keputusan dari itu”.

Pada 23 Maret 2004, Rantissi diangkat sebagai pemimpin Hamas di Jalur Gaza, menyusul pembunuhan Yasin oleh angkatan Israel.

Pada 27 Maret 2004, Rantissi memanggil 5.000 pendukung di Gaza. Ia mendeklarasikan presiden AS George W. Bush sebagai “musuh Muslim”. “Amerika mendeklarasikan perang melawan Allah. Sharon mendeklarasikan perang melawan Allah dan Allah mendeklarasikan perang melawan Amerika, Bush dan Sharon. Perang dari Allah berlanjut melawan mereka dan saya dapat melihat kemenangan muncul dari tanah Palestina dengan tangan Hamas.”

Tewas oleh Peluru

Pada 17 April 2004, Rantissi dibunuh oleh Angkatan Pertahanan Israel dengan tembakan peluru di mobilnya. Cara kematian seperti yang ia telah pilih; sebelumnya ia berkata, “Kematian ini apakah dengan pembunuhan atau kanker; itu sama saja. Tiada yang akan mengubah jika itu ialah Apache (helikopter) atau perhentian jantung. Namun saya memilih untuk terbunuh dengan Apache.” 2 orang lainnya, 1 orang pengawal, juga terbunuh dalam serangan itu. Radio pasukan Israel menetapkan bahwa inilah kesempatan pertama pada sasaran Rantissi, tanpa kerugian tambahan, sejak ia mengambil kepemimpinan Hamas, berkata ia telah menghabiskan sedikit minggu terakhir mengelilingi dirinya dengan anak-anak.

6.       Khaled Meshal

Khalid Misy’al, atau juga dikenal dengan nama Khaled Meshal atau Khaled Mashal (lahir pada tahun 1956) adalah salah satu pemimpin Hamas. Dia juga dikenal sebagai “pemimpin politik” dari Hamas cabang Suriah dan saat ini tinggal di Damaskus.

7.       Ismail Haniya

Ismail Haniya (lahir di Gaza pada tahun 1962), adalah seorang politikus Palestina. Ia adalah Perdana Menteri Otoritas Nasional Palestina dari 19 Februari 2006 hingga 14 Juni 2007. Haniya dikenal sebagai pemimpin Hamas yang lebih moderat dan dekat dengan pemimpin spiritual Hamas, Sheikh Ahmad Yassin, yang dibunuh Israel.

Lahir di perkampungan pengungsi al-Shari pada tahun 1962, tahun 1987 ia lulus dari Universitas Islam Gaza dengan gelar dalam bidang sastra Arab. Haniya lalu dipenjara tanpa tuduhan oleh pemerintah Israel selama tiga tahun dari tahun 1989 hingga 1992. Setahun kemudian ia menjadi kepala fakultas di Universitas Islam Gaza. Kemudian pada pemilu 2006, ia dipilih Hamas sebagai calon legislatif urutan pertama Hamas.

Fatah

Fatah (bahasa Arab: فتح “penaklukan”) atau Harakat at-Tahrir al-Wathani al-Filasthini atau Gerakan Nasional Pembebasan Palestina, adalah sebuah partai politik di Palestina yang didirikan pada tahun 1958. Partai ini memiliki tujuan untuk mendirikan negara Palestina di daerah yang sedang menjadi tempat konflik Israel dan Palestina. Fatah sebenarnya secara teknis bukan merupakan partai politik, namun adalah salah satu faksi dalam PLO, sebuah konfederasi multipartai.

Fatah didirikan pada tahun 1958 atau 1959 oleh sekelompok warga Palestina yang menempuh pendidikan di Kairo, Mesir; salah satunya Yasser Arafat. Setelah Perang Enam Hari pada tahun 1967, Fatah muncul sebagai kekuatan yang dominan dalam dunia politik di Palestina. Pada akhir 1960-an, Fatah bergabung dengan PLO dan pada tahun 1969 menjadi pemimpin dalam PLO. Sejak saat itu, Arafat menjadi pemimpin PLO dan Fatah hingga meninggal dunia pada tahun 2004. Posisinya sebagai ketua Fatah digantikan Faruq al-Qaddumi. Kelompok ini terlibat konflik dengan kelompok Hamas setelah kemenangan kelompok Hamas pada Pemilu parlemen tahun 2006 lalu di Palestina.

Organisasi

Brigade Martir Al Aqsa adalah sayap militer Fatah.

Tokoh

1.       Yasser Arafat (lihat Yesser Arafat)

2.       Farouk Kaddoumi

3.       Marwan Barghouti

Marwan al-Barghutsi atau Marwan Barghouti lahir 6 Juni 1959 di Palestina (Tepi Barat) adalah pemimpin gerakan Fatah. Sekarang menjadi tahanan seumur hidup di Israel dan merupakan tapol paling berpengaruh di balik jeruji tahanan Israel.

4.       Mahmoud Abbas (lihat Mahmoud Abbas)

5.       Ahmed Qurei

Ahmed Ali Mohammed Qurei (atau Qureia), juga dikenal sebagai Abu Alaa (lahir 26 Maret 1937) adalah perdana menteri Otoritas Nasional Palestina. Ia pertama kali diangkat ke dalam posisi itu pada Oktober 2003. Pada 26 Januari 2006, ia mengajukan pengunduran dirinya setelah kekalahan partai Fatah dalam pemilihan umum legislatif Palestina 2006, namun ia tetap memegang jabatannya sebagai pejabat sementara. Dalam masa jabatannya sebagai perdana menteri, ia pun bertanggung jawab atas masalah-masalah keamanan. Sebelumnya ia pernah menjadi ketua Dewan Legislatif Palestina dan memegang sejumlah kedudukan penting di dalam Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) sejak tahun 1970-an.

Karier politik awal

Qurei dilahirkan di Abu Dis (dekat Yerusalem) pada 1937 dalam sebuah keluarga yang relatif kaya. Ia bergabung dengan Fatah, organisasi politik dan militer terbesar, yang membentuk Organisasi Pembebasan Palestina, pada 1968. Sebagai seorang bankir, ia menggunakan keahliannya pada 1970-an sebagai direktur cabang investasi asing dan direktur jenderal cabang ekonomi PLO, dan membantu menciptakan organisasi itu salah satu badan yang mempunyai pegawai terbesar di Lebanon. Ia mengikuti Yasser Arafat ke Tunis setelah PLO dipaksa meninggalkan Lebanon. Setelah lebih banyak pimpinan senior PLO meninggal, Qurei pun semakin menonjol dan terpilih menjadi anggota Komite Sentral Fatah pada Agustus 1989.

Sebagai seorang anggota Komite Sentral, Qurei banyak berperan dalam perundingan untuk Persetujuan Oslo. Ia memegang banyak jabatan dalam kabinet Otoritas Nasional Palestina pertama, termasuk Menteri Ekonomi dan Perdagangan dan Menteri Perindustrian. Ia pun bertanggung jabat atas rencana pembangunan wilayah-wilayah Palestina yang diajukan kepada Bank Dunia pada 1993. Ia juga mendirikan dan menjadi direktur dari Dewan Ekonomi Palestina untuk Pembangunan dan Rekonstruksi (PECDAR) pada 1993 untuk menolong mendapatkan uang dari donor-donor internasional. Tak lama kemudian ia dipilih menjadi anggota Dewan Legislatif Palestina dan terpilih menjadi ketuanya pada Maret 2000.

Perdana Menteri

Setelah pengunduran diri Perdana Menteri Palestina Mahmud Abbas (Abu Mazen) pada 6 September 2003, presiden Otoritas Nasional Palestina, Yasser Arafat, memilih Qurei untuk mengisi jabatan itu. Ia berkata bahwa ia hanya bersedia menerima tugas itu bila “dijamin bahwa Israel akan mengikuti rencana perdamaian yang didukung AS, termasuk penghentian serangan-serangan militer.

Qurei diangkat melalui suatu dekrit darurat pada 5 Oktober 2003, disumpah pada 7 Oktober, namun pada 12 Oktober ia mengancam akan mengundurkan diri karena pertikaian dengan Arafat menyangkut kontrol terhadap dinas keamanan. Masa kerja kabinet darurat berakhir pada 4 November dan Qurei mengumumkan bahwa ia bersedia memimpin sebuah kabinet baru asalkan parlemen bersedia memberikan dukungan. Ia mendapatkan persetujuan ini pada 12 November. Pada 17 Juli 2004, ia mengajukan pengunduran dirinya di tengah-tengah kekacauan yang kian meningkat di Jalur Gaza yang diwarnai dengan penculikan terhadap pejabat-pejabat keamanan Palestina, termasuk Kepala Polisi Jalur Gaza dan lima orang Prancis. Arafat menolak menerima pengunduran dirinya, dan kabarnya ia menuliskan huruf ‘X’ besar di surat pengunduran diri Qurei.

Setelah Yasser Arafat memberikan Qurei kontrol atas sebagian dari aparat keamanan, salah satu kekuasaan yang dimintanya untuk melaksanakan pembaruan, Qurei mencabut surat pengunduran dirinya pada 27 Juli 2004 sambil menyatakan: “Saya puas karena Presiden Arafat kali ini bersungguh-sungguh, bahwa kali ini bukan cuma kata-kata melainkan akan ada tindakan.” Arafat tetap mempertahankan kontrol terhadap bagian terbesar dari selusin dinas keamanan. Ahmed Qurei dan para kritikus lainnya mengklaim bahwa organisasi-organisasi ini menunjukkan adanya korupsi internal dan ketiadaan hukum. Para mediator yang dipimpin oleh AS mempersalahkan mereka karena menghalang-halangi kemajuan “Peta menuju perdamaian”. Arafat bertindak setelah Jalur Gaza mengalami ledakan kegelisahan publik dan tuntutan-tuntutan pembaruan, termasuk pemilu – sesuatu yang tidak pernah terjadi sebelumnya.

Setelah kematian Arafat dan kemenangan Mahmoud Abbas dalam pemilihan presiden Palestina 2005, Qurei diminta untuk meneruskan jabatannya dan membentuk kabinet baru. Karena tuntutan yang berulang-ulang oleh para pejabat Fatah dan anggota-anggota Dewan Legislatif Palesina untuk membuat kabinet yang baru lebih condong pada pembaruan, mosi percaya berulang-ulang mengalami penundaan. Mosi itu akhirnya disetujui pada 24 Februari 2005 setelah Qurei merevisi daftar menteri-menterinya untuk mengakomodasi tuntutan-tuntutan ini.

Pada 15 Desember 2005 Qurei sebentar mengundurkan diri sebagai Perdana Menteri untuk ikut serta dalam pemilihan untuk Parlemen Palestina, namun 9 hari kemudian ia kembali ke jabatannya setelah memutuskan untuk membatalkan niatnya semula. Pada 26 Januari 2006 Qurei mengumumkan niatnya untuk mengundurkan diri setelah kekalahan partai Fatah oleh Hamas dalam pemilu parlemen. [2] Atas permintaan Presiden ONP, Mahmud Abbas, Qurei tetap bertahan dalam jabatannya sebagai pejabat sementara hingga penggantinya diangkat.

6.       Muhammad Dahlan

7.       Ahmed Helles

Shimon Peres[2]

Shimon Peres lahir  pada 2 Agustus 1923 di Polandia adalah Presiden Negara Israel ke-9 yang kini sedang menjabat. Ia seorang penggagas kesepakatan perdamaian dengan Palestina pada tahun 1990-an. Ia bermigrasi bersama keluarganya di suatu tempat yang sekarang dikenal sebagai negara Israel pada 1934) adalah politikus Israel, mantan perdana menteri, dan wakil perdana menteri.

Peres tercatat sebagai anggota dan kemudian memimpin Partai Buruh dari tahun 1950-an hingga Desember 2005. Setelah itu, ia beralih dan mendukung partai baru bernama Partai Kadima. Ia terpilih di Parlemen (Knesset) pada Maret 2006 sebagai anggota dari Partai Kadima. Sejak 4 Mei 2006, ia menjabat sebagai Menteri Pembangunan untuk Negev, Galilea, dan Ekonomi Regional serta Wakil Premier.

Peres tampil kedelapan sebagai Perdana Menteri Israel (1984-1986 dan 1995-1996), Menteri Luar Negeri Israel (2001-2002), dan Wakil Perdana Menteri dalam koalisi di bawah kepemimpinan Ariel Sharon pada awal tahun 2005. Pada 1994, Peres memenangi Penghargaan Perdamaian Nobel bersama dengan Yitzhak Rabin dan Yasser Arafat dalam Persetujuan Oslo. Peres kemudian menang dalam pemilu nasional, sehingga membuat posisinya di Partai Buruh semakin kuat dan tangguh untuk waktu yang tidak terbatas.

Pada 2007, Peres dicalonkan Partai Kadima dan memastikan diri pada 30 Juni 2007 untuk maju dalam pemilu presiden. Ia dipilih oleh Knesset untuk menjadi presiden pada 13 Juni 2007 untuk menggantikan Moshe Katsav setelah pelantikannya pada 15 Juli 2007 untuk tujuh tahun masa jabatan.[1] Sebelumnya, Peres juga pernah mencalonkan diri menjadi kandidat presiden pada tahun 2000. Ketika itu, ia kalah telak dari Moshe. Selain Peres, calon presiden lainnya adalah Reuven Rivlin dari oposisi sayap kanan Partai Likud dan Colette Avital dari Partai Buruh. Menurut jajak pendapat, rakyat Israel menginginkan Peres sebagai presiden. Di babak pertama, Peres meraih 58 dari 120 suara pemilih. Sedang, Reuven meraih 37 suara dan Colette memperoleh 21 suara. Di babak kedua, Peres memperoleh 86 suara pemilih. Ia diangkat sebagai presiden oleh Knesset pada tanggal 13 Juni 2007 dan diambil sumpah pada tangga; 15 Juli 2007 untuk masa jabatan 7 tahun.

Tahun-tahun Kehidupan

Shimon Peres lahir di Wieniawa, Polandia (sekarang Vishneva di Belarusia). Ia lahir dengan nama akhir asli Persky. Pada tahun 1934, semasa masih kecil, ia pindah ke Tel Aviv (Israel) bersama keluarganya. Ia bersekolah di Sekolah Geula di Tel Aviv dan sekolah pertanian di Ben Shemen.

Pada 1947, ia mengikuti wajib militer di Haganah (pendahulu Pasukan Pertahanan Israel) dan ditunjuk David ben Gurion untuk bertanggung jawab atas personalia dan pengadaan senjata. Pada 1952, ia diangkat sebagai Deputi Direktur Jenderal Kementerian Pertahanan dan menjabat Direktur Jenderal Kementrian Pertahanan pada 1953. Ia terlibat dalam pembelian senjata untuk negara Israel. Usaha Peres berjalan baik karena berhasil memperoleh pesawat tempur jet Dassault Mirage III dari Perancis dan sebuah reaktor nuklir serta hingga terjadi Krisis Suez pada tahun 1956.

Karier politik

Pada 1959, ia dipilih ke dalam Knesset sebagai anggota Partai Mapai (Partai Buruh Israel). Periode 1959-1965, ia bertindak sebagai Deputi Menteri Pertahanan hingga terlibat dalam Peristiwa Lavon bersama Moshe Dayan. Peres dan Dayan meninggalkan Mapai bersama David Ben Gurion untuk membentuk Partai Rafi yang berekonsiliasi dengan Mapai pada 1968.

Meskipun tanpa Ben Gurion bisa menghasilkan pembentukan Jajaran Buruh. Pada 1969, ia ditunjuk sebagai Menteri Absorpsi. Pada 1970, ia menjabat Menteri Transportasi dan Komunikasi. Setelah menjabat sebagai Menteri Penerangan, ia diangkat sebagai Menteri Pertahanan pada tahun 1974 dalam pemerintahan Yitzhak Rabin. Meski tak pernah memenangkan pemilihan umum, ia dua kali menjadi Perdana Menteri; periode 1984-1986 sebagai bagian persetujuan rotasi dengan anggota Partai Likud (Yitzhak Shamir) dan setelah pembunuhan Perdana Menteri Yitzhak Rabin pada periode 1995-1996.

Peres tetap merupakan pendukung teguh Persetujuan Oslo dan Otoritas Palestina sejak dicetuskan, meskipun ada Intifadhah pertama dan Infitadhah al-Aqsha. Shimon Peres yang berminat dalam bidang nanoelektrik ini mendukung kebijakan militer Perdana Menteri Ariel Sharon untuk menarik mundur pasukan Israel dari Jalur Gaza dan menekankan perdamaian. Ia mendirikan Peres Center for Peace pada tahun 1997. Ia diangkat Perdana Menteri Ariel Sharon pada periode 2001-2002 sebagai Menteri Luar Negeri dan Wakil Perdana Menteri pada tahun 2005.

Menyusul kekalahannya dalam perebutan kursi Ketua Partai Buruh pada 30 November 2005, ia mundur dari partai itu dan menyatakan mendukung langkah Perdana Menteri Ariel Sharon.

Kehidupan keluarga

Shimon Peres menikah dengan Sonya (nama gadis: Gelman) dan memiliki seorang putri, Tzvia (Tziki) Walden-Peres, seorang ahli linguistik, dan dua orang putra, Yoni (lahir 1952) dan Chemi, pemimpin Pitango Venture Capital, salah satu dana modal usaha terbesar Israel.

Buku

1. Peres mengarang sejumlah buku, yaitu:

2. The Next Step (1965)

3. David’s Sling(1970)(ISBN 0-297-00083-7)

4. And Now Tomorrow(1978)

5. From These Men: seven founders of the State of Israel(1979)(ISBN 0-671-61016-3)

6. Entebbe Diary (1991)

7. Yoman Entebeh (1991)(ISBN 0-8050-3323-8)

8. The New Middle East(1993)(ISBN 0-8050-3323-8)

9. Battling for Peace: a memoir (1995)(ISBN 0-679-43617-0)

10. For the Future of Israel (1998)(ISBN 0-8018-5928-X)

11. The Imaginary Voyage : With Theodor Herzl in Israel (1999)(ISBN 1-55970-468-3)

William Jefferson Clinton[3] (lahir di Hope, Arkansas, 19 Agustus 1946; umur 62 tahun dengan nama William Jefferson Blythe III) adalah Presiden Amerika Serikat ke-42. Ia menjabat dua kali masa jabatan periode 20 Januari 1993 hingga 20 Januari 2001.

Sebelum terpilih menjadi presiden, Clinton selama sekitar 12 tahun adalah Gubernur Arkansas yang ke-50 dan ke-52. Istrinya, Hillary Rodham Clinton, adalah Senator dari daerah pemilihan New York. Clinton mendirikan yayasan William J. Clinton Foundation dan menjadi ketuanya.

Pada masa pemerintahan Clinton, rakyat AS menikmati perdamaian dan kesejahteraan ekonomi yang lebih besar dibandingkan dengan periode manapun dalam sejarah AS. Clinton adalah presiden dari partai Demokrat pertama sejak Franklin D. Roosevelt yang berhasil menjabat selama dua masa jabatan.

Masa kecil

Bill Clinton terlahir sebagai William Jefferson Blythe IV pada 19 Agustus 1946 di Hope, Arkansas. Tiga bulan sebelum kelahirannya, ayahnya meninggal dalam sebuah kecelakaan lalu lintas.

Ketika Clinton berusia empat tahun, ibunya menikah lagi dengan Roger Clinton yang berasal dari Hot Springs,Arkansas.

Nama keluarga ayah tirinya, Clinton, selanjutnya ia gunakan sejak duduk disekolah menengah.

Clinton merupakan siswa berbakat sekaligus pemain saksofon yang handal. Ia pernah mempertimbangkan untuk menjadi pemain musik profesional, lalu ketika menjadi utusan untuk Boys Nation semasa duduk di sekolah menengah, ia bertemu dengan Presiden John Kennedy di Taman Bunga Mawar Gedung Putih. Pertemuan tersebut memotivasinya untuk terjun ke dunia pelayanan publik.

Awal karir

Clinton lulus dari Georgetown University pada tahun <<insert year>> dan pada 1968 ia mendapat Beasiswa Rhodes untuk belajar di Oxford University. Ia memperoleh gelar dibidang hukum dari Yale University pada 1973, kemudian memasuki dunia politik di Arkansas.

Ia kalah dalam kampanye untuk menjadi anggota Kongres di Distrik Ketiga Arkansas pada 1974. Tahun berikutnya ia menikahi Hillary Rodham, lulusan Wellesley College and Yale Law School. Putri semata wayang mereka, Chelsea, lahir pada 1980.

Pada 1976, Clinton terpilih sebagai Jaksa Agung Arkansas, dan menjadi gubernur pada negara bagian tersebut pada 1978. Setelah gagal dalam usahanya mempertahankan posisi tersebut, ia berhasil mendapatkannya kembali empat tahun kemudian. Ia menjabat sebagai Gubernr Arkansas hingga ia berhasil mengalahkan Presiden George Bush serta kandidat independen Ross Perot pada pemilihan presiden 1992.

Masa kepresidenan

Clinton dan pasangannya dalam permilihan presiden, Senator Albert Gore Jr dari Tennessee, yang pada saat itu berusia 44 tahun, mewakili generasi baru dalam kepemimpinan politik AS. Untuk pertama kalinya dalam 12 tahun, baik Gedung Putih maupun Kongres dikuasai oleh partai yang sama. Tapi situasi ini tidak bertahan lama; Partai Republik berjaya di kedua kamar di Kongres pada 1994.

Ia berhasil;

1. Menempatkan tingkat pengangguran dan tingkat inflasi pada titik terendah dalam 30 tahun.

2. Tingkat kepemilikan rumah tertinggi dalam sejarah AS.

3. Menurunkan tingkat kejahatan di sejumlah wilayah.

4. Mengurangi tugas-tugas kesejahteraan.

5. Mengusulkan anggaran berimbang pertama dalam beberapa dekade serta berhasil mencapai surplus anggaran.

Sebagai bagian dari rencana perayaan milenium tahun 2000, Clinton menghimbau rakyatnya untuk melancarkan inisiatif nasional untuk mengakhiri diskriminasi rasial.

Namun ada pula pendapat yang mengatakan bahwa keberhasilan pemerintahan Clinton pada awal masa jabatannya dikarenakan kebijaksanaan jangka panjang yang diterapkan oleh mantan Presiden Ronald Reagan mulai menunjukkan hasil.

Setelah kegagalan di tahun keduanya berkenaan dengan program besar reformasi di bidang kesehatan, Clinton mengubah penekanan, sembari menyatakan bahwa “era pemerintahan besar telah berakhir.” Ia mengatur undang-undang untuk meningkatkan mutu pendidikan, melindungi pekerjaan para orang tua yang harus mengurus anak-anak yang sakit, membatasi penjualan senjata api genggam, serta memperkuat aturanaturan yang berhubungan dengan lingkungan hidup.

Pada 1998, sebagai akibat dari isu-isu mengenai hubungan pribadinya dan skandal sex dengan seorang wanita muda pekerja magang di Gedung Putih, Monica Lewinsky, Presiden Clinton menjadi presiden AS kedua yang di-impeach oleh DPR AS. Ia diadili di Senat dan terbukti tidak bersalah atas segala tuduhan yang dialamatkan kepadanya. Ia meminta maaf kepada seluruh rakyat AS atas perbuatannya dan terus mendapat dukungan untuk menjadi presiden.

Di kancah internasional, ia berhasil mengirimkan pasukan penjaga perdamaian ke Bosnia yang tercabik oleh perang dan ke Irak yang dibombardir setelah Saddam Hussein menghentikan inspeksi PBB atas bukti-bukti keberadaan senjata nuklir, kimia dan biologis. Ia menjadi tokoh global dalam pengembangan NATO, perdagangan intemasional yang lebih terbuka, serta kampanye global melawan penjualan narkoba. Ia mendapat sambutan yang besar dalam kunjungan-kunjungannya ke Amerika Selatan, Eropa, Rusia, Afrika, dan RRC dalam upaya mempromosikan kebebasan ala AS.

Investigasi dan Impeachment

Ia ayah dari seorang anaknya, Chelsea Clinton. Dia terkenal sebagai presiden yang populer di kalangan warga Afrika-Amerika. Pada masa jabatannya, ekonomi AS mengalami perkembangan merata yang terlama sepanjang sejarahnya. Karirnya sebagai presiden sempat dinodai skandal perselingkuhan dengan Monica Lewinsky.

Yitzhak Rabin[4]  adalah seorang politikus dan jenderal Israel. Rabin adalah Perdana Menteri kelima Israel pada 1974 – 1977 dan menjabat kembali pada 1992 hingga ia terbunuh pada 1995 oleh Yigal Amir, seorang aktivis sayap kanan yang tidak mendukung kebijakan mengenai Perjanjian Oslo. Rabin adalah perdana menteri Israel pertama yang dilahirkan di Israel, satu-satunya perdana menteri Israel yang terbunuh dan orang kedua yang meninggal dalam jabatannya setelah Levi Eshkol.

Pemuda dan Pelayanan di Palmach

Rabin lahir di Yerusalem yang masuk bagian wilayah Palestina (tepatnya: mandat Britania Palestina).

Dalam masa jabatannya yang kedua, ia berusaha menjalin hubungan baik dengan Palestina. Atas usahanya itu, pada tahun 1994 bersama-sama Yasser Arafat dan Menteri Luar Negeri Shimon Peres ia mendapat hadiah Nobel Perdamaian. Ada beberapa pihak yang menolak keras langkah-langkah perdamaiannya. Tanggal 4 November 1995, ia tewas diberondong peluru oleh sesama Yahudi di Tel Aviv.

Yasser Arafat5] / Mohammed Abdel-Raouf Arafat al-Qudwa al-Husseini, Agustus 1929 – 11 November 2004), populer dengan Yasser Arafat  adalah Ketua Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) (1969–2004) dan Presiden[2] Otoritas Nasional Palestina (PNA) (1993–2004). Pada tahun 1994, bersama dengan Shimon Peres dan Yitzhak Rabin Arafat dianugerahi Penghargaan Nobel Perdamaian untuk perundingan Persetujuan Damai Oslo tahun 1993.

Ia menjabat sebagai Presiden Otoritas Palestina sejak tahun 1993 dan terpilih menjabat selama lima tahun pada tahun 1996). Selain Presiden, Arafat juga merupakan pemimpin Fatah dan PLO sejak tahun 1969).

Pada tanggal 28 Oktober 2004, Arafat dilaporkan menderita penyakit yang serius. Keesokan harinya, dia meninggalkan Markas Besar Tepi Barat di Ramallah untuk diterbangkan ke Perancis. Di sana, dia dirawat di Rumah Sakit Militer Percy yang terletak di Clamart. Arafat berada dalam kondisi koma pada tanggal 3 November 2004. Sejak saat itu kondisinya memburuk. Dia tetap hidup dengan bantuan alat-alat penopang nyawa. Arafat meninggal dunia di rumah sakit pada pukul 09:30 WIB tanggal 11 November 2004 pada usia 75 tahun.

Upacara pemakaman diadakan di Bandara Kairo, Mesir. Arafat dimakamkan di markas besarnya Muqata, Ramallah, Tepi Barat.

8.Intifada Pertama

Intifada dalam bahasa arab berarti kebangkitan, dalam makna luasnya berarti perlawananan terhadap pasukan militer israel dengan hanya mengandalkan lemparan batu. Intifada pertama ada tahun 1987. Berakhir damai dgn ditandatanganinya perjanjian Oslo dan pembentukan Palestianian National Authority pada tahun 1993.(citraputra.wordpressdotcom)

INTIFADA adalah nama untuk perjuangan yang dilakukan oleh sekelompok orang Palestina yang bersenjatakan batu melawan tentara Israel yang memiliki perlengkapan militer mutakhir. Kemunculan Intifada pertama kali dipicu oleh pembunuhan enam orang anak-anak secara biadab oleh tentara Israel. Pada umumnya Intifada dilancarkan oleh para remaja Palestina yang berusia antara 15-20 tahun. Untuk membalas hal itu para pemuda Palestina yang bersenjatakan batu melakukan perlawanan terhadap tentara-tentara Israel. Faktor utama yang membuat gerakan perlawanan tersebut menjadi begitu fenomenal adalah keberanian mereka menentang pasukan Israel yang dilengkapi berbagai senjata mutakhir, sementara senjata mereka hanya berupa batu-batu dan ban-ban bekas. Intifada telah terbukti memberikan sumbangan terbesar bagi perjalanan sejarah bangsa Palestina, terutama karena keberhasilannya dalam membuka mata dunia internasional bahwa penderitaan bangsa Palestina di wilayah pendudukan dan kebiadaban para penguasa Israel yang telah berlangsung puluhan tahun tidak mungkin dibiarkan berlarut-larut. Peristiwa ini kemudian melatarbelakangi berdirinya Hamas di bulan dan tahun yang sama.(Media Indonesiadotcom)

1993-sekarang

1. Kerusuhan Terowongan Al-Aqsa

September 1996. Kerusuhan terowongan Al-Aqsa. Israel sengaja membuka terowongan menuju Masjidil Aqsa untuk memikat para turis, yang justru membahayakan fondasi masjid bersejarah itu. Pertempuran berlangsung beberapa hari dan menelan korban jiwa.

2.Tanggal 18 Januari 1997 Israel bersedia menarik pasukannya dari Hebron, Tepi Barat.

3. Perjanjian Wye River Oktober 1998 berisi penarikan Israel dan dilepaskannya tahanan politik dan kesediaan Palestina untuk menerapkan butir-butir perjanjian Oslo, termasuk soal penjualan senjata ilegal.

4. Tanggal 19 Mei 1999, Pemimpin partai Buruh Ehud Barak[1] terpilih sebagai perdana menteri. Ia berjanji mempercepat proses perdamaian.

Ehud Barak, lahir di Mishmar HaSharon kibbutz (Mandat Britania atas Palestina, 12 Februari 1942; umur 66 tahun) adalah seorang politisi Israel dan tampil ke-10 sebagai Perdana Menteri Israel pada periode 1999-2001.

Pengabdian Kemiliteran

Barak bergabung dengan Angkatan Pertahanan Israel pada tahun 1959. Selama 35 tahun pengabdiannya, ia menempati posisi sebagai Kepala Staf Jenderal dan menerima posisi sebagai Rav Aluf, sebuah posisi tertinggi di dunia kemiliteran Israel.

Barak dihadiahi “Medali Jasa Istimewa” dan 4 tanda penghargaan lainnya untuk ‘keunggulan keberanian dan operasional’. Dalam pada itu, Barak menerima gelar sarjana mudanya dari Fisika dan Matematika dari Universitas Ibrani Yerusalem pada 1976, dan gelar masternya dalam Sistem Ekonomi Keahlian Teknik pada 1978 dari Universitas Stanford di Palo Alto, California, AS.

Dalam politik, ia menjabat sebagai Menteri Dalam Negeri (1995) dan Menteri Luar Negeri (1995-1996). Ia dipilih ke dalam Knesset pada 1996, di mana ia menjadi anggota Urusan Luar Negeri dan Komite Pertahanan Knesset. Pada 1996 Barak menjadi pemimpin Partai Buruh.

Ehud Barak diangkat sebagai PM Israel pada 17 Mei 1999 dan mengakhiri pemerintahannya pada 7 Maret 2001 setelah kehilangannya pada Ariel Sharon pada pemilhan spesial PM di bulan Februari.

Masa pemerintahan Barak sebagai PM memiliki beberapa peristiwa penting, kebanyakan darinya kontroversial:

Pembentukan koalisi dengan partai Haredi Shas, setelah Barak berjanji mengakhiri “korupsi” yang didukung partai keagamaan.

Meretz berhenti berkoalisi setelah gagal bermufakat pada kekuasaan buat diberikan pada Wakil Perdana Menteri Shas dalam Menteri Pendidikan.

1. Penarikan kembali dari Lebanon selatan.

2. Penculikan 3 pasukan Israel oleh Hizbullah, yang dibantu angkatan penjaga perdamaian PBB setempat.

3. Perundingan perdamaian dengan Suriah.

4. Disahkannya Hukum Tal yang memberi UU resmi buat pembebasan Yahudi Haredi dari dinas militer.

5. KTT Camp David 2000 yang berarti ‘memecahkan’ konflik Palestina-Israel namun gagal. Barak dan Presiden AS Bill Clinton menyalahkan Yasser Arafat. Barak menyatakan ia membongkar “Tujuan Sesungguhnya Arafat”. Lalu, Barak disalahkan politisi sayap kiri Israel bahwa ia membunuh pergerakan damai Israel dengan menghadirkan Arafat sebagai “penolak perdamaian”.

6. Meletusnya Intifadhah al-Aqsha.

7. Pembantaian 13 penduduk Palestina oleh polisi dan seorang warga negara Israel oleh seorang Arab, dalam Kerusuhan Oktober 2000.

8. Pembicaraan Taba dengan kepemimpinan Otoritas Palestina, setelah pemerintahannya jatuh.

Setelah kalah pada pemilu 2001 dari Ariel Sharon (pemimpin Likud) secara telak, Barak meninggalkan Israel untuk bekerja sebagai penasihat senior U.S.-based Electronic Data Systems. Ia juga menjadi partner pada sebuah perusahaan dengan berfokus pada kerja “yang berhubungan dengan keamanan”.

Pada 2005, Barak mengumumkan kembalinya ke politik Israel, dan berpacu untuk kepemimpinan Partai Buruh di bulan November. Namun mengingat prestasinya yang lemah dalam pemilihan umum, Barak meninggalkan pertarungan dan menyatakan dukungannya untuk negarawan tua Shimon Peres.

Setelah Peres dikalahkan Amir Peretz dan meninggalkan Partai Buruh, Barak mengumumkan ia tetap tinggal di partai itu, meski hubungannya dengan pemimpin yang baru dipilih itu goyah. Namun ia telah menyatakan takkan bertarung untuk pemilu Maret 2006.

Pada bulan Juni 2007, Parlemen Israel mengukuhkan pengangkatan Ehud Barak sebagai menteri pertahanan Israel yang baru.

5.Intifada al-Aqsa

Maret 2000, Kunjungan pemimpin oposisi Israel Ariel Sharon ke Masjidil Aqsa memicu kerusuhan. Masjidil Aqsa dianggap sebagai salah satu tempat suci umat Islam. Intifadah gelombang kedua pun dimulai.

6.KTT Camp David 2000 antara Palestina dan Israel

7.Bulan Maret-April 2002 Israel membangun Tembok Pertahanan di Tepi Barat dan diiringi rangkaian serangan bunuh diri Palestina.

8.Bulan Juli 2004 Mahkamah Internasional menetapkan pembangunan batas pertahanan menyalahi hukum internasional dan Israel harus merobohkannya.

9.Bulan Tanggal 9 Januari 2005 Mahmud Abbas, dari Fatah, terpilih sebagai Presiden Otoritas Palestina. Ia menggantikan Yasser Arafat yang wafat pada 11 November 2004

10.Peta Menuju Perdamaian

11.Bulan Juni 2005 Mahmud Abbas dan Ariel Sharon bertemu di Yerusalem. Abbas mengulur jadwal pemilu karena khawatir Hamas akan menang.

13.Bulan Agustus 2005 Israel hengkang dari permukiman Gaza dan empat wilayah permukiman di Tepi Barat.

14.Bulan Januari 2006 Hamas memenangkan kursi Dewan Legislatif, menyudahi dominasi Fatah selama 40 tahun.

15.Bulan Januari-Juli 2008 Ketegangan meningkat di Gaza. Israel memutus suplai listrik dan gas. Dunia menuding Hamas tak berhasil mengendalikan tindak kekerasan. PM Palestina Ismail Haniyeh berkeras pihaknya tak akan tunduk.

16.Bulan November 2008 Hamas batal ikut serta dalam pertemuan unifikasi Palestina yang diadakan di Kairo, Mesir. Serangan roket kecil berjatuhan di wilayah Israel.

17.Serangan Israel ke Gaza dimulai 26 Desember 2008. Israel melancarkan Operasi Oferet Yetsuka, yang dilanjutkan dengan serangan udara ke pusat-pusat operasi Hamas. Korban dari warga sipil berjatuhan.

18.Terkini

KOTA GAZA, SELASA — Pemimpin Hamas Ismail Haniya yakin akan memenangi peperangan di Jalur Gaza, Senin (12/1).Haniya menyampaikan pidato di televisi beberapa jam setelah Israel mengancam akan menggempur Hamas dengan “tangan besi” jika serangan roket dari Gaza tidak berhenti. Padahal, serangan Israel ke Gaza ditujukan untuk menghentikan roket-roket tersebut.

“Kita mendekati kemenangan,” kata Haniya dari tempat yang tidak disebutkan. “Saya beritahukan pada Anda bahwa setelah 17 hari perang yang bodoh ini Gaza tidak terpatahkan dan Gaza tidak akan jatuh.” Haniya juga mengatakan, “Darah anak-anak” yang terbunuh dalam pertikaian itu  akan menjadi kutukan yang terus menghantui Presiden AS George W Bush.

Bush selama ini menuding Hamas sebagai penyebab pertikaian itu. Pada hari Senin, dia mengatakan ingin ada gencatan senjata yang berkelanjutan, tapi ini tergantung Hamas apakah akan menghentikan serangan roket ke Israel.

Setelah Israel dan Hamas menolak resolusi PBB untuk perdamaian pada pekan lalu, fokus usaha perdamaian adalah pada rencana Mesir yang menghendaki gencatan senjata segera agar bantuan kemanusiaan bisa masuk Gaza.

Mesir juga mengusulkan adanya pembicaraan untuk membuka perbatasan  Gaza dan melakukan langkah-langkah pencegahan penyelundupan senjata.

Perdana Menteri Israel Ehud Olmert berterima kasih atas usulan Mesir itu, tapi tuntutan-tuntutan utama Israel bukan hal yang bisa dinegosiasikan. “Operasi militer akan kami hentikan jika dua syarat yang kami minta sudah dipenuhi, yaitu berakhirnya serangan roket dan berhentinya persenjataan untuk Hamas. Jika dua syarat ini dipenuhi, kami akan mengakhiri operasi militer di Gaza,” kata Olmert.

“Kalau tidak, hadapi tangan besi rakyat Israel yang tidak bisa lagi memberi tenggang terhadap Qassam (roket),” tegasnya.

Saat Olmert bersikukuh operasi “Meraih Keunggulan” hampir mencapai tujuan, roket-roket makin banyak menghujani Israel. Juru bicara Israel mengatakan bahwa pada Senin hampir 30 roket diluncurkan dari Gaza, tapi tidak dilaporkan adanya korban.

Militer Israel mengatakan, ada 60 sasaran yang mereka hantam di Gaza pada hari Senin, termasuk 20 terowongan di perbatasan Mesir-Gaza dan sembilan tempat peluncuran roket.

Perdana Menteri Palestina Salam Fayyad, yang kekuasaannya terbatas hanya di Tepi Barat, mengatakan, prakarsa Mesir adalah harapan terbaik bagi perdamaian. “Pihak yang menolak, keberatan, atau lamban menanggapi prakarsa ini akan bertanggung jawab bagi diri sendiri, khususnya kepada rakyat Gaza,” katanya.

Paramedis Palestina mengemukakan, korban jiwa bertambah 26 dalam bentrok terbaru sehingga jumlah total yang tewas selama 17 hari serangan Israel mencapai 918 jiwa, 277 di antaranya anak-anak. Korban luka mencapai 4.100 jiwa. (Kompasdotcom)

Penulis adalah anggota milis IKKSU (Ikatan Keluarga Katolik Sumatera utara)

Sumber Utama:  Wikipediadotorg

Sumber lainnya : Kompasdotcom, Mediaindonesiadotcom, ciputradotwordpressdotcom.

10 Comments »

  1. 1
    peshawar Says:

    i agree with you

  2. 2
    Info-info Says:

    lengkap sekali artikelnya
    saya save dulu…baru nanti dilanjutkan membacanya-karena banyak sekali jadi dibaca offline saja

    terima kasih

  3. 3
    ceu_fitri1986 Says:

    aslm… thx y bwt info na…
    do the best all time..

  4. 4

    This is a place for excellent inspiration, your blog is really interesting..thanks for that post it was really really great… 🙂

  5. 5
    pea Says:

    Mantap bro, terpaksa dicopy agar bisa dibaca

  6. 6
    paijo Says:

    Sebentar lagi keadaan berbalik…….. Barat Kembang Kempis, Amerika pemimpin kolonialisme dan imperialism sedang sekarat…… Israel nunggu waktu saja

  7. 7

    hmm ntah kapan selesainy konflik israel palestina, jadi sedih lihat palestina :’

  8. Bukan konflik ! tapi pembantaian Israel atas Palestina !!!

  9. Hi there colleagues, how is the whole thing, and what you would like to say on the topic of this
    piece of writing, in my view its really awesome for me.

  10. 10

    It’s great site,We at Property Hunter shifted this service to a level much higher than the broker concept.
    you can see more details like this article Properties For Sale in Qatar


RSS Feed for this entry

Leave a comment